Oleh: Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute)
Muslimahtimes.com–Istilah harta, tahta dan wanita, mencuat kembali dalam pusaran kasus Brigadir J. Pasalnya, disinyalir, kasus ini berkaitan dengan tiga hal tersebut. Opini menggelinding liar, berkaitan dengan motif pembunuhan yang belum jelas. Rumors yang beredar, menyebut beragam versi. Mulai isu perselingkuhan, pelecehan hingga judi online yang menghasilkan kekayaan berlimpah. Entah mana yang benar, belum terungkap dengan benderang.
Yang jelas, harta, tahta dan wanita adalah ungkapan klasik yang tak pernah lekang oleh zaman. Tiga hal yang dikejar sebagai simbol kesuksesan, tetapi di sisi lain, juga kerap menjadi pemicu kehancuran. Tergantung memaknai ketiganya, sebagai anugerah dalam kehidupan ini, atau sebaliknya, menjadi sumber fitnah.
Simbol Kesuksesan dan Kebahagiaan
Harta adalah simbol sukses yang membuat seseorang dipuja, disanjung, dan dihargai. Banyak harta menjadikan seseorang dipandang penuh hormat oleh masyarakat. Harta menaikkan status sosial serta martabat seseorang. Oleh karena itu, semua orang mengejar harta mati-matian, dengan berbagai cara.
Motivasi untuk kaya, diembuskan dari berbagai penjuru. Buku-buku berisi tutorial menjadi kaya, cara meraih harta, cara membuka usaha, cara melariskan dagangan dan segala jenis tips yang bisa mendatangkan uang, laris manis.
Jujur, orang-orang pun siang malam bekerja keras, demi harta. Otak berpikir terus-menerus untuk memecahkan berbagai persoalan, demi harta. Doa-doa dilantunkan, demi harta. Bahkan ada yang memilih cara haram untuk meraihnya. Na’udzubillahimindzalik.
Terlebih lagi di era modern yang materialistis ini, orang semakin tergila-gila dengan harta. Seseorang belum merasa sukses jika belum meraih harta kekayaan yang berlimpah. Sebab, dengan harta itu, ia bisa mewujudkan segala impiannya. Bisa menebus barang-barang branded yang harganya fantastis. Bisa tebar pesona ke sana ke mari untuk menunjukkan eksistensi.
Harta kekayaan, bahkan bisa dipakai untuk “membeli” jabatan. Ada yang melamar pekerjaan dengan menyuap. Ada yang ingin menaikkan pangkat, dengan “pelicin.” Ada yang ingin mendapatkan penghargaan, ijazah atau plakat, demi menaikkan jenjang karier dan gaji, dengan menggelontorkan sejumlah uang. Mereka bersembunyi di balik tameng: segala-galanya memang butuh uang.
Setelah berkuasa, kekuasaan itu kemudian dipakai sebagai “jalan Ninja” untuk meraih kekayaan. Melalui power, pengaruh dan kebijakannya, ia bisa memaksakan suatu keputusan yang menguntungkan dirinya secara materi. Atau, ia berkolaborasi dalam sebuah tindak kejahatan, demi meraih kekayaan.
Setelah harta dan tahta diraih, target berikutnya adalah menundukkan wanita. Ya, bagi seorang pria, wanita adalah perhiasan terindah. Tempat ia menyalurkan naluri, hingga meraih kenikmatan tertinggi. Wanita yang siap sedia untuk mengurusi dan melayani kebutuhannya, juga menaikkan status sosialnya.
Sementara itu, sudah tabiatnya bahwa wanita menyukai harta. Bagi wanita, harta adalah perhiasan dunia yang menjanjikan kenikmatan tertinggi secara jasmani. Hampir tak ada, wanita yang cuek dengan harta. Wanita akan bahagia, jika kehidupannya ditopang oleh hal-hal yang bersifat kebendaan.
Rumah yang indah, perabot yang menarik, fashion yang menawan, dan perhiasan yang cantik; semua itu adalah impian para wanita. Siapa yang bisa mewujudkan itu? Pria idamannya. Klop sudah dengan hasrat pria untuk kaya. Sebab dengan kekayaan itulah, wanita-wanita cantik tak perlu dicari, akan datang sendiri.
Fitrah vs Fitnah
Tentu boleh bagi siapa pun untuk memiliki harta, tahta dan wanita, demi meraih kebahagiaan dalam hidupnya. Sebab, hampir-hampir tidak ada manusia yang terhindar dari mencintai ketiga hal tersebut. Hal itu adalah fitrah manusia yang diakui oleh Sang Pencipta.
Allah berfirman yang artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (Al-Kahfi: 46) . Juga dalam firman-Nya: “Dijadikan indah dalam (pandangan) manusia kecintaan terhadap apa apa yang diingini, yaitu wanita, anak -anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang.” (TQs. Ali Imran [3]:14).
Jadi, manusia yang normal, pasti memimpikan harta, tahta dan wanita. Sejak zaman dahulu hingga akhir zaman nanti, ketiga hal itu akan terus mengiringi perputaran hidup umat manusia di berbagai bangsa. Kepemilikan harta, bahkan sangat penting untuk menunjang kehidupan. Harta dapat menolong manusia dari bencana kebinasaan. Dengan harta, kelangsungan hidup umat manusia terjamin secara turun temurun.
Kebutuhan manusia terhadap harta, bahkan jauh lebih besar daripada kebutuhannya terhadap hal-hal lain. Seorang pria, bisa hidup tanpa wanita dan anak-anak, tetapi tak bisa hidup tanpa harta. Demikian pula seorang wanita, sangat tahan untuk tidak hidup bersama pria, tetapi ia tak bisa hidup tanpa harta. Anak-anak pun demikian. Apabila dewasa dan mandiri secara ekonomi, bisa hidup tanpa orang tuanya.
Dengan demikian, harta, tahta dan wanita adalah anugerah yang sewajarnya mampu menghantarkan manusia pada kemaslahatan, ketenteraman, kenyamanan, kenikmatan dan kebahagiaan. Akan tetapi, di sisi lain harus disadari, bahwa ketiga hal tersebut juga bisa menjadi sumber fitnah. Bahkan fitnah besar.
Malapetaka dunia berupa penjajahan, penjarahan, penindasan, perbudakan, pemerkosaan, penganiayaan dan pembunuhan, tidak terlepas dari ketiga motif di atas. Kalau bukan karena penguasaan harta, tentu karena nafsu untuk berkuasa, atau tersebab wanita.
Sejarah mencatat, banyak orang besar hancur karena fitnah ketiganya. Banyak yang dipenjara karena memakan harta rakyat, merampok, membunuh dan memperkosa. Banyak pejabat yang terguling karena nafsu syahwat. Banyak penguasa terjungkal karena tergoda wanita. Harta, tahta dan wanita, dapat memicu orang melakukan perbuatan keji dan munkar. Rasulullah Saw bersabda yang artinya: “Setiap umat memiliki fitnah (ujian dan cobaan), dan fitnah umatku adalah harta” (HR Ahmad dan Ibnu Hibban).
Perhiasan Akhirat
Perhiasan dunia bersifat fana, tidak abadi dan akan binasa. Tidak patut dibanggakan dan disombongkan, karena hanya titipan yang bersifat sementara. Tidak pantas diperjuangkan dengan dosa, hingga menyalahi fitrah manusia yang bersih dan suci. Karena itu, harta, tahta dan wanita, hendaklah menjadi perantara untuk meraih perhiasan akhirat yang bersifat kekal dan abadi. Inilah yang patut untuk diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.
Jadikan harta untuk meraih perhiasan akhirat, yaitu dengan cara memperolehnya secara halal dan membelanjakannya di jalan Allah Swt. Jadikan kekuasaan atau jabatan untuk melayani rakyat, memenuhi kebutuhan mereka dan menghilangkan kezaliman. Hormati, hargai dan jaga para wanita, baik ibu-ibu, istri maupun anak-anak perempuan dengan sebaik-baiknya, agar kelak dapat mempertanggung jawabkan di hadapan Sang Pencipta.
Perhiasan yang nikmatnya dapat dirasakan oleh manusia, baik di dunia maupun akhirat adalah semata-mata amal saleh dalam rangka mencari rida Allah Swt. Ibadah salat, puasa, zakat, haji, berdakwah, berjihad di jalan Allah, serta amal ibadah sosial seperti sedekah, wakaf, menyantuni anak yatim, orang jompo, dan lain sebagainya.
Amal kebajikan menjadi syafaat di hari akhirat, ketika harta, tahta, wanita dan anak tidak lagi bermanfaat. Oleh karena itu, keliru jika manusia fokus menjadikan harta, tahta dan wanita sebagai tujuan hidupnya. Ketika seseorang dititipi harta, tahta dan wanita, harus dipandang sebagai ujian keimanan. Apakah sanggup memikulnya untuk kebaikan, atau menyalahgunakannya untuk keburukan. Ketiganya hanyalah perantara untuk tujuan hidup terpenting, yaitu rida Allah Swt.
Rasulullah saw bersabda yang artinya: “Sesungguhnya harta ini seperti tanaman yang indah nan hijau. Orang yang memperolehnya dengan cara yang benar dan menempatkannya pada jalan yang benar, maka harta itu akan menjadi penolongnya (untuk taat dan memperoleh pahala). Dan barang siapa memperolehnya dengan cara yang tidak benar, maka ia seperti orang yang makan dan tidak pernah merasa kenyang” (HR Muslim).
Demikianlah, semoga kaum muslimin terhindar dari fitnah harta, tahta dan wanita. Sebaliknya, menjadikan ketiganya sebagai anugerah, yang dapat membawa manfaat baik di dunia maupun akhirat. Aamiin.(*)