Oleh. Sri Ainun
MuslimahTimes.com – Pilpres memang masih jauh tapi gaungannya sudah nyaring hingga saat ini. Sebagaimana realitanya yang terjadi begitu banyak kita dapati berbagai macam isu tentang pilpres, salah satu isu terhangat adalah tentang kandidat siapa yang berhak untuk mencalonkan diri sebagai orang nomor satu Indonesia di waktu yang akan datang. Isu ini akan menjadi polemik hangat tersendiri bagi mereka yang memiliki kepentingan baik itu dari kalangan partai yang sibuk memantau siapakah yang akan dijadikan kandidat capres di pemilu yang akan datang begitu juga sebaliknya dengan para kandidat capres yang berusaha keras agar mereka bisa menjadi salah satu kandidat yang dipilih oleh partai yang diinginkannya.
Sejalan dengan itu, dilansir dari kompas.com (13/06/2022) bahwa partai PKS dikabarkan tengah mendukung wali kota Jakarta, Bapak Anis Baswedan, sebagai capres. Namun, pernyataan ini dibantah oleh sekretaris jendral partai keadilan sosial (PKS), Aboe Bakar Habsyi, beliau mengatakan bahwa saat ini PKS masih terbuka kepada siapa saja tokoh calon presiden untuk di dukung dalam pilpres 2024 mendatang. Namun beliau juga tidak memungkiri bahwa selama ini PKS memang dekat dan menjalin hubungan baik dengan Anis Baswedan.
Terlepas dari pandangan Islam tentang bagaimana cara memilih seorang pemimpin, dalam sistem demokrasi semua partai memilih calon yang bisa menang tanpa peduli apakah calon itu memiliki kapabilitas dan komitmen terhadap rakyat terlebih terhadap Islam. Sehingga tidak sedikit kita dapati para pemimpin di negeri-negeri yang menganut paham demokrasi tidak kompeten dalam menjalankan tugasnya yaitu ri’ayah umat.
Di Indonesia sendiri sudah mengalami 6 kali pergantian pemimpin, dengan setiap pemimpin memiliki visi dan misi untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik pada setiap masanya. Namun, realita kehidupan tidak pernah berbohong, secara empiris membuktikan bahwa sampai detik ini pun negara indonesia belum benar-benar merdeka.
Fakta ini bisa kita dapati di tengah- tengah masyarakat seperti dalam bidang ekonomi bahwa angka kemiskinan dari tahun-ke tahun tidak mengalami penurunan bahkan terus mengalami peningkatan. Dalam bidang pendidikan, masih banyak anak-anak pedalaman yang tidak mendapatkan fasilitas pendidikan dengan layak dan untuk para pengajarnya pun tidak kalah mengenaskan terutama para tenaga honorer yang upahnya tidak sebanding dengan jerih payahnya, dalam bidang kesehatan pemerintah seolah lepas tangan dengan cara membuat program BPJS sehingga masyarakat dibuat menanggung sendiri biaya pengobatannya, itu pun ada beberapa penyakit yang tidak ditanggung oleh BPJS. Fakta ini menunjukan ketidak kom petennya pemimpin di sistem demokrasi dalam menjalankan tugasnya “ri’ayah umat”.
Berbicara tentang pemilihan kandidat capres, dilansir dari kompas.com(13/06/2022) bahwa partai terbesar di Indonesia sekarang ini yang tidak lain PDI Perjuangan tengah dihadapkan dengan polemik yang terjadi di dalam tubuh partai. Polemik ini terjadi di antara dua kandidat yang berasal dari tubuh partai mereka tidak lain adalah Gubernur Jawa Tengah, Bapak Ganjar Pranowo, dan ketua DPR Puan Maharani. Faktanya, demi mendapatkan kepercayaan dalam tubuh partai untuk menjadi capres puan maharani pada kunjungannya ke dewan pimpinan cabang (DPC) PDI – P Wonogiri, Jawa Tengah mengatakan bahwa jangan memilih seseorang yang hanya bermodalkan ganteng, namun tak bisa bekerja.
Sekalipun tidak ada nama yang diucapkan kala itu, namun publik berkesimpulan bahwa ujaran itu khusus beliau lontarkan untuk rekan separtainya yang tidak lain adalah Ganjar Pranowo. Dalam menyikapi ujaran teman separtainya itu, Ganjar Pranowo tidak ambil pusing, bahkan dalam wawancara ekslusif di program AIMAN di Kompas TV beliau menjawab semua tudingan terhadapnya dengan berkelakar, “Kalau isinya benar maka tinggal diikuti, tapi jika salah dan tidak bermutu maka yah anggap saja angin lalu.“
Bagitulah karut-marut gambaran demokrasi, tidak ada kawan dan lawan yang abadi yang ada hanya kepentingan yang abadi. Dimana pada awalnya mereka barada dalam partai yang sama dan memilki cita-cita yang sama namun pada akhirnya mereka harus saling manghujat satu dengan yang lainnya, saling menjatuhkan bagaimana pun caranya, semua itu tidak lain disebabkan karena faktor kepentingan.
Seberapa pun besarnya usaha yang dilakukan oleh kandidat capres pada akhirnya yang mendapati jabatan sebagai orang nomo satu di Indonesia hanyalah mereka yang di dukung oleh kaum kapitalis. Bagaimana tidak, untuk melakukan kampanye dan pemilu itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit bahkan terbilang sangat mahal. Seperti yang dimuat dalam Kemenkeu.go.id (26/03/2019) yang disampaikan oleh direktur jendral anggaran (dirjen anggaran) bahwa total anggaran penyelenggaraan pemilu tahun 2019 diluar anggaran pendukung dan pengawasan, berjumlah Rp25,59 triliun.
Dengan biaya yang tebilang sangat mahal ini, pejabat negara dan partai sekalipun tidak akan mampu membiayai semua itu sendiri, maka langkah yang di tempuh untuk mewujukan keinginan menjadi Capres tidak lain dengan mengajak para pengusaha atau pemilik modal untuk melakukan kerja sama. Yang namanya kerja sama haruslah menguntungkan kedua belah pihak, dengan cara para pengusaha memberikan modal kepada Capres dan sebagai balasannya mereka harus membuat aturan yang memudahkan jalan si pemilik modal.
Sehingga tidak kaget lagi kita dapati para capres yang dalam visi misinya untuk tidak menaikan harga BBM, namun baru sehari menjabat sebagai presiden harga BBM malah kian meroket. Belum lagi selama proses kampanye, mereka mengambil ulama sebagai teman untuk berjuang sekaligus mengambil hati umat Islam agar pro terhadap mereka, sehingga umat Islam akan merasa ada orang yang akan membela agama mereka. Namun, setelah menjadi presiden sosok yang diagung-agungkan membela umat Islam itu malah bungkam seribu bahasa ketika para ulama dipersekusi, umat Islam disebut intoleran, radikalis, dan masih banyak sebutan lain yang mencoreng citra umat Islam.
Jika seperti ini keadaannya, maka apa yang bisa diharapkan dari sistem demokrasi? Tidak ada. Bahkan yang diperoleh dari sistem bobrok demokrasi ini malah sebaliknya, yakni kerusakan demi kerusakan yang terus terjadi di tengah- tengah ummat. Pemimpin yang diharapkan untuk bisa menjalankan sebaik- baiknya tugas yaitu ri’ayah umat tidak akan diperoleh dalam sistem demokrasi ini. Karena sejatinya sistem demokrasi didesain bukan untuk meriayah ummat melainkan untuk memenuhi kepentingan para kapitalis.
Wallahu a’lam bisshawab