Oleh. Eva Arlini, SE
(Blogger)
Muslimahtimes.com-Pendidikan adalah hak semua anak bangsa. Itu amanah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 31 ayat 1. Namun kenyataannya, banyak anak-anak negeri ini yang tidak bisa mencicipi bangku sekolah bahkan pada tingkat dasar sekalipun. Pada akhir tahun 2021, Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat, ada 38.116 siswa SD dan 15.042 siswa SMP putus sekolah. (kompas.id, 28-02-2022)
Untuk wilayah Sumatra Utara (Sumut), Kepala Dinas Pendidikan Sumut Wan Syaifuddin melaporkan bahwa ada sekitar 800 siswa tidak melanjutkan pendidikan saat pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) baru dimulai pada akhir 2021 lalu. (inews.id/30/09/2021)
Menanggapi hal tersebut, Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi, memandang bahwa keputusan untuk sekolah atau tidak sekolah, itu pilihan setiap orang. Pemerintah berkewajiban menyiapkan sekolah agar bisa dipilih masyarakat untuk proses pendidikan. Pendapat itu memang sejalan UUD dengan isi pasal 31 ayat 1.
Namun, jika anak kandung beliau sendiri yang tidak ingin sekolah misalnya, tentu sikap beliau tak akan sesederhana itu. Pasti dicari tahu apa penyebabnya dan bagaimana caranya agar anak tetap menempuh pendidikan. Mengingat pendidikan adalah kebutuhan vital bagi seseorang untuk meningkatkan kualitas hidupnya di masa depan. Demikian pula seharusnya sikap seorang pemimpin yang bertanggung jawab, pasti akan berusaha semaksimal mungkin memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Kita sering menyaksikan hal-hal miris di negeri demokrasi sekuler ini, dimana pemerintah memberi respons dingin terhadap persoalan rakyatnya. Teringat ucapan dari pejabat pusat yang tak jauh beda dengan Pak Edy. Harga daging naik, makan keong saja. Harga cabai naik, tanam sendiri saja. Lisan mereka ringan sekali berucap, tak memiliki empati dan terlihat minim tanggung jawab.
Hal semacam itu juga ditunjukkan dengan adanya agenda Gebyar Pendidikan Kota Medan yang dilaksanakan sekaligus untuk merayakan Hari Ulang Tahun Kota Medan. Untuk puncak acaranya awal Juli 2022 kemarin, dana yang dihabiskan hanya untuk pengadaan baju jalan santai sekitar satu milyar. Ini dikatakan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan Laksamana Putra Siregar bahwa tahun ini Dinas Pendidikan Kota Medan (Disdik Medan) menganggarkan Rp1,2 miliar untuk pengadaan baju jalan santai. Baju itu digunakan oleh sekitar 15.000 siswa dari seluruh pelajar, mulai PAUD hingga SMP dalam acara tersebut. (waspada.co.id, 06/2022)
Penggunaan dana yang hanya untuk seremonial tersebut, lebih tepat dikatakan sebagai pemborosan. Padahal yang dibutuhkan oleh masyarakat lebih dari itu. Dibutuhkan evaluasi terhadap pelaksanaan pendidikan yang ada. Bagaimana mengatasi angka putus sekolah? Sudahkah semua gedung sekolah beserta segala fasilitas di dalamnya lengkap secara merata di seluruh sudut wilayah Kota Medan?
Dinas Pendidikan Sumut menemukan bahwa para siswa yang memilih tidak melanjutkan pendidikan mereka pasca pandemi karena faktor sudah bekerja dan menikah. Artinya, masalah ekonomi menjadi penyebab anak putus sekolah. Jangankan untuk biaya sekolah, untuk makan sehari-hari saja keluarga mereka kekurangan. Kita yakin semua anak kalau ditanya pasti ingin berpendidikan. Sebab semua manusia memiliki naluri mempertahankan diri. Mereka merasakan pentingnya berpengetahuan untuk bisa hidup bermartabat. Jadi, yang dibutuhkan adalah pendidikan yang gratis dan berkualitas, bukan sekadar ijazah. Kalau solusi yang disiapkan bagi mereka adalah ijazah seperti yang direncanakan Dinas Pendidikan Sumut, tentu itu bukan solusi nyata.
Jika pemerintahan demokrasi sekuler minim tanggung jawab pada rakyatnya, tidak demikian dengan pemerintahan Islam. Dalam Islam, belajar itu bukan hak, melainkan kewajiban. Rasulullah saw bersabda: ”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim” (HR. Ibnu Majah)
Bila pendidikan dianggap hak seperti bunyi UUD pasal 31 ayat 1, maka ucapan Gubernur Sumut di atas terpaksa dibenarkan. Namun, ketika belajar itu kewajiban dari Allah Swt, maka semua orang harus memperolehnya. Di sinilah Islam memberi amanah pada pemerintah untuk menjamin rakyatnya melaksanakan kewajiban menuntut ilmu. Penguasa harus menyediakan semua kebutuhan belajar rakyatnya, mulai dari menetapkan asas pendidikan dan kurikulum yang berbasis Islam, menyediakan guru mumpuni, buku hingga tempat belajar yang memadai. Pandangan Islam tersebutlah yang disadari oleh Kekhilafahan Abbasiyah dahulu, sehingga waktu itu umat Islam dikenal di dunia karena aspek pendidikan mereka yang sangat menonjol.