Oleh. Yulida Hasanah
(Aktivis Muslimah Brebes)
Muslimahtimes.com–“Tuku Lemah, Oleh Omah”, itulah salah satu program yang digalakkan oleh pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam upaya percepatan penanganan problem kemiskinan di wilayah Jawa Tengah. Realisasi program ini berupa bantuan pembangunan Rumah Unggul Sistem Panel Instan (Ruspin). Sebelumnya, Pemprov Jateng telah membangun 639 rumah untuk warga miskin atau Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) sejak tahun 2020 hingga 2022. Dan di tahun 2023 ini akan mulai dibangun 615 rumah untuk rakyat miskin. Adapun 103 rumah di antaranya akan dibangun di Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Dan akan dimulai di 3 kecamatan, yakni kecamatan Paguyangan, Bumi Ayu, dan kecamatan Brebes. (Panturapost.com/20-7-2023)
Sekilas, bantuan ini sepertinya memudahkan masyarakat miskin yang tidak memiliki rumah atau tinggal di rumah yang dibangun di atas tanah negara untuk bisa memiliki rumah sendiri yang layak. Bahkan dalam program ‘beli rumah dapat tanah’ ini, rakyat juga dapat dibantu untuk proses kredit melalui Bank Kredit Kecamatan (BKK) Jateng. Namun, syarat pertama agar bisa tersentuh program ini, maka harus memiliki lahan atau membeli tanah secara mandiri. Dan tidak semua warga miskin mendapatkannya meskipun telah punya lahan, tapi belum terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Dan secara admisnistrasi, maka saat pembelian lahan/tanah harus disertai dengan kepemilikan BPJS, bukan hanya KTP dan KK. Jika sudah masuk DTKS, maka warga bisa beli tanah dengan mendapatkan subsidi dapat rumah gratis senilai 35 juta dari Pemprov dan 1,8 juta dari padat karya.
Informasi dari berbagai sumber media yang ada, rumah dengan teknologi RUSPIN, adalah teknologi kerangka rumah pra cetak dengan sistem panel menggunakan sambungan baut. Dengan proses pembangunan yang relatif cepat yakni berkisar 3-4 hari dengan baiya yang relatif murah. Maka, dari bantuan sejumlah Rp35 juta tiap satu rumah, bisa membangun rumah berukuran 6×6 meter persegi dengan tinggi rumah 3 meter. Sedangkan sanitasi seperti jamban menjadi tanggungan warga.
Jika melihat kondisi rakyat miskin hari ini yang distandarkan oleh BPS adalah rakyat yang memiliki pendapatan Rp11.000-14.000 per hari, maka sangat jauh dari mimpi bisa tersentuh program tersebut. Bagaimana tidak? Standar Masyarakat Berpenghasilan Rendah (RBM) saja senilai Rp2juta/bulan. Dan itu menjadi upah minimum regional di Kabupaten Brebes, yang disebut-sebut menjadi UMR terendah se-Jawa Tengah. Lalu, bagaimana dengan warga yang tidak memiliki penghasilan tetap, yang betul-betuk miskin? Padahal untuk memenuhi kebutuhan pokok berupa sandang dan pangan hingga detik ini masih tak tersolusi. Apalagi bermimpi untuk bisa membeli tanah agar dapat rumah?
Inilah kondisi masyarakat miskin di era penerapan sistem kapitalis. Tidak ada makan siang gartis, saat mendapatkana bantuan pun, tidak ada bantuan yang benar-benar gratis. Terlebih, masyarakat yang terdata layak mendapatkan batuan RUSPIN adalah mereka yang siap berhadapan dengan lembaga perbankan dengan sistem kredit ribawi. Jadi, ujung-ujungnya tetapkan bisnis. Rakyat pinjam uang, perusahaan properti dapat untung dari pengadaan proyek, pemerintah dapat laba dari bunga ribanya. Sedangkan rakyat adalah konsumen sejati dari program ini. Artinya, hubungan rakyat dengan penguasanya bukan lagi hubungan antara pelayan dan majikan. Dimana penguasa dipilih oleh rakyat untuk melayani, karena rakyatlah majikannya. Yang ada adalah hubungan penjual dan pembeli. Penguasa menjual, rakyat yang beli! Inilah yang terjadi hari ini.
dan inilah potret ‘pelayanan’ negara terhadap rakyatnya dalam sistem kapitalis demokrasi.
Tak ada ruang bagi rakyat untuk mendapatkan kesejahateraan yang seutuhnya, di mana pemenuhan sandang, pangan dan papan betul-betul menjadi tanggungjawab negara. Sungguh sebuah derita yang harus dicari jalan keluarnya!
Solusi Rumah Gratis, Hanya Islam yang Punya
Rumah adalah salah satu kebutuhan primer bagi manusia. Tanpa rumah, manusia akan celaka dan binasa. Maka, rumah berfungsi melindungi manusia dari berbagai ancaman dari luar. Rumah juga berfungsi sebagai tempat kegiatan belajar mengajar, aktivitas ekonomi, sosial, ibadah, rekreasi, pengobatan dan lain-lain.
Dalam Islam, penyediaan rumah adalah tanggung jawab negara. Di masa Rasulullah saw sebagai kepala negara hingga masa pemerintahan para Khalifah, telah sepakat dalam penetapan kebijakan ini. Maka, negara jelas memiliki kewajiban dalam memenuhi kebutuhan dasar berupa rumah bagi rakyat miskin yang jelas-jelas tidak memiliki kemampuan ekonomi. Dengan memperhatikan kelayakan, kenyamanan, kesehatan, dan harga terjangkau bahkan gratis dan yang jelas didesign dengan kebutuhan rumah muslim.
Dari segi pembiayaan, negara tidak dibenarkan mengalihkan tanggung jawab kepada operator, baik kepada bank-bank, badan usaha maupun pengembang perumahan. Karena akan menghilangkan kewenangan yang menjadi tugas penting negara sebagai pelayan rakyat. Maka, sumber pembiayaan murni dari Baitulmal dan bersifat mutlak. Di mana sumber-sumber pemasukan maupun pintu-pintu pengeluaran sepenuhnya berdasarkan ketentuan syariat. Jadi, tidak dibenarkan menggunakan konsep angaran berbasis kinerja, apapun alasannya. Apalagi dengan cara utang atau penarikan pajak pada seluruh rakyat.
Adapun terkait lahan, maka tanah atau lahan-lahan yang dimiliki negara bisa langsung dibangunkan rumah untuk rakyat miskin. Selama tujuannya untuk kemaslahatan kaum muslimin. Namun, negara melarang tegas pengusaan tanah oleh korporasi, sebab hal ini akan menjadi penghalang dalam proses penjaminan ketersediaan lahan untuk perumahan.
Melalui pengelolaan mandiri di bidang industri bahan bangunan yang bersumber dari kekayaan tambang yang melimpah. Negara bisa menghasilkan kebutuhan bahan bangunan seperti semen, besi, aluminium, tembaga dan lain-lain. Dengan begitu rakyat akan mudah mendapatkannya baik secara gratis atau dengan harga terjangkau.
Sebagaimana kepemimpinan Islam yang pernah mencapai keemasannya, rakyat hidup makmur sejahtera. Adalah kesaksian dari Umar bin Usaid tentang Khalifah Umar bin Abdul Aziz, bahwa sebelum beliau wafat, masyarakatnya dalam kondisi sejahtera. Hingga demikian sejahteranya, tidak ada lagi rakyat yang berhak menerima zakat. Tentu saja, kesejahteraan tersebut juga mencakup terpenuhinya kebutuhan papan/rumah yang layak bagai rakyatnya.
Pertanyaannya, sampai kapan kita mau percaya dengan program-program manis yang di dalamnya ternyata malah menjerumuskan rakyat pada muamalah ribawi dan tersangkut utang yang membebani? Padahal telah jelas, Islam punya solusi yang tidak bisa diragukan lagi keberhasilannya dalam menuntaskan kemiskinan dan melahirkan kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat. Wallaahua’lam bish shawab