Oleh. Ashaima Va
Muslimahtimes.com – Penguasa negeri, dipilih lima tahun sekali. Pada pundaknya tersemat asa dari rakyat untuk hidup yang lebih baik. Pada pundaknya pula tersemat amanah yang pasti dipertanggungjawabkan. Baik buruknya kondisi kita ditentukan oleh baik buruknya penguasa. Sayangnya di era Islam dicampakkan, kita tak lagi bisa bersandar pada penguasa.
Tengok karut-marutnya penanganan pandemi di negeri ini. Perbatasan terbuka lebar dengan alasan ekonomi, akhirnya membuka pintu bagi penyebaran virus Covid-19. Tidak ada jaminan kebutuhan asasi saat rakyat terpaksa diam di rumah. Tes PCR dan vaksin jadi ajang bisnis bagi mereka. Pemerintah tak lebih hanya jadi kepanjangan tangan para oligarki dalam memeras rakyat.
Pasca pandemi tak kalah buruknya. Saat ekonomi belum pulih sepenuhnya, satu per satu kebutuhan pokok dan energi merangkak naik. Pemerintah yang mengandalkan pajak dan utang luar negeri sebagai andalan pemasukan APBN pun akhirnya kewalahan. Lalu, pemerintah mencari aman dengan berbagi beban dengan rakyat.
Hal ini tampak saat pemerintah berencana menaikkan tarif listrik pelanggan 3.000 VA. Sekilas tidak ada yang salah dengan rencana ini, pelanggan listrik 3000 VA adalah pelanggan yang rata-rata berpendapatan tinggi. Selain itu juga kenaikan ini dikarenakan tingginya harga energi dan komoditas dunia akibat perang Rusia-Ukraina.
Menurut penjelasan Menkeu, Sri Mulyani, anggaran subsidi listrik yang disiapkan senilai Rp56,5 Triliun dengan asumsi harga Indonesia crude price (ICP) senilai US$63 per barrel. Namun setelah ICP naik menjadi US$100 per barrel, maka kebutuhan subsidi listrik meningkat senilai Rp59,6 Triliun sehingga terdapat selisih Rp3,1 Triliun. (Bisnis.com, 20/5/2022)
Namun demikian, benarkah kenaikan ini adalah hal yang tak terhindarkan? Dan tepatkah jika akhirnya pemerintah berbagi beban dengan rakyat?
Solusi Menyeluruh dengan Islam
Dalam Islam, perkara menikmati subsidi listrik bukanlah perkara keadilan berdasarkan pendapatan sampai-sampai dirasa tak layak jika orang kaya turut merasakannya. Dalam islam subsidi listrik adalah keadilan berdasarkan hak seluruh warga negara. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah, para Sahabat, dan khalifah dari masa ke masa. Kebutuhan yang menguasai hajat hidup orang banyak wajib diberikan secara gratis. Penguasa tak boleh mengambil keuntungan sedikit pun dari pemenuhan kebutuhan rakyat.
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkomentar, “Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Abiy Syaibah dan Ibnu ‘Adi. Para perawinya tsiqah.” (Ad-Dirâyah fî Takhrîj Ahâdîts al-Hidâyah)
Hadis ini jelas memberikan tuntunan pada kaum muslimin dan para penguasanya hingga akhir zaman agar pengelolaan kepemilikan umum sepenuhnya diperuntukkan bagi rakyat. Dapat diqiyaskan segala hal yang menguasai hajat hidup orang banyak yang serupa dengan padang rumput, air, dan api seperti misalnya BBM, Air bersih, listrik, dll harus diperoleh dengan gratis tak pandang berapa pun pendapatannya. Kaya miskin semua sama dalam memperoleh haknya terhadap segala hal yang menguasai hajat hidup orang banyak, termasuk listrik.
Dari sini dapat dipahami pula bahwa kekayaan alam semestinya tidak boleh dikelola oleh asing, seperti yang terjadi di Indonesia. Kekayaan alam semestinya dikelola negara dan keuntungannya digunakan sepenuhnya untuk membiayai pemenuhan kebutuhan asasi rakyat, seperti kebutuhan energi, air, listrik, kesehatan, pendidikan, dll.
Saat seluruh pengelolaan kekayaan alam diatur sesuai syariat islam maka negara tak perlu mengandalkan pajak dan utang luar negeri untuk memenuhi kebutuhan asasi rakyat termasuk kebutuhan energi dan listrik rakyat. Negara pun tak perlu meminta bayaran pada rakyat untuk kebutuhan listrik, apalagi meminta rakyat yang mampu untuk membayar lebih.
Berbagi Beban ala Islam
Berbagi beban juga pernah dilakukan oleh kekhilafahan Islam. Namun tak hanya semata meminta untuk berbagi beban. Sebelumnya tentu saja daulah sudah harus menjamin seluruh kebutuhan asasi rakyat.
Berbagi beban dalam Islam ini berlaku saat kas Baitulmal kosong sedangkan kondisi daulah sedang paceklik. Daulah khikafah akan menetapkan pajak diperuntukkan bagi warga negara daulah muslim yang kaya, yang memiliki sisa uang berlebih setelah kebutuhan primer dan sekundernya terpenuhi. Pajak ini tidak diwajibkan bagi warga negara yang termasuk kafir dzimmi. Pajak ini hanya sementara, tidak berlaku permanen. Saat paceklik usai dan kas baitu maal terisi, pajak akan dihapuskan.
Demikianlah Islam memberi tuntunan yang jauh dari kata zalim. Bukan seperti saat ini. Saat negara berpijak pada kapitalisme liberal, kekayaan alam dirampok oleh asing sedangkan negara sepenuhnya mengandalkan pajak dan utang luar negeri. Kebutuhan energi begitu berbiaya tinggi lalu dibebankan kepada rakyat. Perekonomian rakyat yang baru pulih usai pandemi akhirnya dibebani dengan rupa-rupa pungutan. Wallahu a’lam bish shawab.