Oleh. Isnaini zahida
Muslimahtimes.com–Akhir tahun ajaran semester genap telah berlalu. Biasanya siswa yang lulus di akhir jenjang sekolah akan mencari sekolah baru ke jenjang selanjutnya. Yang lulus SD akan melanjutkan ke SMP. Yang lulus SMP lanjut ke SMA, dan seterusnya.
Untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, pemerintah telah menetapkan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem baru yaitu sistem zonasi. Dari sini muncul problem tata kelola penerimaan PPDB dengan sistem zonasi sekolah. PPDB sistem zonasi baru beberapa tahun terakhir diterapkan di Indonesia. Untuk di Australia sudah ditetapkan bertahun-tahun, sama seperti di Jepang dan Inggris.
Sistem zonasi dengan memperhatikan tempat tinggal murid dan orang tua ketika mendaftar di sekolah secara umum dianggap berhasil memeratakan mutu pendidikan sekolah, walau juga masih menciptakan berbagai masalah di mana-mana.
Di Australia dengan adanya sistem zonasi tersebut, orang tua murid yang ingin agar anak mereka masuk ke sekolah negeri yang dikehendaki sudah mempertimbangkan sejak awal untuk tinggal di daerah yang masuk zona sekolah tersebut. Karena adanya beberapa sekolah yang dianggap mutunya bagus, maka tidak mengherankan bila kemudian harga rumah atau sewa di kawasan-kawasan sekolah bagus tersebut lebih mahal dibandingkan daerah lainnya.
Kualitas sekolah akhirnya berpengaruh dengan kondisi bisnis properti setempat. Begitulah sistem kapitalis jika diterapkan. Semua berbasis keuntungan materi. Untuk pelaksanaan pendidikan pun yang katanya sistem zonasi diterapkan untuk pemerataan layanan pendidikan juga akhirnya untuk keuntungan materi.
Untuk memastikan bahwa calon murid memang masuk ke dalam zona sekolah yang diminati, pihak sekolah biasanya meminta berbagai bukti. Surat keterangan tempat tinggal, surat tagihan listrik, air, dan sebagainya.
Di sinilah muncul peluang terjadi kecurangan untuk mengakali agar calon siswa diterima di sekolah yang diinginkan. Pemalsuan data anggota keluarga, pungutan liar pihak sekolah ke calon siswa, adanya manipulasi data kependudukan untuk memanfaatkan jalur afirmasi atau sistem zonasi, dan lain sebagainya. Akhirnya PPDB dengan sistem zonasi sekolah diperbincangkan oleh banyak pejabat yang intinya harus dievaluasi bahkan jika bisa diganti atau diubah.
Ini menandakan ternyata alasan utama penerapan PPDB dengan sistem zonasi telah gagal mewujudkan pemerataan kualitas pendidikan. Dalih sistem zonasi demi mendorong peningkatan akses layanan pendidikan, in fact alias tak terwujud atau gagal.
Sebenarnya karut -marut yang muncul dari sistem PPDB tak lepas dari tata kelola pendidikan. Pendidikan menjadi legal untuk dikomersilkan. Belum lagi pihak swasta diberi kesempatan untuk terlibat aktif dalam pendidikan.
Pendidikan dijadikan barang dagangan, jual beli di bidang jasa. Bahkan skala perguruan tinggi pendidikan dijadikan sebagai perusahaan dengan status badan hukum perguruan tinggi. Negara bekerja sama dengan swasta untuk mengeruk keuntungan. Negara hanya sebagai pelaksana dalam pelayanan pendidikan. Bahkan berlepas tangan untuk menyediakan pendidikan berkualitas merata untuk semua warga negaranya.
Padahal sejatinya dalam Islam pendidikan adalah tanggung jawab penuh negara. Negara yang menyelenggarakan, menyediakan, dan memfasilitasi pendidikan. Karena dalam Islam pemimpin negara adalah penanggung jawab semua urusan rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya(HR. al-Bukhari).
Negara bertanggung jawab memberikan sarana prasarana baik gedung sekolah beserta seluruh kelengkapannya. Menyediakan guru kompeten, kurikulum shahin, maupun konsep tata kelola sekolahnya. Negara tidak boleh menyerahkan pendidikan kepada swasta. Namun sekolah swasta tetap diberi kesempatan untuk berkontribusi asal tidak mengambil alih peran negara dalam memenuhi kebutuhan pendidikan rakyat. Oleh karena itu, dibutuhkan negara yang punya free will yang kuat dan mandiri. Pendanaan proses pendidikan memang besar maka dari itu hanya negara yang bisa mengadakannya. Kas negara harus kuat dan mencukupinya.
Dalam Islam, pengaturan anggaran pendidikan harus secara terpusat dalam kas negara yaitu baitul mal pada pos fai’, kharaj, dan harta kepemilikan umum. Dengan sistem anggaran keuangan ini negara mampu untuk memenuhi seluruh kebutuhan pendidikan rakyatnya baik di desa maupun di kota. Sekolah yang disediakan di setiap tempat akan terpenuhi dengan kelayakan kualitas dan kuantitas. Warga negara secara keseluruhan bisa mengakses pendidikan secara mudah, layak, dan terjangkau bahkan gratis sampai jenjang yang sangat tinggi. Dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan rakyat, Islam memegang tiga prinsip yaitu kesederhanaan aturan, kecepatan dan kemudahan layanan, serta profesionalitas/kapabilitas orang yang mengurusi. Dengan prinsip ini akan meminimalisir kerumitan mendaftar sekolah. Pendidikan akan bisa diakses oleh semua warga negara adil tanpa diskriminasi.