Oleh. Safitri Fathin
Muslimahtimes.com- Harga minyak goreng belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Pemerintah pun berupaya melakukan terobosan baru untuk mengendalikan harga migor. Di antaranya, Zulkifli Hasan (Zulhas) selaku Mendag berinisiatif mengganti migor curah dengan migor kemasan sederhana. Ide tersebut diwacanakan oleh Menko Marves, Luhut Binsar Panjaitan. Zulhas disebut akan ikuti kebijakan yang dibuat Luhut tersebut. (Fajar.co.id)
Zulhas menilai migor curah kurang higienis. Saat sidak di pasar Koja baru di Jakarta Utara, Zulhas mengatakan bahwa saat mengecek di pasar tersebut harga wajarnya adalah Rp15.000 per kilogram. Pemerintah terus upayakan agar semakin sesuai. “Saya juga memperhatikan tentang kualitas dan kebersihan migor curah. Kita harus pikirkan bersama-sama karena hingga saat ini negara yang masih memiliki migor curah hanya Indonesia dan Bangladesh.” jelasnya
Selain itu, menurutnya untuk memastikan harga terjangkau, pemerintah berharap adanya kerja sama antara masyarakat dan pelaku usaha untuk melaporkan ke Satgas Pangan atau lembaga-lembaga terkait jika ada pelanggaran di lapangan. “Tadi pagi saya meminta untuk membuat crisis center (pusat krisis) dan task force (satuan tugas) migor. Saat ini juga sudah ada hotline (saluran telepon). Kemendag akan mengerahkan segala daya dan upaya untuk menyukseskan ini,” ujarnya. (Bisnis.com)
Dan yang terbaru, pemerintah mewacanakan terkait pembelian migor curah dengan aplikasi Pedulilindungi dan NIK di KTP. Hal ini ditujukan untuk mencegah penimbunan dan agar subsidi tepat sasaran.
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) Rachmat Kaimuddin mengatakan bahwa membeli minyak goreng curah menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) masih berpotensi terjadi penimbunan.
“Bagaimana mencegah supaya tidak ada yang nimbun gitu. Makanya kami waktu itu lihat, saat ini kita punya teknologi yang sudah matang yaitu PeduliLindungi. PeduliLindugi telah dipakai oleh 90 juta masyarakat Indonesia,” kata dia secara virtual dalam konferensi pers Sosialisasi Minyak Goreng, Selasa (28/6/2022). (Kompas.com)
Penyelesaian yang Rumit
Di negeri penghasil CPO terbesar, Indonesia bukannya menuai berkah, melainkan malah mendapat musibah karena SDA yang dikelola oleh para kapitalis. Upaya pemerintah untuk mengganti Migor curah menjadi kemasan sederhana sebenarnya belum menyentuh akar masalah. Karena dengan tambahan biaya sekitar Rp1500 justru akan membuat harganya tak jauh beda dengan Migor premium.
“Kita tidak bisa membayangkan, kalau migor kemasan sederhana tersebut dilepas mengikuti mekanisme pasar yang oligopolistik. Tentu harganya diduga bakal melambung seperti migor kemasan premium yang ada sekarang,” ujar Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS.
Selain itu, adanya pusat krisis, Satgas dan hot Line untuk pengaduan juga tak menjamin terjangkaunya harga Migor. Karena sejatinya pengendali harga ada pada para mafia dan kapitalis.
Wacana penggunaan aplikasi Pedulilindungi untuk pembelian Migor curah juga menuai respons negatif dari masyarakat. Menurut Reynaldi, Sekretaris Jenderal Ikappi (Ikatan Pedagang Pasar Indonesia), penggunaan PeduliLindungi untuk membeli minyak goreng akan menyulitkan masyarakat karena mengharuskan adanya akses internet. Padahal minyak goreng merupakan kebutuhan bahan pokok dan menjadi hak masyarakat untuk mendapatkannya.
Selain itu, ketika masyarakat ke pasar tradisional, belum tentu membawa gadget. Belum lagi kalau aplikasi tersebut ada error. Bukannya menambah masalah baru?
Tak Menyentuh Akar Persoalan
Jika dirunut, sebab mahalnya migor adalah karena pembentukan harga yang ditarik ke tingkat internasional. Kebijakan DMO yang diabaikan memunculkan ketidakseimbangan antara pasokan dan konsumsi dalam negeri.
Ketika harga dalam negeri dipatok dengan harga lebih rendah, sementara di tingkat internasional bisa dijual lebih mahal, tentu saja logika kapitalis akan membawa ke pasar luar negeri. Yang kemudian diedarkan dalam negeri dengan mematok harga berdasarkan tingkat internasional.
Pelaku tentunya bukan pedagang-pedagang pasar, melainkan para kapitalis yang memegang modal besar, yang bisa mengendalikan harga pasar sesuai dengan kehendaknya. Di bawah tata kelola ekonomi kapitalistik, mekanisme pembentukan harga adalah mekanisme pasar komoditas berjangka yang notabenenya bersifat spekulatif. Transaksi permintaan dan penawaran yang terjadi seringkali palsu. Produksi CPO yang seharusnya mengutamakan pemenuhan dalam negeri, diangkut pada konsumsi internasional yang jelas lebih besar dari konsumsi domestik.
Hal ini yang menjadikan stok migor dalam negeri limit, sehingga harga pun otomatis melambung karena permintaan lebih besar dari pengadaan barang. Padahal sebenarnya bisa saja para pengusaha mengutamakan pemenuhan pasokan domestik agar harga stabil sesuai HET. Namun, lagi-lagi karena sistem kapitalisme meniscayakan berkembangnya kapitalis, menjadikan kenaikan migor sulit dikendalikan. Inilah yang menjadi akar persoalannya.
Tata Kelola Kebutuhan Pokok dalam Islam
Muhammad Hatta , seorang analis makro ekonomi menyampaikan bahwa ekonomi Islam tidak anti dengan ekspor. Hanya saja produksi domestik diutamakan untuk konsumsi domestik terlebih dulu. Ketika masih ada surplus setelah konsumsi domestik terpenuhi, baru pintu ekspor dibuka. Ketentuan ini akan menjamin stabilitas di dalam negeri. Selain itu juga harus diikuti mekanisme pembentukan harga yang sesuai syariat. Ini dari sisi hilir.
Sedangkan di sisi hulu, pemerintah akan mengatur kepemilikan tanah yang diperuntukkan perkebunan kelapa sawit. Tidak boleh ada pihak tertentu yang menguasai secara mayoritas sehingga memberi mereka kemampuan untuk mengendalikan harga pasar (oligopoli).
Khatimah
Kerumitan pengendalian harga minyak goreng seperti saat ini lebih disebabkan tata kelola ekonomi yang kapitalistik. Dimana hal ini sangat memengaruhi produksi, distribusi, hingga konsumsi akhir.
Maka, penyelesaiannya bertumpu pada sistem ekonomi yang harus dirombak. Dari sistem ekonomi kapitalisme digantikan dengan sistem ekonomi Islam. Bukan dengan mengganti migor curah menjadi migor kemasan sederhana, bukan pula dengan membuat pusat krisis dan hot line untuk pengaduan. Apalagi dengan menggunakan aplikasi saat membeli migor yang justru menyulitkan.
Perubahan yang demikian hanya akan bisa terwujud jika seluruh individu masyarakat menyadari bahwa kerusakan yang terjadi bersifat sistemis, kemudian bersedia aktif dalam pusaran perubahan tersebut.