Oleh. Ashaima Va
Muslimahtimes.com- Penyakit tidak menular (PTM) seperti jantung koroner, kanker dan diabetes melitus telah menjadi ancaman di era digital saat ini. PTM pun telah menjadi komorbid yang mengakibatkan meningkatnya fatality rate dan mengantarkan pada kematian selama pandemi Covid-19. Sepanjang tahun 2021 di Kota Bogor saja kematian akibat PTM tembus 621 jiwa. (rri.co.id, 19/6/2022)
Sayangnya, peningkatan ini tak hanya terjadi di Kota Bogor, namun terjadi juga di Indonesia. Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor, Sri Nowo Retno, menyatakan bahwa BPJS kesehatan mencatat beban pembiayaan tertinggi adalah dari PTM. Retno juga menyebutkan bahwa hasil riset pada tahun 2018 menyatakan bahwa hanya 3 dari 10 penderita yang terdeteksi sejak awal. Sebanyak 7 sisanya tak terdeteksi atau bahkan tak menyadari telah mengidap PTM. (Republika.co.id, 16/6/2022)
Masih menurut Retno, Dinkes Kota Bogor berupaya menanggulangi dengan pencanangan program bulan deteksi dini melalui Paguyuban Salapan yang mensasar sembilan sasaran dengan sembilan program deteksi. Adapun masyarakat yang menjadi target adalah usia 15 tahun keatas, ASN, wanita usia subur antara 30-50 tahun dengan pemeriksaan IVA tes dan CBE, pegawai swasta, pegawai dan pekerja di industri, mahasiswa dan siswa SMA/sederajat serta pengunjung klinik atau rumah sakit.
PTM adalah penyakit yang terjadi karena gaya hidup instan dan konsumerisme masyarakat. Junk food, stres, dan kurangnya olah raga menjadi habit di tengah tuntutan jam kerja yang berlebihan. Tak hanya itu mahalnya bahan-bahan makanan juga membuat masyarakat golongan menengah ke bawah sulit menjangkau makanan sehat, akhirnya makanan instan murah menjadi pilihan.
Hanya tiga dari sepuluh yang mampu terdeteksi dini dari PTM juga menunjukkan sulitnya akses kesehatan. Upaya penanggulangan dengan bulan deteksi dini memang patut diapresiasi namun apakah menyentuh akar permasalahan? Sembilan sasaran yang dimaksud sayangnya tidak menjangkau seluruh kalangan. Iuran BPJS yang selalu naik juga menunjukkan akses kesehatan itu mahal dan tak dijamin pemerintah.
Tentu saja hulu dari segala problematika kesehatan adalah sistem yang dianut masyarakat. Kebebasan yang didewakan liberalisme kapitalis telah menempatkan keserakahan nafsu di urutan pertama. Kekayaan materi menjadi prioritas hingga membentuk piramida kelas. Pemilik modal yang jumlahnya segelintir berada di piramida teratas. Menjadi layaknya predator yang memangsa hak si lemah. Distribusi kekayaan beredar di kalangan yang sedikit. Sebagian besarnya menjadi masyarakat mayoritas yang banting tulang mengais-ngais sisanya.
Kekuasaan oligarki yang menggurita di pemerintahan telah membuat kebijakan yang tidak memihak rakyat. Penghapusan subsidi berbagai fasilitas pun telah nyata merugikan rakyat. Subsidi kesehatan dihapus berganti iuran rakyat berupa BPJS. Yang mampu membayar iuran akan mendapatkan pelayanan kesehatan, yang tidak mampu lebih memilih tak ke rumah sakit. Begitulah sistem kehidupan yang dianut saat ini. Life style yang membawa kerusakan kesehatan berujung pada sulitnya memperoleh pelayanan kesehatan.
Dalam Islam Kesehatan adalah Hak Asasi
Islam memandang kesehatan sebagai hak asasi yang harus bisa dirasakan seluruh warga negara baik muslim maupun kafir dzimmi. Negara Khilafah akan memastikan gaya hidup sehat warganya. Selain itu, sarana dan infrastruktur kesehatan akan dibangun untuk mempermudah rakyat memperoleh akses kesehatan.
Gaya hidup sehat akan diberlakukan dengan diawali oleh negara memastikan warganya sadar untuk hidup sehat. Budaya menjaga kebersihan, shaum, dan mengisi perut dengan sepertiga makanan, sepertiga air, dan sepertiga udara akan jadi habit masyarakat. Negara akan memastikan pula hanya makanan yang halal dan thoyib yang akan dikonsumsi warga.
Terhadap yang sakit negara tentu saja akan melayani tanpa pandang bulu. Kaya miskin, muslim atau kafir dzimmiy semua akan diobati dengan pelayanan menyeluruh. Zaman pertengahan telah menjadi saksi agungnya peradaban islam. Hampir tiap kota kekhilafahan memiliki rumah sakit.
Rumah sakit dibangun dengan pemisahan antara penyakit menular dan tidak. Rumah sakit itu pula menjadi pusat riset bagi para ilmuan mengembangkan ilmu-ilmu pengobatan. Contohnya rumah sakit Qolaqun di Cairo, Mesir, rumah sakit tersebut dapat menampung sekitar 8.000 pasien. Pelayanannya tentu saja gratis. Rumah sakit di tiap kota daulah telah termasyhur di kalangan pelancong luar negeri. Mereka sengaja datang untuk menikmati nyamannya pelayanan rumah sakit selama tiga hari sekalipun mereka tidak sakit. Pada hari keempat petugas akan meminta mereka pulang jika tidak terbukti sakit. Karena batas kewajiban menjamu tamu dalam Islam hanya selama tiga hari.
Tak perlu bergaji besar untuk bisa membayar pelayanan rumah sakit, seperti halnya yang terjadi saat ini. Atau tak perlu membayar iuran berdasarkan gaji untuk bisa masuk rumah sakit. Gaya hidup mengutamakan materi telah menghantarkan kondisi kesehatan yang rentan terkena stres dan PTM. Saat sakit hanya yang berkantong tebal yang bisa ke rumah sakit. Sungguh saat Islam tak diterapkan sebagai sistem hidup kita tak akan mampu berharap sehat di sistem sakit. Wallahu a’lam bish shawab.