Oleh. Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute)
Muslimahtimes.com–Tahun 2022 baru saja berlalu, meninggalkan jejak kelam terkait potret pergaulan muda-mudi. Bagaimana tidak, zina dini kian marak, yang dilakukan anak-anak usia belasan tahun. Salah Satu bukti adalah catatan dari Pengadilan Agama (PA) Ponorogo yang menerima laporan 191 permohonan anak menikah dini selama 2022.
Sebagian besar alasannya adalah terlanjur hamil dan melahirkan. Tepatnya, 125 anak menikah karena hamil duluan. Sedangkan 51 sisanya karena memilih nikah daripada melanjutkan sekolah. Sebanyak 184 perkara, berusia 15-19 tahun. Sedangkan yang di bawah 15 tahun, sebanyak 7 perkara. Sejumlah 106 perkara adalah pelajar usia SMP. Sedangkan usia SD 54 perkara, SMA 25 perkara, dan tidak sekolah 6 perkara (detikjatim).
Karena masih usia pelajar, rata-rata mereka belum berpenghasilan, yakni 105 perkara. Sisanya, 79 perkara adalah anak-anak yang bekerja di perusahaan swasta. Tak hanya di Ponorogo, di tahun yang sama di Kulon Progo juga ada 54 pasangan anak yang mengajukan dispensasi nikah. Mayoritas juga karena hamil duluan (detikjateng).
Data ini sangat ironis di tengah gencarnya upaya Kementerian Perlindungan Anak menekan laju pernikahan dini. Memang, dibanding 2021, jumlah nikah dini ini menurun, namun jika diakumulasi secara nasional, angkanya masih cukup mengejutkan. Tampaknya, UU Perkawinan yang menaikkan usia pernikahan tidak mampu menekan nikah dini.
Tekan Angka Zina
Mengatasi persoalan nikah dini, seharusnya tidak hanya fokus dalam mencegah pernikahannya, tetapi mencegah penyebab mengapa mereka nikah di usia bocah. Sudah jelas, mayoritas karena hamil duluan. Artinya, zina dini ini yang harus dicegah. Zina marak di mana-mana, tapi tidak pernah dipersoalkan oleh para pemimpin bangsa.
Zina sudah merebak di kalangan pelajar, tapi buku ajar tak pernah dirombak untuk menekannya. Menteri Pendidikan dan Menteri Agama anteng-anteng saja, tidak ada pernyataan sikap tentang zina anak-anak berseragam sekolah ini. Tidak ada keprihatinan, apalagi upaya pencegahan. Tidak ada pernyataan tegas akan keharamannya dan ajakan untuk meninggalkannya. Padahal zina adalah kekejian yang mutlak tanpa perlu diperdebatkan.
Sangat ironis kekejian itu melanda kaum pelajar. Generasi muda di usia anak-anak yang seharusnya sedang getol-getolnya mencari ilmu, berbelok mencari syahwat. Yakin, mereka yang memilih menikah itu, tak tahu makna cinta, melainkan hanya nafsu. Apalagi paham hak dan kewajiban suami istri, bahkan gambaran apa yang ada di balik konsekuensi pernikahan pun belum sampai padanya.
Tentu ini ada yang salah dalam proses pendidikan. Ada yang salah dalam kurikulum pendidikan. Kurangnya penanaman agama, moral atau akhlak yang kokoh. Muatan agama yang cenderung sekuler dan tidak tegas, justru memerdekan anak didik dari keterikatan mereka pada agama. Mereka berbuat maksiat, bahkan dosa besar berupa zina tanpa ada rasa takut. Malah enak, setelah itu dinikahkan, bukannya khawatir dengan laknat Allah Swt.
Apalagi saat ini justru digaungkan moderasi agama yang semakin menghilangkan fungsi utama agama dalam membentengi mereka dari perbuatan maksiat. Sebab, hakikat dari moderasi beragama artinya melunakkan pemahaman mereka terhadap agama yang dianggap keras atau radikal.
Misal, Islam menyebut dengan keras dan tegas bahwa zina haram, dan bahkan menghukum pelakunya dengan hukuman cambuk bagi yang belum menikah dan rajam sampai mati bagi yang sudah menikah. Islam mengatakan zina itu dosa besar dan neraka tempatnya, jika tidak bertobat dan diberi sanksi sesuai hukum Allah Swt.
Sudahkah ini ditanamkan di kalangan pelajar? Mengapa tidak dikampanyekan besar-besaran? Mengapa tidak dijadikan arus utama pembangunan moral anak bangsa? Sebab, dalam kaca mata moderat, pernyataan tersebut radikal.
Sebaliknya, anak-anak dibiasakan untuk menerima opini bahwa zina adalah hak asasi setiap orang. Selama dilakukan suka sama suka, tidak mengganggu hak orang lain, maka hormatilah pelakunya. Bukankah itu sama saja dengan menolak ayat-ayat tentang larangan zina dan mendukung gagasan liberal dalam pergaulan?
Demikianlah bila negara ini dipimpin oleh ideologi sekuler kapitalis. Baru satu masalah yaitu “zina” saja, negara tidak mampu mengatasinya. Bahkan berlepas tangan, karena cara pandang sekuler mengutamakan kebebasan individu. Melepaskan ikatan syariat dari aturan.
Itu sebabnya, negara tak sanggup menanggulangi persoalan zina di kalangan pelajar. Juga persoalan zina di mana pun berada. Para pezina pun banyak yang membela. Bahkan jika mereka publik figur, tetap dipuja-puja.
Kurikulum Pernikahan
Kita semua tahu, kurikulum pendidikan kita sama sekali tidak menyiapkan anak didik menuju proses pernikahan. Para pelajar kita tidak dididik untuk menjadi calon suami dan calon istri. Kurikulum pendidikan lebih menekankan pada pembentukan anak didik yang siap kerja, yaitu demi mengabdi pada sistem ekonomi kapitalis.
Laki-laki maupun perempuan dicetak untuk menjadi mesin-mesin produksi di industri kapitalis. Tidak dicetak untuk menjadi manusia-manusia yang siap memikul tanggung jawab sosial saat mereka dewasa dan terjun ke masyarakat.
Memang, anak laki-laki harus bisa bekerja agar kelak mampu menanggung nafkah saat menikah. Tetapi, sudahkah hal itu dipahami sebagai sebuah tanggung jawab besar, atau sekadar untuk mengejar kekayaan karena hidup ini memang butuh materi?
Kurikulum pendidikan tidak menyiapkan muatan pranikah berbasis akidah. Tidak ada kurikulum yang membahas tentang visi dan misi membangun rumah tangga. Tidak ada ilmu yang diajarkan tentang peran seorang laki-laki dalam rumah tangga, juga peran wanita yang kelak menjadi istri. Tidak ada pelajaran tentang dunia pernikahan.
Padahal, hampir semua orang normal akan mengalami fase menikah, hidup berpasangan dengan lawan jenis, menjadi istri atau suami dan bahkan menjadi ibu dan ayah ketika anak-anak lahir. Sayangnya, semua ilmu berkaitan dengan dunia pernikahan itu sangat minim diajarkan di sekolah.
Hasilnya, pernikahan hari ini banyak yang gagal. Jangankan yang nikah usia dini di saat kondisi mental, spirutual dan materi minim, mereka yang sudah tampak siap menjalani pernikahan saja bisa gagal. Entah apa yang akan terjadi pada ratusan pasang pengantin anak-anak itu, bila negara pun lepas tangan pascapernikahan.
Pendampingan Pascanikah
Di luar konteks pembahasan soal keabsahan pernikahan para pasangan bocah ini, tak kalah penting, bagaimana pemantauan dan pendampingan mereka setelah menikah. Apakah para suami yang masih bocah itu mampu menjalankan kewajibannya memberi nafkah. Apakah tidak ada penelantaran kepada para istri muda tersebut. Apakah tidak ada kekerasan dalam rumah tangga, problem klasik yang kian marak terjadi saat ini. Sudahkah negara mengambil peran dalam hal ini?
Inilah bedanya sistem sekuler dengan sistem Islam. Sistem sekuler membebaskan pernikahan sebagai ranah privat yang diserahkan pada pelakunya masing-masing. Baik sebelum menikah maupun setelah pernikahan, tak ada peran negara di situ. Negara, melalui petugas KUA hanya hadir untuk mengesahkan pernikahan. Setelah itu tak ada mekanisme lanjutannya.
Pasangan menikah harus berjuang dari nol untuk memperjuangkan pernikahannya. Berjuang berdua dalam segala aspek kehidupan, sehingga terkadang harus kepayahan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Padahal hanya kebutuhan sandang, pangan dan papan. Belum lagi biaya pendidikan dan kesehatan.
Berbeda dengan sistem Islam, yang tidak melepaskan begitu saja pasangan yang menikah. Misal, jika ada suami yang belum mampu memberi nafkah, negara hadir memberi solusi. Mereka akan dicarikan pekerjaan yang layak. Jika kedua pasangan itu tak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya, segera disantuni.
Ganti Sistem
Problem pernikahan dini akan terus menjadi momok bila sistem sekuler yang membebaskan syahwat masih dipertahankan. Sistem sekuler liberal inilah yang menciptakan rangsangan hingga para pelajar bangkit secara seksual, bukan bangkit secara pemikiran. Sistem ini hanya bisa dilawan dengan sistem Islam. Sistem yang akan mampu menghentikan zina dini, bahkan juga segala bentuk zina.(*)