Oleh. Maya Ummu Azka
(Tim Redaksi Muslimahtimes.com)
Muslimahtimes.com–Tak mudah mencari sosok wanita yang mampu menjalankan setiap perannya secara luar biasa. Sebagai anak, ia begitu berbakti kepada orang tua. Sebagai pemudi ia mampu menjaga hati dan kehormatannya hingga berlabuh di pelaminan. Sebagai istri, ia benar-benar menjadi tangan kanan yang menyejukkan hati serta mampu menjaga marwah suaminya. Sedangkan sebagai ibu, ia adalah sosok penuh kasih sayang dan mampu menempa buah hati menjadi sosok yang tangguh dalam keimanan.
Namun nyatanya ia ada dalam lintasan sejarah umat manusia. Ia bukan sosok berhiaskan permata, namun dirinya lah sebenar-benar permata kehidupan. Allah telah menobatkannya sebagai salah satu dari empat wanita penghulu surga. Sosok itu adalah Sayyidah Fatimah binti Muhammad Shalallhu ‘alaihi wasallam.
Sayyidah Fatimah lahir lima tahun sebelum kerasulan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Ia merupakan anak perempuan termuda dari Nabi Muhammad dengan Sayyidah Khadijah al kubro. Sosoknya begitu dekat dengan sang ayah, hingga memiliki kemiripan, sebagaimana yang digambarkan oleh Sayyidah Aisyah r.a.
“Aku tidak pernah melihat seorang pun yang perkataannya mirip dengan Rasulullah saw selain Fatimah. Jika Fatimah mendatangi Rasulullah saw, Rasulullah pun berdiri dan menciumnya serta menyambutnya sebagaimana yang dilakukan Fatimah ketika menyambut Nabi saw”
Keberanian Sayyidah Fatimah telah tampak sejak kecil. Ia pernah menghardik pemuda-pemuda kafir Quraisy yang melemparkan kotoran ke punggung Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam saat sedang salat. Ia juga turut serta menuju medan jihad di Perang Uhud. Imam Al-Bukhari mengisahkan, “Beberapa orang wanita dari kalangan Muhajirin dan Ansar keluar, sambil mengusung air dan makanan di belakang mereka, termasuklah Fatimah binti Rasulullah. Ketika beliau menyaksikan darah mengucur di wajah ayahnya, maka beliau segera memeluknya, lalu mengusap darah di wajah baginda. Pada saat itu, Fatimah berkata, ‘”Amat besar kemarahan Allah terhadap orang-orang yang membuat wajah Rasul-Nya berdarah”.
Ummu abiha (ibu dari ayahnya), demikian julukan yang tersemat karena ialah yang mengurus segala keperluan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pasca wafatnya sang ibunda. Ia juga memperlakukan sang ayah dengan lembut bagaikan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.
Banyak gelar disematkan untuk Sayyidah Fatimah. Gelar lainnya adalah al-Batul karena ia merupakan orang yang zuhud, yaitu tidak memiliki keinginan sama sekali untuk menikmati gemerlapnya dunia dan hanya memikirkan akhirat. Padahal ia adalah anak kesayangan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang juga merupakan kepala negara Ketika di Madinah, tentu Fatimah bisa saja mendapatkan banyak fasilitas duniawi, namun ia tak tergiur sedikit pun.
Sayyidah Fatimah r.a. Adalah istri yang berkhidmat pada suaminya, Ali bin Abi Thalib, ra. Ia tak pernah mengeluh atas kondisi ekonominya yang serba kekurangan. Hingga di penghujung hayatnya, ia pernah bertanya pada sang suami, “Wahai Suamiku, pernahkah selama pernikahan denganmu dan mengarungi bahtera rumah tangga ini, engkau dapati aku ini berbohong, khianat, dan tidak taat atas perintahmu?”
Sayyidina Ali menjawab, “Wahai Fatimah, engkau adalah orang yang paling takut dan bertaqwa kepada Allah, bagaimana mungkin engkau melakukan hal itu.”
Jawaban itu menunjukkan keridaan Sayyidina Ali kepada Sayyidah Fatimah sebagai istri, atas bakti yang beliau tunjukkan dalam kehidupan rumah tangga mereka. Sayyidah Fatimah juga seorang ibu yang tangguh, terbukti dari rahimnya lahirlah putra-putri yang Tangguh, bahkan dua di antaranya disebutkan dalam sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin pemuda penghuni surga ,“Hassan dan Husain adalah pemimpin pemuda penghuni surga.” (HR. Ahmad)
***
Keteladanan Sayyidah Fatimah sebagai anak, istri, dan ibu memberi banyak pelajaran berharga bagi kita, wanita-wanita akhir zaman. Kesulitan hidup bukanlah alasan bagi kita untuk menjauh dari Allah dan syari’at-Nya, justru mendorong kita untuk semakin taat dan rajin bermunajat kepada-Nya Yang Mahakuasa.
Pun jika Allah menakdirkan kita tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan privilege, tak seharusnya membuat kita jumawa dan rakus akan kemewahan dunia. Bagaimanapun juga, itu semua berasal dari Allah yang bisa Allah ambil kapanpun Dia kehendaki. Selayaknya privilege yang kita miliki dioptimalkan untuk semakin mendekatkan diri pada Allah dan mendukung tegaknya syariat Allah di muka bumi.
Jalanilah setiap peran yang Allah tetapkan bagi kita dengan penuh rasa syukur dan kesabaran. Allah menilai proses yang kita lakukan. Jika kita jalani dengan ketaatan pada syariat Allah hingga akhir hayat, kita akan dapatkan kenikmatan abadi kelak di akhirat. Wallahu a’lam