Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Redaktur Pelaksana muslimahtimes.com)
Muslimahtimes.Com-Di zaman yang jauh dari penerapan syariat Islam, riba menjadi hal yang biasa. Atas nama kepentingan dunia, banyak orang yang tak segan menceburkan diri dalam transaksi ribawi. Mereka tak menyadari bahwa dosa tengah mereka tenun. Sudahlah di dunia merana, kelak di akhirat pun tersiksa.
Sebagaimana diketahui, riba adalah tambahan pengembalian atas akad pinjam meminjam alias manfaat yang didapatkan dari utang. Dalam era modern hari ini, riba dikemas dengan nama bunga. Tampak cantik, namun sesungguhnya busuk dan membinasakan.
“Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”. (QS Al-Rum: 39)
Dalam hadis lainnya dinyatakan bahwa, “Tiap utang yang disertai manfaat tambahan adalah riba.” (HR. Al-Baihaqi dari Ibnu Mas’ud)
Tambahan yang terkategori riba adalah apabila telah disepakati dan telah diketahui di awal. Jika tidak, maka tidak terkategori riba.
Hidup Berkah Tanpa Riba
Merebaknya praktik riba sebetulnya tak bisa dilepaskan dari penerapan sistem kapitalisme hari ini. Sebagaimana diketahui, bahwa sistem kapitalisme menjadikan riba sebagai urat nadi bagi eksistensinya. Rakyat yang telah mengadopsi gaya hidup matrealistik pun akhirnya terjerat dalam pusarannya. Bunga bank menjadi hal yang dikejar demi menggelembungkan harta tanpa perlu memutar otak. Tinggal simpan harta di bank, niscaya akan berkembangbiak dengan sendirinya. Padahal cara pengembangan harta dengan cara demikian adalah haram. Islam memiliki aturan dalam pengembangan harta dengan cara yang halal, yakni dengan jual beli, melakukan syirkah, dan lain-lain.
“Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Demikialaan kapitalisme telah mencekoki manusia dengan pemikiran matrealistis, sampai-sampai mengabaikan aturan agama demi tercapainya tujuan duniawi. Padahal harta dunia hanyalah kebahagiaan semu yang kelak akan hilang tatkala kita telah dijemput kematian. Kebahagiaan abadi adalah tatkala Allah rida atas setiap perbuatan kita. Untuk itulah, mengukuhkan diri untuk tetap berada di koridor syariat-Nya merupakan sebuah keharusan. Tak mudah tergiur oleh tawaran duniawi jika itu mencederai ketakwaan.
Untuk apa rumah mewah dan kendaraan mahal jika dibeli dengan kredit ribawi? Keberkahan akan jauh dari hidup kita dan sebaliknya hati akan diliputi gundah nestapa karena digelayuti cicilan utang riba. Ingatlah, bahwa riba adalah dosa besar yang tak hanya mengenai pelakunya saja, tetapi juga orang-orang yang menyaksikan bahkan mencatatnya.
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya dan dua saksinya”, dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mereka itu sama.” [HR. Muslim, no. 4177]
Allah Swt bahkan telah mengabarkan kondisi orang-orang yang di dunianya memakan harta riba dengan gambaran yang mengerikan di akhirat, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) gila.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Segeralah Bertobat, Tinggalkan Riba
Andai saja sifat qona’ah dimiliki oleh kita, tentu saja kita tak kan rela menceburkan diri ke dalam perkara yang Allah haramkan. Sebab kita senantiasa merasa cukup atas rezeki halal yang Allah berikan kepada kita, meski sedikit. Kita takkan mudah memaksakan diri memiliki barang-barang mewah, bahkan sampai rela menabrak syariat-Nya dengan akad ribawi.
Perlu kita pahami bahwa hidup di dunia adalah untuk berlomba-lomba beramal saleh demi mengumpulkan bekal terbaik untuk pulang ke kampung akhirat, bukan berlomba-lomba mengumpulkan harta dan kemewahan. Apalagi jika sampai gemerlap dunia menjadikan kita lupa akan rambu-rambu agama. Naudzubillah…..
Beginilah hidup saat jauh dari aturan Ilahi, praktik haram merajalela tanpa negara bisa menghentikannya. Mirisnya, malah negara turut menjadi teladan bagi pelaku riba. Ya, utang luar negeri berbasis riba terus menggelembung lebih dari Rp7000 triliun jumlahnya. Negara harus membayar bunganya saja sebesar Rp400 triliun per tahun, dan pokoknya Rp 700 triliun per tahun. Luar biasa! Maka, jangan heran jika rakyat terus dipalak dengan sederet pajak demi membayar utang riba tersebut. Sudahlah dibebani harga-harga kebutuhan pokok yang serba mahal, rakyat harus kembali diperas dengan pungutan pajak. Ironis!
Bagaimana mungkin negeri ini diliputi berkah jika praktik riba merajalela dan justru direstui negara?
Rasulullah saw bersabda:
“Jika zina dan riba tersebar luas di suatu kampung, maka sungguh mereka telah menghalalkan atas diri mereka sendiri azab Allah.” (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani)
Oleh karena itu, saatnya bertobat dan kembali mendekap syariat-Nya jika negeri ini ingin diliputi berkah dan rahmat-Nya. Kita harus sadar bahwa hanya sistem Islam dalam naungan Khilafah yang mampu mewujudkan keberkahan hakiki bagi manusia. Wallahu’alam bis shawab