Oleh. Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute)
Muslimahtimes.com–ASN perempuan rame-rame gugat cerai para suaminya, alasan ekonomi dan perselingkuhan yang paling dominan.
***
Akhir-akhir ini ada data menarik, seputar kerapuhan rumah tangga di kalangan aparatur sipil negara (ASN atau dulu disebut PNS). Angka perceraian tak terbendung. Terutama gugat cerai istri. Yang paling heboh, tentu gugatan cerai Bupati Purwakarta, Anne Ratna Mustika kepada suaminya Dedi Mulyadi, yang juga mantan bupati. Ternyata, hal ini juga diikuti oleh anak buahnya. Banyak ASN perempuan di Purwakarta yang menggugat cerai. Kebanyakan profesi guru (pojoksatu.com).
Di kota lain, angka perceraian ASN juga meningkat. Di Pemprov Riau misalnya, pada 2022 ada 42 ASN yang mengajukan cerai, naik dari 37 orang pada 2021. Alasan terbanyak, ekonomi dan selingkuh. Kebanyakan juga guru, baik laki-laki maupun perempuan (riau.go.id). Sedangkan di Lumajang, Jatim, pada 2021 ada 23 pengajuan izin cerai ASN dan tahun 2022 turun jadi 18 ASN (radarjember). Di Bojonegoro, pada 2022 ada 39 ASN yang mengajukan perceraian, dan 21 ASN di antaranya nekat cerai tanpa surat izin dari atasan (wartaku.id).
Data ini hanyalah sebagian kecil, karena di daerah lain di seluruh Indonesia tidak akan berbeda nyata. Menggambarkan rapuhnya rumah tangga ASN, padahal dari sisi sumber ekonomi sudah ada kepastian. Walaupun sudah “dipersulit” dengan peraturan pemerintah, tetap bubrah juga. Tidak mengejutkan jika perceraian di luar ASN, yang secara ekonomi lebih tidak terjamin, angkanya juga tak kalah jauh banyaknya.
Upaya Pembinaan Pegawai
Para ASN yang hendak mengajukan cerai, menghadapi prosedur birokrasi yang cukup berlapis. Syarat-syarat dalam proses perceraian PNS diatur dalam PP 10/1983 dan perubahannya. Ia harus mengajukan surat lebih dahulu pada atasan; membuat berita acara dengan mencantumkan alasan lengkap yang mendasari perceraian dan menunggu surat izin persetujuan dari atasan tersebut. Menyerahkan berkas-berkas seperti akta nikah dan sebagainya.
Sebelum izin turun, yang bersangkutan juga harus melalui prosedur mediasi sebagai sarana pembinaan pegawai. Kalau nekat cerai tanpa izin, risikonya bisa dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat berdasarkan PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Sebab, cerai tanpa izin atasan, melanggar Pasal 3 angka 4 PP tersebut.
Jika izin turun, lanjut ke proses cerai di Pengadilan Agama. Jika hasil sidang sudah ada putusan tetap, ia wajib melaporkan perceraiannya secara hierarki selambat-lambatnya satu bulan, terhitung mulai ketok palu. Kalau tidak lapor, bisa dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat. Sebab, ini menyangkut administrasi, seperti perubahan tunjangan istri dan sebagainya.
Tak berhenti sampai situ, jika ASN itu laki-laki, dan dia yang mengajukan perceraian, maka konsekuensinya adalah harus tetap menanggung nafkah mantan istri dan anak-anaknya. Artinya, harus siap berbagi gaji bulanannya, 1/3 untuk dirinya, 1/3 untuk mantan istri dan 1/3 untuk anak. Jika tidak ada anak, 1/2 gaji untuk dirinya dan 1/2 gaji untuk mantan istrinya. Berapa lama? Sampai mantan istrinya menikahi pria lain.
Namun, jika yang mengajukan gugatan cerai adalah sang istri, barulah ia bebas tidak wajib menanggung nafkah mantan istrinya. Demikian UU negara mengatur. Regulasi tersebut, dimaksudkan sebagai upaya pembinaan pegawai, agar menjaga rumah tangganya. Supaya tidak bermudah-mudah cerai. Mereka adalah abdi negara yang diharapkan menjadi teladan dalam rumah tangga. Nah, bagaimana Islam memandang?
Paradoks Istri Berpenghasilan
Idealnya para ASN bisa lebih kokoh kondisi rumah tangganya. Apalagi jika alasannya adalah ekonomi. Mereka punya gaji tetap. Meski ada yang tidak besar dan tidak cukup, tetapi secara ekonomi lebih terjamin dibanding masyarakat kecil. Misalnya, para ASN guru dan terutama juga perempuan. Barangkali karena punya gaji sendiri, sehingga suami dianggap sebagai beban, akhirnya memilih berpisah. Apalagi jika suami gajinya juga pas-pasan, atau bahkan tidak punya penghasilan tetap.
Inilah paradoks dalam sistem kapitalis, di mana semakin mandiri perempuan dalam keuangan, semakin besar peluang dia “menceraikan” suaminya. Padahal jika berdua dalam ikatan pernikahan, bisa saling bekerjasama dalam masalah ekonomi, sehingga rumah tangga lebih kokoh. Sendiri bisa saja sejahtera, tetapi bersama seharusnya lebih sejahtera. Masalahnya, jika suami tidak berpenghasilan, rumah tangga memang akan berjalan timpang.
Fakta lain, banyak juga suami yang abai atas nafkah meski dia mampu. Banyak istri berpenghasilan yang tidak dinafkahi suaminya. Apalagi jika sama-sama ASN. Mentang-mentang istri sudah punya gaji rutin sendiri, akhirnya soal keuangan berjalan masing-masing. Istri berjibaku sendiri untuk membiayai belanja rumah tangga dengan gajinya, suami berhitung membiayai pendidikan anak dengan gajinya, tanpa ada saling komunikasi. Suami akhirnya tidak pernah lagi memberikan nafkah sepeser pun kepada istri.
Padahal jika ada saling kerja sama dan komunikasi, persoalan seperti ini sangat mudah diatasi. Suami tetap wajib memberi nafkah pada istrinya, baik istri punya penghasilan maupun tidak. Tidak gugur kewajiban itu hanya karena istri seorang ASN. Perkara alokasi nafkah itu nanti oleh suami atau istri, tergantung kesepakatan berdua. Tingga diatur saja.
Tidak Menyulitkan, Juga Tidak Memudahkan
Sejatinya, Islam tidak menyulitkan tetapi juga tidak memudahkan urusan perceraian. Allah Swt Mahatahu, bahwa pernikahan memang tidak selamanya berjalan mulus. Pintu perceraian dibuka, untuk menjadi solusi terakhir dari ketidakharmonisan rumah tangga. Karena, baik ASN atau bukan, potensi terjadinya perceraian selalu ada.
Dalam Islam, perceraian tidak memerlukan izin lembaga mana pun, hanya butuh pengesahan dari pengadilan yang berwenang. Perceraian adalah hasil keputusan kedua-belah pihak yaitu suami istri. Karena talak ada di tangan seorang suami, boleh baginya untuk memutuskan ikatan pernikahan kapan saja dia kehendaki dengan alasan apapun. Perceraian sah bila seorang suami berakal sehat, balig, atas kesadaran dan kemauan sendiri. Bukan karena paksaan dari pihak lain, seperti orang tua, kerabat atau atasannya.
Di sisi istri, boleh pula mengajukan permohonan talak (khuluk), kapan pun dia kehendaki. Asalkan, ia siap mengembalikan mahar atau pemberian suami jika suami memintanya. Namun, alangkah lebih baiknya jika perceraian dilakukan semata-mata karena ada alasan syar’i. Sebab, sebaik-baiknya pernikahan adalah diperjuangkan dan dipertahankan, jika memang tidak ada alasan prinsip yang mengharuskannya bubar. Namun demikian, kembali ke hukum asalnya, perceraian itu boleh, apa pun alasannya.
Oleh karena itu, akan berdampak buruk bila pintu perceraian dipersulit, manakala kedua pasangan memang sudah tidak bisa dipersatukan lagi. Fakta di tengah-tengah masyarakat membuktikan, banyak suami yang “menggantung” status istri, karena tidak tegas menjatuhkan talak. Para istri banyak yang tidak dicerai, tapi juga tidak diperlakukan sebagai istri. Tidak dinafkahi baik lahir maupun batin. Status masih istri, tapi rasa janda.
Sementara itu, para suami seenaknya meninggalkan istri untuk menikah lagi dengan wanita lain. Apabila dia seorang ASN, menikahnya sembunyi-sembunyi, demi tidak tercium oleh dinas dan atasannya tempat mengabdi. Istri sebelumnya ditelantarkan. Haknya sebagai seorang wanita untuk menikmati rumah tangga terabaikan. Ini adalah bentuk kezaliman terhadap wanita. Seandainya ia diceraikan baik-baik, tidak menutup kemungkinan bisa memilih dan menikah dengan suami baru. Membangun rumah tangga yang baru yang lebih membahagiakannya.
Islam Solusi Terbaik
Aturan Islam menyebutkan, kewajiban suami menafkahi mantan istrinya hanya berlaku selama masa iddah. Tidak berlaku selamanya. Kecuali nafkah kepada anak-anak, wajib diberikan sampai anak-anak itu baligh dan mampu menanggung dirinya sendiri, jika ia anak laki-laki. Atau sampai anak itu menikah, jika ia anak perempuan.
Besaran nafkah itu, sesuai kemampuan suami dan berdasar putusan pengadilan yang disetujui kedua belah pihak. Tidak ada aturan harus 1/2 atau 1/3 gaji. Hal itu lantaran Islam tidak menciptakan kezaliman, tetapi justru ingin menghilangkan kezaliman. Bayangkan jika seorang suami menceraikan istrinya, lalu 1/2 atau 1/3 gajinya harus menanggung mantan istri, bagaimana ia akan menanggung nafkah istri barunya jika ia telah menikah lagi? Belum lagi anak-anak yang lahir kemudian.
Aturan Islam ini bukan dimaksudkan agar ASN bermudah-mudah cerai. Bukan pula untuk membela para suami dan mendiskriminasi para istri yang dicerai. Akan tetapi semata-mata mendudukkan perkara ini dalam koridor Islam yang benar, meskipun terasa pahit atau bahkan tampak tidak adil. Padahal, justru adil jika istri yang menggugat cerai, maka suami tidak wajib memberikan nafkah kepadanya.
Yang jelas, mau ASN atau bukan, jika sistem hidup yang diterapkan masih sistem sekuler kapitalis yang menjadikan materi sebagai standar kebahagiaan, berapapun kemampuan ekonomi kita tidak akan pernah ada kata cukup. ASN yang punya gaji tetap saja bisa bercerai, apalagi masyarakat marginal.
Maka, kembalikanlah pernikahan pada fitrahnya, yakni sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Jadikan pernikahan sebagai ladang amal saleh. Utamakan untuk saling berbagi, berbelas kasih, berkasih sayang, memupuk kecintaan, menjadi pribadi yang pemurah hati dan dermawan, penyabar dan pemaaf terhadap pasangan dan anggota keluarga.
Materi penting. Tetapi, materi hanyalah sarana menuju ketaatan kepada Allah Swt. Materi hanyalah sarana untuk melanggengkan hubungan dan kasih sayang dengan pasangan. Jangan sebaliknya, materi malah jadi sumber hilangnya kasih sayang dan kehancuran rumah tangga. Karena itu, letakkan materi di ujung jari, jangan di dalam hati. Jangan khawatir, jika sepasang suami-istri memperbanyak kasih sayang, insyaallah Yang Mahakaya akan memperbanyak uang. Lebih tepatnya, memberikan uang yang berkah, baik sedikit atau banyak. Semoga.(*)