Oleh. Lisa Ariani
(Aktivis Muslimah)
MuslimahTimes.com – Usai kasus penistaan agama yang dilakukan oleh selebgram Lina Mukherjee karena membaca bismillah pada saat memakan makanan olahan babi. Kini muncul kasus penistaan baru. Kasus penistaan agama ini dilakukan oleh seorang Warga negara Asing (WNA) yang memaki dan meludahi imam di salah satu masjid di Kota Bandung.
WNA asal negara Australia berinisal MB (48 tahun) langsung meninggalkan guest house tempatnya menginap usai membentak dan meludahi imam MasjId Al-Muhajir Basri Anwar di Kompleks Margahayu Raya, Kota Bandung Jumat (28/04/2023). Ia pergi sambil membawa satu buah koper besar dan tas. (republika.co.id)
Dampak Sekularisasi
Terus berulangnya kasus penistaan agama menandakan negara tidak mampu memberi efek jera atas kasus-kasus sebelumnya. Sehingga tidak heran jika kasus demi kasus penistaan agama terus saja terjadi. Setiap tahunnya ada saja kasus penistaan agama yang terjadi. Para pelaku seolah-olah menganggap bahwa menista agama bukan masalah yang besar. Toh jikalau pun dihukum, hukumannya juga ringan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa perangkat hukum sekuler telah gagal melindungi agama dari penistaan.
Di lain sisi, menista agama memang sudah menjadi suatu keniscayaan dalam suatu negara yang menerapkan sistem demokrasi sekuler. Karena agama memang bukan dianggap suatu yang sakral, bukan sesuatu yang harus dijaga. Agama berusaha untuk dihilangkan perannya dalam mengatur kehidupan terutama dalam raung publik. Agama dianggap hanya urusan individu dan hanya diterapkan dalam ruang privat.
Agama tidak ditempatkan sebagaimana mestinya. Pun dengan syariat Islam juga tidak ditempatkan sebagaimana mestinya, tidak dijadikan sebagai sumber konstitusi, sumber perundang-undangan. Agama hanya ditempatkan menjadi salah satu sumber nilai yang menjadi rujukan dalam melahirkan aturan diantara sekian banyaknya sumber nilai atau norma yang digunakan. Sehingga hal ini menjadikan agama menjadi sesuatu yang layak untuk dipertanyakan, diragukan, direndahkan bahkan dipertanyakan keabsahannya sehingga layak untuk dinistakan.
Selain itu, asas kebebasan yang menjadi pilar dalam sistem demokrasi sekuler menjadi sesuatu yang sangat dijunjung tinggi dan diberikan jaminan. Pilar kebebasan tersebut meliputi kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan, kebebasan beragama, dan kebebasan berperilaku. Jaminan kebebasan telah menjadikan setiap orang bebas mengeluarkan pendapat dan berperilaku apapun meskipun bertentangan dengan syariat Islam. Terlebih dengan kebebasan beragama yang telah memicu lahirnya aliran sesat dan menyimpang dari akidah Islam.
Dengan dalih kebebasan, umat Islam diminta untuk saling menghormati dan menjunjung toleransi dan tidak mudah tersulut emosi ketika ada kasus penistaan agama. Namun, terdapat perbedaan perlakuan antara pelaku Muslim dan pelaku non muslim. Jika pelakunya adalah Muslim mereka dengan cepat akan mengecapnya sebagai orang yang memiliki pemahaman radikal, intoleran, antikebhinekaan. Sedangkan berbeda halnya jika pelaku adalah seorang nonmuslim, narasi radikal, intoleran dan antikebhinekaan tiba-tiba saja menghilang. Ini tentunya sangat memprihatinkan karena di tengah arus moderasi yang selalu menggaungkan toleransi ternyata hanya berlaku pada muslim saja namun tidak berlaku kepada nonmuslim.
Khilafah Menjaga Kemuliaan Islam
Berbeda halnya dengan negara yang menerapkan hukum Islam secara kaffah (khilafah). Dalam sejarah tercatat bahwa kesucian agama benar-benar terjadi di bawah naungan Khilafah. Khilafah menjadi junnah atau perisai yang meghentikan penistaan agama. Seperti pada era kepemimpinan Sultan Abdul Hamid II yang menghentikan pementasan drama Voltaire karena menampilkan penghinaan terhadap Rasulullah dan mengultimatum kerajaan Inggris bahwa Khalifah akan memerintahkan kaum muslim untuk memerangi mereka jika drama tersebut tetap dipentaskan.
Selain itu, tentu kita tidak asing mendengar kisah ada Era Kepemimpinan Khalifah Mu’tasim Billah. Dimana ada seorang muslimah yang dilecehkan oleh sekelompok pemuda kafir di Kota Amuriyah, mereka menyingkap jilbab muslimah tersebut hingga terlihatlah aurat muslimah tersebut. Muslimah tersebut lalu memanggil dan meminta pertolongan kepada Khalifah Mu’tasim, sontak khalifah Mu’tasim pun meresponnya dengan mengerahkan pasukan kaum muslimah yang panjangnya dari Baghdad hingga Kota Amuriyah sehingga terjadilah pengepungan Kota Amuriyah. Dan pada akhirnya Kota Amuriyah berhasil ditaklukan oleh pasukan kaum muslimin.
Sekali lagi dari sini kita dapat melihat bahwa kesucian agama benar-benar terjadi di bawah naungan Khilafah. Khilafah tidak mentoleransi sedikit pun apabila terjadi penghinaan terhadap Islam maupun terhadap Rasulullah saw. Khilafah memiliki sikap tegas dalam hal ini. Adapun terkait hukuman bagi pelaku penistaan agama menurut pendapat mayoritas pendapat Imam Mazhab yaitu Imam Malik, Iman Hanbali, Imam Syafi’i bahwa pelakunya telah kafir setelah beriman dan wajib dihukum mati. Pelakunya mendapatkan laknat dan ancaman adzab dari Allah Swt. Sebagaimana firman Allah berikut ini.
“Sesungguhnya (terhadap) orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah melaknatnya di duna dan di akhirat,dan menyediakan azab yang menghinakan bagi mereka.“(QS.Al-Ahzab : 57)
Selain itu sejarah juga mencatat bahwa negara Khilafah bukanlah negara yang homogen, melainkan negara yang heterogen. Hal ini bisa kita lihat pada negara Islam pertama yang berdiri di Madinah. Dimana Madinah tidak hanya dihuni oleh muslim saja, melainkan ada kaum Yahudi, Nasrani, dan Kaum Musyrik lainnya. Mereka hidup berdampingan di atas perjanjian yang telah disepakati.
Dalam Islam, mereka (orang-orang nonmuslim) yang telah terikat perjanjian damai (kafir dzimmi) dengan negara khilafah diberikan jaminan hak dan perlindungan oleh negara, dijamin kebutuhannya dan dilindungi darah dan kehormatannya. Mereka diberikan kebebasan untuk menjalankan agamanya. Negara khilafah tidak akan memaksa mereka untuk meninggalkan agama mereka. Mereka diberikan kebebasan untuk melakukan ritual ibadah sesuai dengan keyakinannya. Tidak ada diskriminasi antara penduduk muslim dan nonmuslim, mereka diberikan hak dan perlakuan yang sama dengan kaum muslimin
Sebagaimana gambaran Shalahuddin al-Ayyubi menaklukkan Palestina. Saat itu, tiga agama, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam hidup berdampingan dengan damai. Hal itu juga terjadi saat Muhammad al-Fatih menaklukkan Konstantinopel, beliau tidak serta-merta menyingkirkan umat Nasrani. Bahkan, beliau menjamin hak beragama mereka dengan baik.
Wallohu’alam.