Breaking News

Wisata Religi dalam Pandangan Ekonomi Kreatif

Spread the love

Oleh. Rut Sri Wahyuningsih

(Kontributor Muslimahtimes. com) 

Muslimahtimes.com– Ide besar muncul dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno, untuk pengembangan kawasan wisata religi di Kabupaten Jombang, Jawa Timur yaitu mewujudkan skema interkoneksi empat pesantren besar, alun-alun, serta destinasi wisata alam Wonosalam.

Dalam hal ini, Pemerintah Pusat dan Pemkab Jombang tengah serius mengembangkan kawasan wisata religi di wilayah itu untuk mendukung pencapaian target pembukaan 4,4 juta lapangan kerja di Indonesia. (Kompas.com, 16/7/2023)

Menurut Sandiaga, wisata religi sebenarnya memiliki potensi berkembang, mampu menarik minat kunjungan wisatawan, hingga menggerakkan sektor ekonomi kreatif jika dikelola dan difasilitasi dengan lebih optimal. Ia pun berharap bisa menarik kunjungan 1-2 juta wisatawan. Sehingga, upaya untuk membuka lapangan usaha melalui sektor pariwisata dan ekonomi kreatif pun diyakini bakal terwujud, proyek ini difasilitasi oleh Pemkab Jombang dan pemerintah pusat.

Getol Memfasilitasi Wisata Religi

Istilah wisata religi sudah dikenal lama, mengacu pada kegiatan ziarah atau wisata ke tempat-tempat bersejarah bagi kaum muslim. Selain, Napak tilas perjuangan para syekh, imam dan orang-orang saleh lainnya, pengunjung juga akan disuguhi berbagai produk lokal sebagai oleh-oleh.

Wisata religi banyak peminatnya sebab selain murah biayanya juga masih lekat unsur pendidikannya. Wisata religi turut membangun tetap berkobarnya semangat generasi muslim. Namun, kini kita patut waspada, sebab muatan pariwisatanya ( profit oriented) lebih kental, dan malah mengaburkan esensi dari wisata religi itu sendiri, yaitu taqarub ilallah.

Dengan alasan pengembangan ekonomi kreatif, sejatinya apa yang digagas Menparekraf hanyalah sedikit dari kamuflase kapitalisme, sistem ekonomi yang diterapkan hari ini. Asasnya sekularisme dan hanya mementingkan untung rugi semata. Padahal, religi yang itu berarti Islam tidak hanya bicara pariwisata, kreatifnya juga tidak di ekonominya saja. Jelas ini ada upaya mengkerdilkan Islam sebagai agama bahkan pedoman hidup.

Masyarakat tidak lagi merasa dekat dan butuh dengan kehadiran Islam kaffah sebab hanya didorong untuk sekadar merenungi wisata religi tanpa paham bahwa ada banyak hal yang pahit terkait Islam, penganutnya dan perkembangannya di negeri-negeri muslim sendiri. Ini juga bagian dari moderasi beragama, yang memandang Islam tidak “kaku”, serta lebih toleran sebagaimana agama-agama lainnya.

Belum lagi dengan jaminan lapangan pekerjaan yang melimpah. Jelas hal ini omong kosong, sebab di sisi lain, negara membuka lebar keran masuknya tenaga asing untuk mengisi lowongan strategis.

 

Islam adalah Pedoman Hidup, Bukan Sekadar Wisata Religi

Semestinya, kaum Muslim sadar bahkan sedih jika Islam dikenalkan kepada masyarakat luas hanya sebagai wisata religi yang kental dengan salah satu cara daerah mendapatkan pendapatan akibat otonomi daerah ditegakkan. Sebab, jika kita pelajari Islam dengan benar, tulang punggung perekonomian negara bukan pariwisata.

Bahkan melarang keras jika situs-situs keagamaan menjadi ajang klenik, ritual kejawen dan semua yang bertentangan dengan syariat termasuk bercampur baur, ikhtilat dan tidak menutup aurat dengan sempurna karena satu persyaratan.

Pendapatan negara atau daerah didapat dari pengelolaan harta milik umum ( berupa tambang) dan milik negara ( harta yang secara aturan menjadi hak milik negara) yang dikumpulkan di Baitulmal dan dibelanjakan untuk kepentingan negara. Dari sinilah kemudian negara bisa menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok rakyat tanpa harus mengaktifkan pariwisata. Negara akan membangun rumah sakit, sekolah, masjid, jalan raya dan lainnya sepanjang itu dinilai Khalifah masuk dalam maslahat umat. Dan umat di sini tidak terbatas pada Muslim saja, tapi juga warga non muslim asalkan mereka telah memiliki tanda kewarganegaraan.

Boleh dikata, gencarnya pemerintah membangun kawasan wisata religi, Kawasan Ekonomi Halal dan lain sebagainya adalah untuk menutupi kegagalan dalam mengurusi rakyat. Umat Islam, dengan banyaknya jumlah dan aset menjadi peluang emas untuk dieksploitasi. Jelas hal ini menyalahi syariat, dan pasti suatu saat akan menuai bencana dan kesengsaraan.

Maka, sebagai umat yang beriman, belum sampaikah saatnya kita untuk kembali taat kepadaNya? Allah Swt berfirman, yang artinya,”Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka), dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan banyak di antara mereka menjadi orang-orang fasik.” (TQS al-Hadid:16). Wallahu a’lam bish showab.