Oleh: Ummu Hana
Beberapa hari belakangan ini banyak berita yang membuat dahi mengkerut. Berbagai berita yang meNjadikan hati tidak tenang. Mulai dari berita kriminalitas yang semakin mengerikan dan sudah jadi makanan sehari-hari, kemudian munculnya “orang gila” yang mengincar ulama, ustadz, pesantren ataupun masjid, di tambah kondisi ekonomi yang mencekik dimana harga-harga kini semakin melambung tinggi. Dan satu lagi berita yang tak kalah bikin heboh yaitu tentang penarikan zakat 2,5% buat para ASN tiap bulan. Kehebohan yang akan semakin terasa terutama di kalangan para ASN karena merekalah target program ini.
Seperti diketahui, Menteri Agama Lukman Hakim beberapa waktu yang lalu mengeluarkan wacana seputar kebijakan pemerintah untuk menarik zakat 2,5% bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) muslim. Kebijakan yang dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) ini ditegaskan bukan paksaan sehingga ASN yang merasa keberatan dapat mengajukan permohonan. Sistemnya berupa pemotongan rutin sebanyak 2,5% dari gaji pegawai setiap bulannya, lalu dikumpulkan oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) milik pemerintah untuk diserahkan kepada para mustahik yang berhak menerimanya.
Tak ada yang aneh saat Menteri Lukman menjelaskan latar belakang keluarnya Perpres tentang zakat. Karena bagi seorang muslim zakat merupakan sebuah kewajiban. Disamping itu potensi zakat di negeri ini juga besar, sekitar 260-300 triliun. Jika digunakan dengan benar, tentu akan memberikan efek ekonomi yang tidak kecil untuk kemaslahatan manusia.
Hanya saja, ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan dan perlu di kritisi dalam menanggapi rencana tersebut. Pertama, zakat adalah permasalahan fiqh yang sudah jelas ada dalilnya, sehingga tidak boleh mengarang atau membuat aturan sendiri. Sudah jadi pemahaman umum jika dalam zakat harta itu ada nishob dan haulnya. Kalau tidak memenuhi nishob dan haul berarti bukan zakat namanya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw :“Tidak ada zakat atas harta, kecuali yang telah melampaui satu haul (satu tahun).” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah)
Kedua, Kalau berbicara tentang fakta kehidupan ASN, tidak semua para ASN adalah orang yang bisa digolongkan mampu zakat. Bahkan, terkadang gaji yang mereka terima saja untuk hidup dalam era yang serba kapitalis materialis saat ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Gaji mereka habis bahkan kurang untuk membiayai keperluan sehari-hari, biaya kesehatan dan juga untuk biaya pendidikan anak. Bahkan terkadang mereka harus cari tambahan job lain untuk menambah income. Jika faktanya demikian, apakah mereka tetap wajib zakat?
Ketiga, dari sisi pemanfaatannya. Pemanfaatan zakat sudah tercantum dengan jelas dalam Al qur’an untuk 8 asnaf (golongan). Karena zakat adalah ibadah, maka tidak boleh keluar dari patokan dalil yang sudah ada. Sehingga memanfaatkan zakat untuk selain 8 asnaf ini seperti digunakan untuk membangun insfastruktur misalnya, jelas tidak boleh atau haram karena tidak sesuai dengan aturan Islam.
Apalagi kalau kemudian pemanfaatan zakat ini menjadi tidak jelas rimbanya, diselewengkan atau dikorupsi. Bukannya kita tidak mendukung program ini. Tetapi, karena melihat track record penguasa selama ini, dimana kasus korupsi atau penyalahgunaan dana yang banyak bermunculan, maka tidak salah bukan jika kita menjadi ragu dan tidak percaya?
Oleh karena itu, layak jika kita memberikan kritikan terhadap rencana pemungutan zakat ini. Terlebih karena pelaksanaan zakat ini adalah bagian dari syariat Islam. Jika pemerintah bersemangat untuk menjalankan syariat zakat ini, maka harusnya pemerintah juga semangat untuk menjalankan syariat Islam yang lain. Karena mengambil hukum syariat Islam tidak boleh secuil-secuil. Jika penguasa memang berniat menjalankan zakat karena zakat adalah bagian dari syariat Islam, maka seharusnya penguasa juga harus menjalankan syariat Islam secara total (kaaffah). Kewajiban zakat, haramnya riba, larangan lgbt, larangan miras, kewajiban menutup aurat, kewajiban menegakkan khilafah dll. Semua harus dijalankan karena semua itu adalah syariat Islam.
Sebagaimana firman Allah SWT:“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaaffah (menyeluruh), dan jangan mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (TQS. AL Baqarah: 208)
Tapi kenyataannya tidaklah demikian. Mengapa? Karena negeri ini adalah penganut sistem kapitalis-sekuler dimana asas yang dianut adalah sekuler yaitu agama terpisah dari kehidupan. Maka tidak mungkin selama negeri ini menganut sistem sekuler, maka syariat Islam kaaffah itu akan dijalankan.
Begitupun dalam hal tolak ukur. Dalam sistem kapitalis-sekuler, tolak ukur yang digunakan adalah manfaat. Yang bermanfaat akan dilakukan dan yang tidak bermanfaat akan dibuang. Lihatlah di negeri kita yang sekuler ini. Berbagai kasus yang menimpa umat Islam seperti kasus terorisme, kriminalisasi ulama, kriminalisasi pengajian Islam, kriminalisasi ide khilafah dan lainnya seakan menunjukkan betapa penguasa saat ini tidak berpihak dengan umat Islam. Umat Islam di negeri ini mayoritas tetapi perlakuan yang diterima seakan menjadikan umat islam sebagai pihak minoritas. Tetapi di sisi lain, penguasa begitu menggebu-gebu mengejar potensi dana zakat dari umat Islam yang tidak kecil yang jelas akan menguntungkan penguasa disaat penguasa saat ini sudah kebingungan mencari sumber dana. Satu sisi umat Islam sering dituduh & diperlakukan semena-mena, tapi disisi lain umat Islam dimanfaatkan dananya.
Satu hal yang perlu diingat!! Jika pelaksanaan aturan zakat ini berlandaskan pada sistem sekuler yaitu karena manfaat yang ingin di dapat, maka Allah tidak akan pernah ridho dan keberkahan juga tidak akan di dapatkan. Masalah tidak akan tertangani tapi justru yang akan didapat kelak adalah masalah lain muncul karena tujuannya hanya ingin dapat manfaat bukan karena menjalankan syariat Allah.
Oleh karena itu, pelaksanaan zakat sebagai bagian dari syariat Islam akan betul-betul terlaksana dengan benar dan optimal serta akan menjadi solusi dari permasalahan umat jika pelaksanaan ini di landasi oleh keimanan dan tujuan untuk mendapat ridho Allah. Dan hal ini hanya akan di dapatkan jika negeri ini ada dalam naungan sistem Islam yaitu Khilafah, bukan dalam sIstem sekuler seperti saat ini.
Wallaahu a’lam bishowwab