Oleh. Eri
(Pemerhati Masyarakat)
MuslimahTimes.com – Istilah greenwashing masih terdengar asing di telinga kita. Masih banyak masyarakat yang belum paham apa itu greenwashing. Pada dasarnya greenwashing adalah strategi pemasaran dan komunikasi bagi perusahaan untuk menampilkan wajahnya yang lebih ramah lingkungan, mulai dari produk, nilai dan tujuan perusahaan. Walau semua itu tidak berdampak pada kelestarian lingkungan.
Strategi greenwashing berupa iklan, promosi atau acara yang bertema ramah lingkungan. Metode pemasaran yang ‘menipu‘ konsumen ini, bertujuan mendapatkan kepercayaan dan dukungan terhadap bisnisnya. Selain itu, alasan sederhana di balik greenwashing adalah profit. Kesadaran masyarakat akan isu lingkungan semakin meningkat, terutama generasi millenial. Mereka akan membelanjakan lebih banyak untuk produk yang dianggap peduli lingkungan.
Untuk membuktikan janjinya, perusahaan besar minuman bersoda ‘Coca Cola‘ menjadi sponsor CONFERENCE of The Parties ke-27 (COP 27) The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) akan diadakan di Sharm El Sheikh, Mesir pada November 2022. Pihak perusahaan menegaskan tujuannya menghilangkan limbah untuk meningkatkan kesadaran tentang tantangan ini.
Namun, banyak pihak yang merasa skeptis terhadap komitmen Coca-Cola. Sangat aneh, program menangani perubahan iklim justru dibiayai oleh salah satu penyebab terbesar perubahan iklim. Para aktivis menduga apa yang dilakukan perusahaan minuman itu tidak lebih dari bentuk kompromi politik.
Wajar, para aktivis lingkungan merasa kecewa. Direktur Kampanye Kelautan Greenpeace AS, John Hocevar, mengatakan bahwa Coca-Cola memproduksi 120 miliar botol plastik sekali pakai setahun. Sayangnya, 99 persen plastik terbuat dari bahan fosil yang memperburuk iklim. Bayangkan, bagaimana program itu berjalan maksimal bila produksi botolnya terus mencemari lingkungan.
Media Jerman Deutsche Welle (DW) juga menyoroti tindakan greenwashing oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Dari data DW, perusahaan berkomitmen untuk menggunakan 20%-30% botol plastik jenis Polyethylene Terephthalate (PET) hasil daur ulang pada 2011. Namun, janji itu gagal dipenuhi. Dampaknya 8 juta ton limbah plastik memenuhi lautan setiap tahun. Bahkan, dunia menghasilkan 350 juta ton sampah plastik pada 2019. Hanya 9 persen yang di daur ulang. (detiknews.com 3/11/22)
Sampah plastik menjadi limbah yang menakutkan. Kita bisa menemukan sampah plastik di seluruh lautan, danau, sungai hingga tanah. Semua imbas pertumbuhan industri dan ekonomi yang mengabaikan limbah. Penggunaan plastik yang naik drastis tiap tahun telah memperburuk masalah polusi plastik. Selain itu, sistem daur ulang dan pengelolaan limbah tidak memiliki kapasitas yang memadai, hingga memperburuk keadaan.
Polusi plastik juga berdampak pada kesehatan manusia, seperti menjadi tempat berkembang biak bagi virus penyakit. Pengaruh lainnya menghalangi drainase dan sistem rekayasa air limbah yang menyebabkan bencana alam. Bahkan merusak estetika alam baik pantai, sungai atau danau.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi polusi plastik. Strategi dimulai dari mengurangi konsumsi plastik, daur ulang limbah dan memperluas sistem pembuangan limbah. Perlu komitmen semua pihak mendukung menyelesaikan masalah ekologi, sosial dan ekonomi akibat limbah. Sebab, masalah ini bukan hanya negara berkembang melainkan masalah semua negara.
Sayangnya, upaya yang dilakukan setiap tahun melalui kesepakatan konferensi iklim tidak mengubah keadaan. Masalah utama bukan pemakaian plastik yang meningkat, namun sistem yang mengutamakan profit. Keinginan mendapatkan profit telah mendorong produksi secara besar-besaran dan pola konsumsi yang berlebihan. Bila seperti ini, dipastikan perlindungan lingkungan terabaikan.
Proyek hijau agar terlihat ‘ramah lingkungan‘ oleh korporasi merupakan basa-basi kapitalisme. Sangat sulit mewujudkan kelestarian lingkungan dengan sistem kapitalisme yang lebih mengutamakan kepentingan korporasi. Alhasil, ekosistem laut yang rusak, pencemaran air, munculnya berbagai macam penyakit adalah dosa-dosa kapitalisme.
Masalah kerusakan lingkungan tidak cukup diselesaikan secara parsial. Oleh sebab itu, dibutuhkan kebijakan yang memiliki sudut pandang menyeluruh. Menyelesaikan masalah sampai ke akar-akarnya, baik individu, masyarakat dan negara. Kerusakan lingkungan bersifat holistik akibat dari kerusakan alam.
Dibutuhkan peran negara yang terbebas dari kepentingan korporasi. Merumuskan regulasi yang ramah lingkungan sebagai komitmen pemerintah serius menangani kerusakan lingkungan. Sebab, masalah ini perlu penanganan sistematis. Konsep yang komprehensif ada dalam sistem Islam.
Islam sangat memperhatikan kelestarian lingkungan, bagaimana perencanaan, pembangunan, pemeliharaan lingkungan dibuktikan saat Khalifah menjadi poros peradaban. Konsep yang dijalankan bertujuan meraih nilai ruhiyah. Selalu mengaitkan aktivitas dengan keimanan pada Allah Swt.
Di sisi lain, Islam juga menekankan gaya hidup masyarakat serta bijak dalam menggunakan plastik. Membangun pola hidup sehat dengan membuang sampah pada tempatnya. Mengurangi dan mengubah kebiasaan penggunaan plastik secara besar-besaran. Memberikan pemahaman terkait pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan sesuai perintah Allah swt.,
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya…” (QS Al-A’raf: 56)
Hal terpenting negara mendorong inovasi teknologi dalam pengelolaan sampah. Mengganti plastik dengan bahan ramah lingkungan. Memaksimalkan hasil daur ulang. Serta mengeluarkan regulasi pemakaian bahan plastik dan sanksi tegas bagi perusahaan yang menggunakan plastik secara berlebihan.
Maka, proyek hijau ‘ramah lingkungan‘ yang digagas kapitalisme tidak ubahnya seperti bisnis. Konsep kebijakannya mencerminkan sistem yang berlaku. Berbeda dengan Islam dalam menangani kelestarian lingkungan. Konsep yang dibangun berdasarkan kemaslahatan umat. Untuk itu, penting menjadikan Islam dalam sistem Khilafah sebagai rujukan dalam menjaga lingkungan.
Waallahu a’lam bis shawwab.