Oleh: Hany Handayani Primantara, S.P
#MuslimahTimes — Usai rayakan pesta demokrasi, rakyat Indonesia akan disuguhi lahirnya si Bright Pink sebagai hadiah pasca lebaran. Dikutip dari m.detik.com: PT Pertamina (Persero) segera menjual Elpiji 3 kg non subsidi. Rencananya, Elpiji tersebut diluncurkan pada 1 Juli 2018 mendatang. “Per 1 Juli,” kata Plt Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati saat halalbihalal di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta Pusat, Jumat (22/6/2016).
Dengan dalih tak tepat sasaran, maka keluarlah kebijakan menjual gas non subsidi yang harganya pasti akan jauh lebih mahal ketimbang si Melon. Karena Bright Pink yang akan segera beredar, sasaran utamanya adalah rakyat mampu. Hal ini dilakukan agar bisa memenuhi permintaan pasar dikalangan masyarakat, yang dianggap pemerintah sebagai masyarakat mampu, namun masih menggunakan gas bersubsidi.
Berharap dengan dikeluarkannya gas non subsidi, maka distribusi energi gas bisa tersalurkan adil dan merata ditengah masyarakat sesuai dengan daya beli mereka. Masyarakat dipaksa menerima semua ini, menerima bahwa energi berupa gas di negeri ini bukanlah barang murah. Hal ini lantaran pemerintah tak kelola sendiri hasil tambang bumi berupa gas dan energi.
Padahal jika menengok dalam syariat Islam, justru energi berupa hasil tambang dan gas bumi mestinya dikelola oleh negara. Islam memandang bahwa energi adalah kepemilikan umum (milkiyyah aamaah). Artinya migas bukanlah aset milik negara, bukan pula milik korporasi. Migas termasuk LPG didalamnya adalah milik umat. Masyarakat berhak untuk menikmatinya, tak luput dari koridor hukum syara tentunya karena merekalah pemilik sejatinya.
Kesalahan Pengelolaan Energi
Sudah tepatkah kebijakan ini? Keluarnya kebijakan ini lantaran pemerintah menganggap bahwa subsidi gas 3kg yang diberikan kurang tepat sasaran. Walhasil akan terjadi pemborosan anggaran APBN. Padahal sumber energi kian hari kian langka jika diekploitasi secara terus menerus. Dengan landasan itulah maka pemerintah memaksa agar masyarakat mampu beralih ke gas non subsidi.
Mengapa solusinya tak langsung mengakar pada ketersediaan energi yang dimiliki? Memanfaatkan LNG (Liquid Natural Gas) yang produksinya 700 ribu minyak/barel per hari. Dibanding harus beralih dari minyak tanah ke LPG (liquid proteleum gas). Padahal nyatanya kapasitas kilang minyak gas di Indonesia tak mencukupi. Sehingga harganya pun jadi mahal.
Kesalahan Pengelolaan Energi di negeri ini adalah karena policy maker berpandangan ala neoliberalisme. Tak perlu ada intervensi negara dalam masalah ekonomi karena sejatinya harga termurah akan ditentukan dengan sendirinya sebagaimana teori invisible hand yang kenyataannya justru tak pernah terbukti.
Pengelolaan BBM diprivatisasi, padahal tak ada jaminan bahwa swasta pun dapat terlibat korupsi. Niat menggandeng pihak asing supaya pengelolaan berjalan dengan baik, justru hasil tambang yang ada sebagian besar dikuasai asing. Hasilnya transfer teknologi tak terjadi melainkan ketergantungan akan asing yang kian menjadi. Efek lainnya lingkungan pun tercemar akibat pengelolaan yang tak pedulikan lingkungan.
Begitu pun kedepannya, tak ada yang tahu bagaimana nasib si Melon kelak Usai Bright Pink ini meluncur ke pasaran. Apakah akan tetap beredar seperti sebelumnya atau justru akan semakin langka dipasaran. Walau dari pihak terkait menyatakan tak akan kurangi pasokan gas subsidi elpiji 3 kg. Sebagaimana berita yang Dilansir dari media detik.com berikut ini:
Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Fajar Harry Sampurno mengatakan, adanya produk tersebut tak akan mengurangi pasokan Elpiji 3 kg subsidi. Sebab, alokasi subsidi tetap sesuai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Butuh Mindset Baru Kelola Energi
Rakyat butuh negara yang berpandangan bahwa hubungan mereka dengan rakyat adalah melayani bukan lagi jual beli. Mengayomi bukan malah mendzolimi, dengan mengotak-ngotakan harga penerima sumber energi yang justru makin menimbulkan kesenjangan ekonomi. Butuh negara yang berani untuk mengelola energi dengan tak membuka kran asing untuk ikut campur tangan.
UU ’45 menyatakan bahwa migas bukan milik negara, bukan pula milik korporat atau asing sebagaimana dalam pandangan kaum neoliberalisme. Migas adalah milik umat seperti yang disampaikan oleh Rasulullah yang artinya: kaum muslim berserikat atas tiga hal, air, Padang, gembalaan dan api. Migas disini termasuk dalam katagori api yang dimaksud nabi.
Hal ini pun mesti dibarengi oleh tata kota serta pola hidup hemat energi. Negara harus aktif dalam mengembangkan riset energi alternatif, serta tak luput memberi apresiasi terhadap individu-individu yang sudah berkontribusi untuk membangun negeri ini. Mengubah pengelolaan berbasis negara yang memperhatikan kelestarian sumber daya.
Semoga dengan meluncurnya Bright pink dipasaran, bukanlah jalan halus yang dilakukan pemerintah untuk sedikit demi sedikit menghapuskan subsidi. Karena ini merupakan kezaliman bagi rakyat, yang notabene tak bisa menerima haknya untuk nikmati hasil bumi. Semoga bukan pula untuk mengelabui rakyat sendiri, yang semakin antipati terhadap kebijakan pemerintah.
Saat ini rakyat hanya bisa menerima, namun kelak Allah-lah yang mampu membalas kezaliman yang terjadi. Sebagaimana do’a yang diucapkan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, “Ya Allah, barangsiapa yang mengurusi urusan umatku lalu membuat susah mereka, maka buatlah kesusahan baginya”.(HR. Muslim).
================================================
Sumber Foto : TribunNews