Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(RedPel Muslimahtimes.com)
Muslimahtimes.com– Pendidikan merupakan hak dasar bagi setiap manusia. Maka, negara wajib menjamin pemerataan pendidikan, agar setiap rakyat mendapatkan hak pendidikan tersebut. Itulah yang menjadi landasan Kemendikbud Ristek, membuat kebijakan sistem zonasi bagi peserta didik.
Sistem zonasi itu sendiri adalah seleksi penerimaan siswa didik baru berdasarkan area tempat tinggal. Hal itu sebagaimana diatur dalam permendikbud Nomor 14 tahun 2018 dengan tujuan agar tidak ada lagi dikotomi sekolah favorit dan nonfavorit. Sistem zonasi ini menempati kuota 90 % dalam PPDB, sebentara 5% sisanya adalah jalur prestasi dan 5% nya lagi jalur perpindahan orang tua.
Zonasi Tuai Polemik
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berdasarkan zonasi sebetulnya sudah lama dipraktikkan di negara-negara Eropa dan Amerika. Namun, yang menjadi polemik praktik sistem zonasi yang mulai diterapkan oleh Indonesia secara serentak untuk PPDB tingkat SMP dan SMA sejak tahun 2019 ini adalah ketidakmerataan jumlah sekolah di setiap wilayah, ketidaksiapan perangkat sekolah, hingga kecurangan yang dilakukan oleh oknum orang tua siswa lewat Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) agar dapat masuk ke sekolah di luar zonasinya.
Selain itu, banyak sekolah yang lokasinya terkonsentrasi di suatu zona, sehingga menyulitkan masyarakat yang tinggal di zona lainnya untuk masuk ke sekolah tersebut. Hal ini terpotret dalam fakta yang belakangan viral di laman pemberitaan, seorang bocah lelaki bernama Azzam menjadi satu-satunya siswa baru di SDN Sriwedari 197, Solo yang masuk PPDB lewat jalur zonasi. (Tempo.co/12-07-2022)
SDN Sriwedari 197 tersebut letaknya memang tidak berada di tengah perkampungan warga, melainkan di tengah hiruk-pikuk area bisnis, seperti perkantoran, hotel, lapangan olahraga, dan lain-lain, sehingga minim jumlah penduduk.
Tak hanya itu, fakta lain terkait polemik sistem zonasi terjadi di Kabupaten Kediri. Sebagaimana diberitakan oleh Radar Kediri (15-07-2022) bahwa lima SMPN di Kabupaten Kediri, yakni SMPN 1 Tarokan, SMPN 2 Tarokan, SMPN 2 Papar, SMPN 3 Kras, dan SMPN 3 Grogol, mengalami kekurangan murid.
Demikianlah polemik sistem zonasi. Selain mencerabut hak siswa dalam memilih sekolah terbaik, juga menimbulkan kekisruhan di tubuh lembaga pendidikan itu sendiri akibat minimnya kesiapan.
Benahi Sistem Pendidikan, Baru Zonasi
Jika melihat fakta di lapangan, keberadaan sekolah favorit dan nonfavorit emang dilandasi oleh fakta adanya sekolah-sekolah yang memiliki sarana penunjang pembelajaran yang lengkap dan pengajar yang kompeten, namun di sisi lain ada pula sekolah yang minim sarana dan prasarana, serta kualitas pengajar yang masih di bawah standar alias ala kadarnya. Akibatnya, sekolah yang dinilai berkualitas akan lebih diminati oleh masyarakat, khususnya kalangan menengah ke atas. Apalagi, pendidikan merupakan kebutuhan asasi bagi generasi, maka wajar jika orang tua memilihkan sekolah terbaik bagi anak mereka.
Oleh karena itu, inilah persoalan yang wajib dipecahkan oleh pemerintah, yakni bagaimana semestinya pemerintah mampu menyedikan sekolah berkualitas itu secara merata. Jika sudah begitu, penerapan sistem zonasi pun takkan menjadi soal. Bukan hanya itu, keberadaan sekolah itu sendiri harus benar-benar dipastikan ada di setiap zona, sehingga penerapan sistem zonasi akan benar-benar berjalan efektif. Faktanya hari ini, masih ada wilayah yang tidak terdapat sekolah negeri di areanya, sehingga akhirnya masyarkat terpaksa memilih sekolah swasta yang notabenenya mengharuskan orang tua merogoh kocek lebih dalam.
Negara Bukan Regulator
Sejatinya peran negara dalam pandangan Islam bukan sebagai regulator atau fasilitator semata bagi rakyatnya, melainkan negara sebagai penyedia layanan itu sendiri. Dalam hal pendidikan, negara wajib menyediakan pendidikan yang merata dan berkualitas kepada seluruh rakyatnya, baik yang tinggal di perkotaan maupun pedesaan, kaya atau miskin, semuanya berhak mendapatkan akses pendidikan yang murah dan berkualitas.
Meski begitu, negara tidak menutup peluang hadirnya sekolah-sekolah swasta. Namun, bedanya di dalam sistem Islam keberadaan sekolah swasta ditopang spirit idealisme kaum muslimin yang ingin berkontribusi dalam memajukan dunia pendidikan, bukan spirit bisnis seperti halnya dalam sistem hari ini. Pun negara dalam sistem Islam takkan menggantungkan perannya sebagai pemelihara urusan rakyat yang hakiki di pundak sekolah-sekolah swasta tersebut, melainkan akan berupaya optimal dalam menjamin terpenuhinya hak rakyat untuk mengeyam pendidikan terbaik.
Hari ini yang kita dapati adalah rakyat seolah dipaksa menyekolahkan anaknya di sekolah swasta jika tak berkenan memasukkan ke sekolah negeri nonfavorit di wilayah zonasinya. Beginilah potret buram sistem pendidikan hari ini, rakyat senantiasa dihadapkan pada dilema akibat kebijakan yang tidak matang dari pemerintah. Di satu sisi, rakyat tak ingin nekat memasukkan anaknya ke sekolah negeri tanpa sarana prasarana memadai (yang sesuai zonasi), di sisi lain rakyat harus membayar mahal sekolah swasta sebagai alternatif pilihan.
Oleh karena itu, polemik sistem zonasi takkan pernah terjadi seandainya pemerintah memahami akar persoalan dalam dunia pendidikan itu sendiri. Pemerintah sebagai riayatussu’unil ummah alias pemelihara urusan umat sebagaimana yang digariskan oleh Islam, semestinya mampu mewujudkan sistem pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan. Artinya, negara membuka seluas-luaskan kesempatan bagi rakyat untuk memperoleh pendidikan terbaik tanpa pandang bulu. Dalam hal ini, negara wajib menyedikan pendidikan yang murah bahkan gratis kepada rakyatnya, baik yang kaya maupun yang miskin.
Sebab sejatinya baik buruknya pendidikan sebuah generasi akan memengaruhi wajah generasi itu sendiri di masa yang akan datang. Adapun hakikatnya mereka adalah tumpuan harapan bagi negara. Apa jadinya jika generasi muda tak berpendidikan? Tentu saja bayang-bayang suramnya peradaban di masa depan akan menjadi mimpi buruk.
Solusi Islam
Dalam rangka menciptakan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan tersebut, Islam memiliki seperangkat mekanisme praktis yang terbukti ampuh melahirkan output pendidikan berdaya saing, di antaranya:
Pertama, Islam menjadikan prinsip bahwa pendidikan adalah proses menancapkan ilmu yang layak mendapatkan perhatian, sebab Allah meninggikan derajat orang-orang yang berilmu. Maka, akan ditanamkan mindset kepada anak didik bahwa sekolah adalah ibadah, bukan mengejar materi dunia. Sehingga anak didik akan menjalani prosesnya dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan.
Kedua, negara akan mengalokasikan dana pendidikan terbaik sesuai kebutuhan demi menunjang proses belajar mengajar. Adapun dana tersebut diambil dari
Ketiga, negara akan memperhatikan infrastruktur pendidikan yang memadai di setiap wilayah, sehingga tidak akan sampai ada sekolah yang sulit di akses oleh masyarakat seperti halnya dalam sistem saat ini. Dalam hal ini, wali akan mengordikasikan kepada Khalifah tentang kebutuhan adanya bangunan sekolah di wilayahnya dan aspek-aspek penunjangnya.
Keempat, negara akan menjadikan akidah Islam sebagai asas dalam pendidikan, serta tujuan utama pendidikan adalah generasi yang bertakwa dan berkepribadian Islam. Di sisi lain, Islam juga akan mendorong peserta didik agar menguasai ilmu-ilmu dunawi, salah satunya mendorong penguasaan teknologi dan sains. Sehingga dengan begitu, akan terlahir output pendidikan yang cemerlang dalam berpikir dan visioner dalam bertindak.
Demikianlah persoalan persoalan pendidikan akan dijamin sepenuhnya oleh negara dalam sistem Islam. Orientasinya benar-benar demi mencerdaskan generasi, bukan demi kepentingan bisnis. Maka wajar jika dalam naungan sistem Islam banyak terlahir para cendekiawan dan intelektual muslim yang hebat dan berkontribusi dalam menyalakan cahaya peradaban yang terang benderang. Tidakkah kita menginginkannya kembali?