Oleh. Choirin Fitri
MuslimahTimes— Sebuah plang berbentuk lingkaran berwarna hitam kuning terpampang. MM Steak ‘n Cafe tampak mencolok di tengahnya. Cafe dengan konsep gazebo yang ditata apik di berbagai sudut membuat anak-anak muda betah berlama-lama nongkrong dengan kawannya.
Salah satu gazebo berisi lima pemuda. Usia masih sefrekuensi. Sama-sama kuliah meski antara satu dan lainnya tak ada yang sama jurusannya. Mereka punya nama beken di kampusnya ‘Four A’. Ardi, Arga, Aril, dan Aslam.
“Lo, enggak ngerokok?” Tanya Ardi pada cowok berkacamata.
“Bokap gue baru pulang dari rumah sakit, Bro. Paru-parunya rusak parah gegara rokok. Takut gue.” Aslam meletakkan kacamatanya di meja.
“Cemen banget sih lo.” Arga menyulut rokok di bibirnya dengan korek api.
“Bukannya cemen, Bro. Gue pingin aja ngehargai hidup yang cuma sekali ini. Udah gitu aja.” Aslam menepuk pundak Arga santai.
“Sok filosofis,” ucap Aril yang matanya masih tertuju pada benda pipih yang menayangkan game balapan mobil.
“Makasih, Mas!” Arga menata 4 gelas minuman dengan selera berbeda saat seorang pramusaji datang membawakan pesanan mereka. Mas-mas berbaju seragam pegawai cafe tersenyum, mengangguk, lalu mempersilakan mereka menikmati dan berlalu.
“Minum, Boys!” Ardi mengambil segelas milk shake. Meminumnya dua tiga teguk. Meletakkannya. Lalu, menghisap rokok elektronik.
“Ga, lo masih suka aja gaya ngerokok lama?”
“Lebih nikmat rokok kayak gini, Ar. Gue enggak banget dengan rokok vape. Meski kelihatan keren, rasa rokoknya enggak mantap,” sahut Arga menjawab pertanyaan Ardi.
“Duh, kalah lagi! Nasib sial emang gue hari ini. Dari tadi main, enggak ada menang-menangnya sama sekali. Gue minta rokok dong, Ga!” Aril membanting ringan gawai di tangannya.
“Minta? Beli! Enggak modal amat jadi orang,” sahut Arga menjauhkan sebungkus rokok yang isinya tinggal dua batang.
“Satu doang. Pelit amat,” ucap Aril sambil menyahut bungkus rokok yang digenggam Arga. Ia secepat kilat menyambar korek api dan menyalakan rokok yang ada bertengger manis di bibirnya.
“Mau nyoba?” Tawar Aril pada Aslam.
Aslam hanya menggeleng. Dia enggan merokok. Meski sejak berseragam putih abu-abu teman-temannya merokok, ia tidak tergiur. Ditambah lagi fakta ayahnya yang seorang tukang bangunan menjadi penyakitan gara-gara rokok, semakin membuat niatnya untuk tidak merokok kian kuat.
“Emang kalian bertiga doyan banget sama rokok kenapa sih?” Aslam mengedarkan pandangannya bergantian.
“Gue sih ngerasa enak aja gitu kalau ngerokok. Kayak nagihlah ya,” ucap Ardi mengepulkan asap rokok ke segala penjuru.
“Kalau gue sih lebih karena ingin nunjukin kalau gue emang laki-laki sejati. Enggak kerenlah ya kalau ada laki-laki yang enggak ngerokok.” Aril membuang puntung rokok ke asbak yang disediakan cafe. Lalu, ia mengambil sebatang rokok terakhir dari bungkusnya.
“Kalau lo, Ga?” Giliran Arga yang diminta Aslam bicara.
“Karena temen gue pada ngerokok. Gue sih makmum aja gitu,” ucapnya tertawa terbahak-bahak. Diiringi semua ikut tertawa.
“Coba lihat ini! Di sini udah jelas gambar penyakit yang bakal diderita perokok.” Aslam menyodorkan bungkus rokok dengan gambar orang yang lehernya bolong.
“Terus kita tahu dong iklan rokok yang santer. Merokok membunuhmu. Kalian tahu tidak?”
Aril menjawab dengan anggukan dan menyemburkan asap rokok pada Aslam. Sontak Aslam terbatuk-batuk.
“Beneran cemen lo, Bro. Udah nih minum dulu! Baru kena asap doang lo udah batuk-batuk macam orang penyakitan aja,” ucap Aril sembari menyodorkan sebotol air mineral. Kedua temannya yang lain menanggapi dengan tawa nyaring.
“Gini ini enggak enaknya berteman dengan perokok. Mau enggak mau gue jadi perokok pasif. Efeknya enggak kalah ngeri dengan perokok aktif.” Aslam mendengus kesal.
“Ya udah lo boleh kok cabut duluan kalau enggak mau deketan ama kita. Iya enggak, Boys!” Kata Arga menantang.
“Yo’i,” sahut Ardi dan Aril bersamaan.
“Tunggu gue masih betah. Gue pingin nyadarin kalian kalau rokok tuh enggak ada gunanya,” sahut Aslam bertahan.
“Pertama, buang-buang duit. Mending tu duit ditabung atau sedekah daripada dibakar jadi rokok.”
“Kan, duit-duit gue sendiri, Lam. Bukan duit lo. Jadi, enggak ada masalahkan sebenarnya?” Tanya Aril sambil melirik Arga dan Ardi yang sontak mengangguk kompak.
Aslam tak menggubris sanggahan temannya. Ia melanjutkan, “Kedua, nambah penyakit. Enggak hanya buat diri kita. Buat orang lain sebagai perokok pasif pun kita nyumbangkan penyakit. Bisa jadi kita zalim lho pada mereka.”
“Ya, udah enggak perlu deket-deket ama kita kali kalau enggak mau jadi perokok pasif. Iya enggak, Gae?” Ganti Arga yang membantah.
“Yo’i,” sahut yang lainnya.
“Ketiga, buat hidup sia-sia. Istilah kerennya, kita enggak ngehargai hidup yang Allah berikan cuma sekali doang. Mending diisi untuk hal-hal yang positif. Bukan sekadar kongkow-kongkow sambil menghisap rokok.”
“Eh, tunggu-tunggu bukannya LP selama ini juga suka kongkow-kongkow bareng kita selama ini. Kok baru protes sekarang?” Ardi bertanya heran.
“Ya, selama ini gue masih wait and see. Sekarang, gue kudu ngomong ama kalian tentang kegelisahan gue ini. Oke?”
Hanya terdengar dengusan dan asap rokok yang mengepul sebagai jawaban pertanyaan Aslam. Namun, ia tak menyerah. Tugasnya sebagai mahasiswa fakultas kedokteran hanya menyampaikan apa yang dia pahami. Selebihnya, diterima atau enggak, urusan belakangan.
“Keempat, hukum rokok makruh. Dibenci Allah, Boys!”
“Idih, udah bawa-bawa agama. Sok suci amat sih lo sekarang, Bro,” seloroh Arga.
“Bukan sok suci, tapi gue ingin kita sama-sama ngehargai hidup yang kita sama-sama yakini ini pemberian Allah. Enggak kece kan kalau kita dibenci sama Rabb yang udah nyiptain kita?”
“Ya, kan enggak sampai haram, Lam?” Aril membuang puntung rokok terakhir.
“Emang sih, tapi dibenci Allah itu harusnya udah jadi alasan kuat kita enggak ngerokok. Ditambah lagi banyak kerugian yang ditimbulkan rokok ini. Pasti kalian sendiri udah tahu dong.” Aslam menambahkan penjelasannya.
“Btw, mati itu juga enggak mesti karena rokok kan? Banyak lho orang mati bukan karena rokok. Iya enggak?” Kali ini Ardi yang beragumen.
“Emang, tapi fakta membuktikan bahwa penyakit disebabkan rokok dan menimbulkan kematian banyak kan? Fakta enggak terbantahkan lho.” Aslam menunjukkan data di laman layar datarnya.
“Susah buat ninggalin rokok itu, Bro. Udah nagih banget,” ucap Arga mengepulkan asap rokok elektronik.
“Bisa kalau kita mau.” Aslam menepuk bahu Arga tiga kali.
“Heeemmm, gini ini nasib kalau punya teman segeng mahasiswa kedokteran yang salehnya minta ampun. Apa-apa dihubungkan sama agama dan dunia medis.” Aril menepuk dahi lalu mengusapkannya ke muka.
“Gue, lo, lo, dan LO,” ucap Aslam menunjuk ketiga lawan bicaranya, “adalah aset masa depan bangsa dan agama Islam. Jangan sampai kita mati sia-sia hanya karena ini!” Puntung rokok yang ada di asbak diangkat dan diacungkan.
“Bangsa ini butuh kiprah kalian untuk mengentaskan keterpurukan ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, pendidikan, dan juga dunia politik. Gue berharap kita bisa bergandengan tangan untuk membangun negeri ini bersama.”
Batu, 27 Oktober 2022