Oleh. Eri
(Pemerhati Masyarakat)
Muslimahtimes.com–Bukan hal baru melihat para pejabat negeri ini tersandung kasus korupsi. Bahkan di masa pandemi, korupsi kian merajalela. Sungguh, hati nurani para pejabat telah hilang. Baru-baru ini penetapan pejabat dirjen Kemendag sebagai tersangka, menambah daftar panjang pejabat yang tersandung kasus korupsi.
Kejaksaan Agung menetapkan empat tersangka yang terdiri dari satu pejabat pemerintah dan tiga lainnya adalah bos produsen minyak goreng. Terkait kasus pemberian fasilitas ekspor minyak mentah yang memicu kelangkaan minyak goreng di pasaran. (tempo.co 19/4/22)
Perbuatan tersangka mengakibatkan timbulnya kerugian perekonomian negara, mahalnya harga minyak dan kelangkaan. Sehingga penurunan konsumsi rumah tangga dan industri yang menyulitkan kehidupan masyarakat.
Ekonom, Faisal Basri, mengatakan penetapan pejabat Kemendag sebagai tersangka ibarat maling teriak maling (detikfinance.com 19/4/22). Sungguh ironi, dimana pemerintah teriak dengan lantang terkait persoalan adanya mafia yang membuat minyak goreng langka dan mahal.
Kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat dengan pengusaha atau korporasi, tampaknya menjadi hal yang biasa di negeri ini. Kasus yang sering terjadi berupa gratifikasi dan suap demi memuluskan ambisi. Biasanya pihak pengusaha bekerja sama dengan pemerintah untuk mengesahkan undang-undang pesanan atau memenangkan tender dari perusahaan tertentu. Tentu saja, kerja sama itu hanya menguntungkan pihak korporasi.
Tidak heran, sistem kapitalisme menumbuh suburkan korupsi. Sistem yang berasaskan untung rugi sehingga membentuk individu materialistis. Tidak lagi peduli dengan halal-haram, apalagi dampak buruknya terhadap orang lain. Maka, akar masalahnya adalah penerapan sistem kapitalisme yang membuka peluang penyalahgunaan wewenang dan para pejabat yang korup.
Paham sekularisme yang dianut sistem kapitalisme, memisahkan agama dari politik. Menjadikan jabatan tidak memiliki visi misi, bukan lagi sebagai amanah Allah dan hanya mengejar materi dunia. Selain itu, dari segi penegakan hukum terhadap korupsi masih lemah. Para pejabat sering kali mendapatkan kemurahan hati berupa pengurangan hukuman. Ini bukti keburukan sistem kapitalisme demokrasi yang dibuat oleh manusia.
Jadi, negeri ini akan bersih dari korupsi jika sistem pemerintahan diganti dengan sistem yang berasaskan akidah Islam. Ketakwaan terhadap Allah Swt mewujudkan penerapan syariat dalam pemerintahan. Tentunya, dengan menanamkan iman dan takwa kepada pejabat dan orang-orang terdekatnya. Dengan ketakwaan mencegah seorang Muslim melakukan kecurangan dengan memakan harta haram.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوْۤا اَمْوَا لَـكُمْ بَيْنَكُمْ بِا لْبَا طِلِ وَتُدْلُوْا بِهَاۤ اِلَى الْحُـکَّامِ لِتَأْکُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَا لِ النَّا سِ بِا لْاِ ثْمِ وَاَ نْـتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 188)
Dalam pemerintahan Islam, para pejabat dilarang menerima harta ghulul yaitu harta yang diterima dengan cara tidak syar’i seperti fee, pungutan, hadiah atau suap. Terkait hadiah kepada pejabat, Rasulullah bersabda, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR. Imam Ahmad)
Negara memberikan gaji dan tunjangan yang cukup kepada pejabat, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (primer, sekunder bahkan tersier). Negara juga menanamkan pejabat untuk hidup sederhana dan tidak bergelimang harta. Selain itu, Islam mencatat setiap harta pejabat, bila ada harta yang tidak wajar negara berhak mengambilnya. Politik Islam tidak memerlukan biaya tinggi, sehingga menutup celah pejabat untuk kolusi dan korupsi.
Korupsi menjadi aktivitas haram yang wajib ditinggalkan. Pelakunya mendapatkan sanksi berat yang memberikan efek jera dalam bentuk ta’zir. Hukumannya bisa berupa publikasi, denda, penjara, pemiskinan hingga hukuman mati. Pada masa khalifah Umar bin Khattab ra., beliau melakukan pencatatan harta, melakukan penyitaan dan memberikan sanksi berat kepada pejabat yang korupsi. Selanjutnya ada peran masyarakat yang turut mengawasi dan mengoreksi pejabat yang menyimpang. Hal ini terbukti efektif memberantas korupsi.
Apa yang dilakukan khalifah Umar bin Khattab r.a. sebagai bentuk ketegasan seorang pemimpin. Ia akan menindak pejabat yang berbuat salah. Sikap ini juga berlaku kepada keluarga agar tidak menikmati fasilitas yang bukan haknya. Bila dibandingkan dengan pemimpin dalam sistem kapitalisme demokrasi, sangat berbeda jauh. Ketegasan khalifah Umar bin Khattab ra. merupakan salah contoh terbaik dalam memberantas atau menutup celah perilaku korupsi.
Oleh karena itu, solusi yang tepat dengan menerapkan Islam sebagai sistem pemerintahan, mampu mewujudkan birokrasi dan pejabat bebas dari praktek korupsi.
Waallahu a’lam bis shawwab.