Oleh. Kholda Najiyah
(Salehah Institute)
MuslimahTimes.com – Demo massal pecah di Iran. Peserta didominasi kalangan perempuan. Mereka protes atas kematian perempuan Iran, Mahsa Amini (22). Ia meninggal di rumah sakit, tiga hari setelah mengalami koma. Ia ditangkap polisi saat berkunjung ke Teheran pada 13 September, karena mengenakan hijab yang masih memperlihatkan rambutnya. Masyarakat menduga aparat menganiaya Amini (merdeka.com).
Kematian gadis ini memicu kemarahan. Unjuk rasa pecah. Ratusan orang meneriakkan slogan menentang otoritas. Sebagian perempuan melepas hijab sebagai protes. Media sosial pun penuh dengan kecaman, baik dari para produser film, artis, atlet, tokoh politik maupun tokoh agama.
Demo bahkan berubah rusuh. Polisi menangkap demonstran dan membubarkan massa menggunakan tongkat dan gas air mata. Termasuk para demonstran di kota asal Amini, Provinsi Kurdistan. Dikabarkan, 76 orang tewas dalam kisruh di berbagai tempat.
Sementara itu, pihak kepolisian Iran membantah telah menganiaya Amini. Kepala Kepolisian Teheran, Jenderal Hossein Rahimi menyampaikan, Amini memang melanggar aturan berpakaian. Pihaknya hanya meminta keluarga korban, membawakannya pakaian yang tertutup. Rahimi membantah tuduhan Amini meninggal akibat tindak kekerasan.
Amini dilarikan ke rumah sakit karena pingsan setibanya di kantor polisi. Tiga hari mengalami koma, ia dinyatakan meninggal pada Jumat (16/9/2022). “Tuduhan pengecut telah dilontarkan kepada polisi, yang akan kita hormati sampai hari penghakiman, tetapi apakah mungkin untuk menutup keamanan masyarakat?” kata Rahimi.
Hingga tulisan ini dibuat, penyebab pasti kematian Amini masih diselidiki. Presiden Iran, Ebrahim Raisi sendiri yang memerintahkan penyelidikan terkait kasus ini. Jika benar karena penganiayaan, tentu sangat layak masyarakat protes. Dunia patut berduka. Perilaku kekerasan harus ditindak.
Sayangnya, protes masyarakat kebablasan. Bukan hanya insiden kekerasannya —andai itu benar terjadi— tapi juga protes tentang kewajiban hijabnya. Buktinya, mereka sampai melepas hijab. Akibatnya, insiden ini turut memicu kembali isu dehijabisasi oleh kalangan yang memang sejak lama antihijab.
Narasi Antihijab
Iran mewajibkan perempuan berhijab. Melarang memakai celana ketat, jins bolong, baju yang menampakkan lutut, dan pakaian berwarna cerah. Polisi satuan khusus, ditugaskan untuk menegakkan aturan ini. Dari sisi ini, sudah benar bahwa syariat harus ditegakkan. Adapun kematian Amini, jika benar karena ada kekerasan, harus diproses secara tegas oknum aparat pelakunya.
Tetapi, adalah salah menjadikan kematian Amini sebagai alat untuk memprotes kewajiban hijab. Sebab, kewajiban hijab itu datangnya dari Allah Swt. yang tertuang di dalam kitab suci. Negaralah yang punya kekuatan untuk menegakkan syariat ini, dengan aturan yang mengikat seluruh warga negara.
Masyarakat muslim, seharusnya tidak ikut terseret narasi—narasi yang menyudutkan kewajiban hijab. Sadarlah, bahwa isu ini telah dipolitisasi sedemikian rupa, yang mengarahkan masyarakat untuk antihijab. Terbukti, pemerintah Amerika Serikat (AS) langsung menjatuhkan sanksi kepada polisi syariat Iran karena “perlakuan kejam dan kekerasan” terhadap perempuan dan demonstran Iran.
Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, dikutip dari Aljazeera, Kamis (22/9), segera menyerukan kebebasan berekspresi dan berkumpul. “Sanksi yang dijatuhkan ini bertujuan untuk membekukan aset individu dan organisasi Iran sehingga ilegal bagi warga AS untuk berurusan dengan mereka,” katanya.
Presiden AS Joe Biden ikut bersuara. Dalam sidang Majelis Umum PBB, ia menyatakan dukungannya untuk rakyat Iran. Wartawan CNN juga bereaksi. Sebagai bentuk empati pada Amina, mereka membatalkan wawancara dengan Presiden Iran karena disyaratkan harus berjilbab. Tampak, ada pihak-pihak yang ikut menunggangi kasus Amina untuk meneguhkan ideologi sekuler yang mereka jajakan.
Selama ini, Iran adalah salah satu negara yang masih cukup ketat dalam membentengi warga negaranya dari pengaruh liberalisme. Sayangnya, warga negara Iran terlanjur tersulut emosi dan memakan mentah-mentah informasi yang beredar. Diketahui, pecahnya demo antara lain dipicu oleh hoax terkait Amini.
Seperti video yang diunggah akun Twitter @Newseast7 yang menampakkan perempuan bercelana jins dan baju hitam, yang dipaksa masuk mobil hingga tersungkur. Dinarasikan bahwa dia adalah Amini, padahal bukan. Perempuan di video itu ditangkap karena kasus narkoba 2018 silam.
Penyebaran “tuduhan palsu” seputar Amini ini pun membuat Garda Revolusi Islam Iran (IRGC) berang. Lembaga ini meminta pengadilan Iran untuk mengusut para penyebar berita palsu tersebut. “Kami telah meminta pengadilan untuk mengidentifikasi mereka yang menyebarkan berita palsu dan desas-desus di media sosial serta di jalan dan yang membahayakan keselamatan psikologis masyarakat dan untuk menangani mereka secara tegas,” ungkap IRGC.
Islamofobia
Kita tentu prihatin dan ikut berbelasungkawa atas kematian Amina. Apa pun pemicu kematiannya, semua adalah takdir yang digariskan oleh Allah Swt. Semoga Amina mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya. Namun, jangan jadikan dia sebagai ikon perlawanan terhadap syariat hijab. Itu sama saja dengan melawan Allah Swt. Biarkan dia tenang di sisi-Nya, tanpa menjadi beban di hari penghisaban.
Sesungguhnya, musuh-musuh Islam akan selalu mencari cara untuk menjauhkan umat dari ajaran Islam. Pakaian muslimah berupa hijab, jilbab, cadar, burqa dan apapun namanya, akan selalu jadi bulan-bulanan untuk memojokkan ajaran Islam. Pakaian yang didesain Allah, yang pasti terbaik untuk muslimah ini, berusaha didongkel dari budaya masyarakat Islam yang masih kuat mengenakannya.
Iran memang bukan representasi dari negara Islam. Bukan representasi dari sistem pemerintahan Islam kaffah. Bukan pula penerap syariat Islam terbaik, karena masih berbasis ideologi sekuler, yaitu sistem republik. Tetapi penegakan syariat hijab tetap layak untuk dipertahankan. Adapun jika ada oknum-oknum aparat yang bertindak di luar aturan dalam penegakannya, tinggal diperbaiki.
Namun, begitulah jika menegakkan Islam secara parsial. Akan selalu ada potensi terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Karena sebenarnya, Islam harus ditegakkan secara menyeluruh. Bukan hanya aturan hijab, juga peraturan lain secara komprehensif. Sehingga, ketika satu aturan ditegakkan, aturan lain ikut menyokongnya.
Jika ada yang meninggal misalnya, harusnya masyarakat pun paham dengan konsep akidah, khususnya perkara qada Allah Swt. Oleh karena itu, idealnya sistem Islam tegak di atas fondasi akidah yang kokoh, keterikatan pada hukum syarak, penerapan sistem pergaulan, sistem ekonomi dan sebagainya. Semoga negeri-negeri Islam segera bersatu mewujudkan sistem yang komprehensif ini, agar ajaran Islam tidak terus- menerus menjadi bulan-bulanan oleh mereka yang membenci Islam.(*)