Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute)Â
MuslimahTimes.com – Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disahkan di tengah kontroversi. Undang-undang pengganti KUHP lama buatan Belanda yang sudah diterapkan sejak 1918 alias 104 tahun lalu tersebut, masih tidak memuaskan. Termasuk bagi Komnas Perempuan. Ada kekhawatiran bahwa UU pidana yang baru ini malah berpotensi mengkriminalkan perempuan. Khususnya pasal-pasal terkait pencabulan, pelacuran, aborsi dan perzinaan.
Narasi para pejuang hak asasi perempuan itu, berpegang pada cara pandang sekularistik bahwa perempuan harus diberi kebebasan mutlak atas otoritas tubuhnya. Baik tata cara beragama, berpakaian, menyampaikan pendapat, berhubungan seksual dan ber-reproduksi. Menurut mereka, tidak boleh ada UU yang membatasi, mengatur dan mempidanakan perempuan, selama itu menyangkut otoritas tubuhnya. Sebab, itu adalah hak asasi perempuan.
Mereka akan serta merta menuduh aturan seperti itu sebagai UU yang bernapas patriarki alias menindas perempuan. Mereka akan playing victim bahwa perempuan adalah korban dari kejahatan laki-laki semata. Jadi, laki-lakilah yang harus dihukum. Perempuan sebagai korban harus dibela.
Misalnya, tidak boleh ada UU yang mengkriminalkan perempuan pelaku aborsi, melacurkan diri, dan pezina. Tidak boleh ada hukuman bagi pasangan yang hidup serumah tanpa ikatan nikah yang sah, karena pasti akan mengkriminalkan perempuan. Menurut mereka, itu pelanggaran hak perempuan. Inilah kesalahan paradigma mereka, yang justru semakin meneguhkan betapa kelirunya arah perjuangan para pembela perempuan.
Perempuan Bisa Dipidana
Baik laki-laki maupun perempuan, berpotensi melakukan kejahatan atau jarimah. Definisi jarimah atau kriminalitas adalah segala perbuatan yang dilarang oleh syariat Islam dan ditentukan hukumannya oleh Allah. Baik dalam bentuk sanksi-sanksi yang sudah jelas ketentuannya (had) maupun yang sanksinya belum jelas ketentuannya (ta’zir), tetapi diserahkan pada kebijakan penguasa (Khalifah).
Jarimah dibagi menjadi dua, yaitu jinayat dan hudud. Jinayat berkaitan dengan pembunuhan yang sanksinya meliputi qishash, diyat, dan kafarat. Sedangkan hudud berkaitan dengan sanksi di luar pembunuhan, seperti penganiayaan, zina, qadzaf, mencuri, miras, menyamun, merampok, merompak, dan bughat (memberontak penguasa).
Semua jenis kriminal tersebut, bisa dilakukan laki-laki maupun wanita. Mereka akan diperlakukan sama di hadapan hukum. Diberi sanksi tegas, tanpa memandang jenis kelaminnya. Selama ada bukti dan saksi di pengadilan bahwa dia bersalah, maka ia dihukum. Jadi, pembuatan UU pidana tidak dipengaruhi persoalan gender. Siapa yang terbukti bersalah, maka dia dihukum.
Memang, ada kondisi untuk kasus-kasus khusus yang mengharuskan penundaan hukuman karena faktor keperempuanan. Misal, jika ada pezina perempuan yang akan dirajam, namun ternyata hamil, maka hakim akan memberi tempo sampai dia melahirkan dan menyusui anak. Setelah itu, hukum rajam tetap diberlakukan. Tidak boleh kasihan dan membela pelaku kriminal, hanya karena dia perempuan. Inilah kunci keberhasilan penegakan keadilan.
Islam Mencegah Kriminalitas
Seberapa besar peluang seorang perempuan melakukan tindak kriminal, ini sangat tergantung bagaimana sistem hidup yang diterapkan saat ini. Jadi, bicara soal pembelaan perempuan, harusnya tidak meninggalkan aspek mencegah mereka agar tidak terjerumus dalam tindak kriminal.
Bagaimana caranya, supaya perempuan tidak mencuri, tidak membunuh, tidak melacurkan diri, tidak aborsi, tidak diperkosa, tidak dibunuh, tidak dianiaya, tidak berzina, tidak lesbian, dan tidak melakukan tindak kriminal lainnya. Sanggupkan sistem sekuler kapitalis yang liberal saat ini, mencegah perempuan agar tidak melakukan itu semua? Jawabnya, tidak. Sebaliknya, justru gara-gara penerapan sistem sekuler liberal inilah, perempuan menjadi pelaku kriminal.
Sistem ini telah melahirkan perempuan-perempuan pezina, pelacur, lesbian, pencuri, penipu dan segala jenis kriminalitas lainnya. Apa sebab? Karena sistem sekuler membuka peluang itu semua. Melalui tekanan hidup dan tekanan sosial yang tidak memberi jaminan kesejahteraan dan keadilan bagi mereka. Jadi, tidak cukup UU Pidana menghukum mereka, tetapi tak kalah penting bagaimana menyelamatkan mereka sebelum terjerumus dalam perilaku pidana.
Cukup UU AllahÂ
UU KUHP yang baru, tidak akan pernah memuaskan seluruh elemen masyarakat. Sebab, UU tersebut buatan manusia. Tidak akan pernah bisa memberikan perlindungan sekaligus menegakkan keadilan, khususnya bagi perempuan. Pasal zina misalnya, akan tetap merugikan perempuan maupun laki-laki, selama hukum cambuk dan rajam tidak ditegakkan.
Kaum sekuler berpikir, tanpa menghukum pelaku zina yang suka sama suka, mereka telah membela hak-hak perempuan. Padahal pada hakikatnya mereka semakin menjerumuskan perempuan sebagai objek permainan laki-laki. Alih-alih mencegah mereka dari kriminalisasi, justru memperbudak perempuan sebagai objek seksual.
Maka, hanya dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh, perempuan akan terlindungi secara paripurna. Sejak masih bayi, masa kanak-kanak, remaja, dewasa hingga lansia, perempuan dimuliakan dan dilindungi dengan berbagai aturan yang jelas, tegas dan komprehensif. Perempuan tidak akan dikriminalisasi selama patuh dan taat syariat.
Perlindungan atas kehormatan perempuan ini, dilakukan dengan dukungan penuh negara yang menerapkan sistem Islam. Penguasa tinggal menerapkan aturan buatan Allah Swt yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, bukan aturan yang bersumber dari penjajah atau pemikiran segelintir manusia.
Perlindungan perempuan agar tidak dikriminalisasi dimulai dari pembentukan kepribadian mereka agar senantiasa terikat pada hukum syarak. Perempuan diajarkan tentang menutup aurat, menjaga pandangan, menegakkan pergaulan sosial yang terpisah dengan laki-laki, tidak pacaran, tidak zina dan tidak lesbian.
Di rumah mereka dilindungi dengan mekanisme perwalian. Seorang anak yang belum menikah, ada wali yang bertanggung jawab atas dirinya. Wali harus mengetahui ke mana anak perempuannya pergi dan beraktivitas, karena izin di tangannya.
Izin perempuan bukanlah bentuk pengekangan atau pelanggaran atas hak asasi perempuan. Tetapi sebagai bentuk penjagaan atas harkat dan martabatnya. Seorang wali tidak boleh membebaskan perempuan dalam tanggungannya untuk pergi dan beraktivitas yang membahayakan kehormatannya dan melanggar syariat.
Perlindungan atas perempuan juga tampak dari penetapan konsep mahram dalam kehidupan khusus (hayatul khashash). Di sini mereka hanya tinggal bersama mahram-mahramnya, yaitu keluarga inti yang tidak boleh ada hubungan jinsiyah (biologis). Ayah, kakak laki-laki atau mertua laki-laki, mereka bertindak melindungi dan mengayomi.
Dengan penerapan sistem Islam, perempuan terhormat tidak perlu takut dikriminalisasi. Asalkan dia menutup aurat, menjaga pergaulan dan tidak melakukan kemaksiatan. Demikianlah cara hakiki untuk mewujudkan perlindungan dan penjagaan atas kehormatan perempuan. Jika aturan Islam diterapkan, tak perlu cemas dan khawatir dikriminalisasi, karena perempuan mulia jauh dari kemaksiatan.(*)