Oleh. Yulida Hasanah
(Aktivis Muslimah)
Muslimahtimes.com–Siapa sangka jika sebuah model usaha rintisan yang bergerak di bidang inovasi teknologi era digitalisasi saat ini ternyata tak luput dari gejolak ekonomi. Ya, startup yang digadang-gadang mampu menjadi tumpuan ekonomi negeri ini sedang tak baik-baik saja.
Sebagaimana diketahui, bisnis startup menjadi incaran generasi muda dan telah menjadi tren bisnis milenial yang menjanjikan bagi kemajuan ekonomi dalam negeri. Asumsinya, bisnis ini akan mampu membuka peluang lapangan kerja bagi kaum milenial alias mampu mengurangi pengangguran.
Selain itu, di tahun 2016 lalu, kita diingatkan kembali terkait peluncuran program Gerakan Nasional 1000 startup oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Bahkan, diprediksi melalui perkembangan industri digital ini akan sangat berpengaruh terhadap GDP Indonesia. Menkominfo saat itu menghitung-hitung jika target nilai e-commerce di tahun 2020 tercapai hingga Rp130 Miliar, maka akan memengaruhi GDP menjadi 9%. (Kominfo.2016)
Seakan hanya menjadi angin segar yang sekadar lewat. Kondisi perekonomian negeri ini bukan malah membaik, justru sebaliknya. Kabar terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kembali membanjiri Indonesia. Dan PHK yang lumayan membuat hati miris adalah PHK di dunia bisnis digital yakni Startup.
Dikutip dari Bisnis.co, perusahaan startup itu berjumlah 16, yakni Tanihub, SiCepat, LinkAja, Zenius, JD.ID, Mobile Premier League atau MPL, Line, Beres.id, Pahamify, MamiKos, Shopee, Tokocrypto, Xendit, Carsome, Fabelio, dan Bananas. Sedangkan secara global, sepanjang tahun berjalan, sudah terjadi 950 PHK yang dilakukan oleh startup di seluruh dunia. Adapun, startup saat ini sedang berjuang menghadapi masa tech winter. Dilansir dari laman resmi Trueup, tech winter tersebut memakan korban hingga 146.054 karyawan yang terkena PHK. Benar-benar menyedihkan.
Resesi Global, Alasan Mendasar PHK Besar-besaran
Sudah menjadi kebiasaan, dalam penerapan sistem ekonomi kapitalisme resesi menjadi problem musiman yang datang dan pergi. Menurut IMF (Internasional Monetary Fund), resesi global merupakan siklus yang berlangsung setiap delapan hingga 10 tahun sekali. IMF juga menyatakan bahwa pertumbuhan PDB global sebesar tiga persen per tahun atau kurang dapat dikategorikan sebagai resesi global. Dengan demikian, sejak 1970 beberapa yang masuk kategori ini adalah: 1974–1975, 1980–1983, 1990–1993, 1998, 2001–2002 dan 2008–2009. Meskipun demikian, jumlah tersebut adalah yang berskala global, bukan resesi yang terjadi dalam skala negara. Di AS saja, sejak tahun 1929 hingga 2009, telah terjadi 14 kali resesi dengan magnitude yang bervariasi.
Adapun dampak resesi di antaranya pengangguran meningkat tajam, produktivitas bisnis turun, yang ditandai dengan bangkrutnya perusahaan-perusahaan yang lemah, serta menurunnya pendapatan masyarakat yang berdampak pada turunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Adapun penyebab terjadinya resesi yang bervariasi, juga ujung-ujungnya tak luput dari ‘dampak’ sistemis, yakni penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang hari ini masih dijunjung tinggi oleh negeri ini. Beberapa penyebabnya antara lain:
Pertama, turunnya kepercayaan investor dalam berinvestasi akibat risiko yang semakin tinggi. Dan hal ini yang juga dialami oleh bangkrutnya startup yang notabene hidup dari pendanaan para investor.
Kedua, gelembung aset finansial yang meledak. Bentuknya adalah harga aset yang menjadi objek spekulasi, seperti saham dan properti, naik berlipat-lipat. Contohnya adalah resesi yang terjadi akibat meledaknya saham-saham internet pada tahun 2000.
Ketiga, kerapuhan sektor finansial, yang rentan terkena krisis dan perilaku curang para pengelola investasi. Hal ini sangat dirasakan saat terjadinya krisis tabungan dan pinjaman yang menyebabkan resesi tahun 1990. Penyebabnya adalah adanya pengelola investasi yang menanam dana yang mereka kelola pada aset-aset yang ilegal, pinjaman fiktif dan investasi yang melanggar hukum. Saat itu, lebih dari 1.000 bank, yang memiliki total aset $ 500 miliar, rugi besar.
Keempat, adanya peran pemerintah yang cenderung menjadi legislator, yakni dengan mencabut aturan yang membatasi para investor untuk berinvestasi. Hal itu justru berakibat pada tak terbendungnya investasi perbankan yang bertumbuhan. Hal ini pernah terjadi tahun 2008, resesi global karena krisis keuangan.
Hanya Islam, Sistem Ekonomi yang Antiresesi
Dari beberapa sebab terjadinya resesi di atas tampak bahwa semuanya bermuara pada tipikal dari rusaknya sistem ekonomi kapitalisme. Sedangkan kita takkan pernah menjumpai fenomena semacam itu di dalam penerapan sistem Islam. Sebab, Islam jelas akan mencegah munculnya resesi dengan penerapan beberapa pilar ajaran Islam.
Pertama, Islam mengharamkan transaksi riba. Sebab jelas secara ekonomi, riba adalah muamalah yang tidak sehat. Dan secara syariat jelas diharamkan. (Lihat QS. Al Baqarah ayat 275)
Kedua, Islam mengharamkan pasar modal, keuangan, komoditas berjangka yang dibangun atas transaksi-transaksi yang bertentangan dengan Islam. Di dalam Islam, misalnya, transaksi di pasar komoditas dilarang. Alasannya, transaksi penjualan komoditas dapat berpindah tangan dalam waktu singkat sebelum dikuasai oleh penjual, bahkan meski belum dimiliki oleh penjual tersebut. Selain itu, haram pula memperdagangkan surat-surat berharga yang melibatkan transaksi yang batil, seperti obligasi berbunga, produk keuangan multi akad, dan saham-saham yang diterbitkan oleh perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Islam juga mengharamkan semua sarana perjudian dan manipulasi keuangan.
Ketiga, Islam menjadikan mata uang emas dan perak sebagai standar moneter. Mata uang yang beredar adalah emas dan perak atau mata uang kertas atau logam yang nilainya ditopang oleh emas dan perak. Jadi, kestabilan uang negara ditentukan oleh nilai emas dan perak yang sepanjang sejarahnya sangat stabil. Bahkan, nilai tukar mata uang akan stabil karena basis transaksinya adalah emas dan perak yang nilainya stabil.
Keempat, Islam mengharamkan konsep liberalisme ekonomi, termasuk dalam aspek kebebasan kepemilikan dan pasar bebas (free market). Kebebasan kepemilikan dalam sistem ekonomi kapitalisme diartikan bahwa tiap individu bebas untuk menguasai atau menjual komoditas apa saja yang dianggap sebagai barang ekonomi. Disebut barang ekonomi ketika ada manusia yang menginginkannya. Tanpa memandang apakah barang tersebut halal atau haram di hadapan syarak.
Kelima, Islam mewajibkan pemerintah untuk menjamin pemenuhan hak-hak dasar rakyat, yakni mencakup pangan, pakaian, dan perumahan. Termasuk menyediakan layanan pendidikan, kesehatan dan keamanan secara gratis. Mencakup pula tanggung jawab menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyat yang menganggur (para laki-laki yang menjadi tulang punggung keluarga). Maka, meskipun misal terjadi gejolak ekonomi akibat bencana kekeringan yang berkepanjangan atau bencana dalam skala besar. Pemerintah tetap wajib menjamin agar kebutuhan dasar masyarakat di atas tetap terpenuhi.
Inilah gambaran penerapan sistem ekonomi Islam yang benar-benar akan menjadikan negara atau pemerintah sebagai pundak penanggungjawab atas masalah ekonomi yang menimpa negerinya, termasuk rakyat di dalamnnya. Wallaahua’lam