Oleh. Ranita
Muslimahtimes.com–“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan api. Dan harganya adalah haram”. Demikianlah salah satu sabda Rasulullah saw. yang diabadikan dalam kitab hadis Sunan Ibnu Majah nomor 2463. Tak hanya itu, dalam hadits Abu Daud nomor 3016, Rasulullah juga mensabdakan hal senada. Imam As-Sakhrasyi dalam kitabnya, Al- Mabsuth menjelaskan bahwa di dalam hadis tersebut terdapat penetapan berserikatnya muslim dan nonmuslim dalam tiga hal tadi. Pemanfaatan air, padang rumput, dan api adalah untuk kepentingan seluruh manusia. Haram hukumnya memonopoli air yang mengalir, padang rumput termasuk hutan, dan juga sumber energi. Karena semua hal itu adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh rakyat banyak, maka status kepemilikannya adalah milik umum.
Sayangnya, keharaman memonopoli sumber air ini tidak dihiraukan oleh penguasa kaum muslim, termasuk di Indonesia. Perselingkuhan oligarki-korporasi menyebabkan beberapa sumber mata air diizinkan untuk dikelola dan dikuasai perusahaan air minum dalam kemasan yang notabene adalah perusahaan swasta asing. Jika dikuasai perusahaan swasta dalam negeri saja haram, apalagi asing. Penguasaan sumber air oleh swasta menyebabkan rakyat tak bisa lagi menikmati air bersih tersebut tanpa membayar. Padahal saat ini, banyak wilayah Indonesia yang sedang mengalami krisis air bersih.
Krisis Air Bersih Melanda Indonesia
Fenomena kekeringan selama kemarau telah melanda Indonesia sejak Juni 2023. Masyarakat di daerah terdampak terancam mengalami krisis air bersih. Puncaknya pada Agustus ini, 58 desa di 15 kecamatan di kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, menderita kekeringan. Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Grobogan, Endang Sulistyoningsing mengatakan bahwa bantuan 924.000 liter air telah disalurkan ke 48 desa (kompas.com, 16/8/2023). Artinya, ada 10 desa yang penduduknya belum terjangkau air bersih.
Tak hanya di Jawa Tengah, warga desa Ciburuy, kecamatan Padalarang, kabupaten Bandung Barat juga mengalami krisis air bersih sejak sebulan belakangan. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, warga sampai harus membeli air (detik.com, 16/8/2023).
Fenomena Alam Kembali Jadi Kambing Hitam
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan bahwa fenomena kekeringan ini rata-rata akan melanda wilayah Indonesia bagian selatan. Curah hujan di wilayah ini diperkirakan di bawah 50 milimeter per 10 hari selama sebulan ke depan. Data pemetaan bencana dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana hingga 2 Agustus 2023 menyebutkan bahwa pada tahun ini setidaknya telah terjadi 45 kejadian bencana kekeringan. 30 di antaranya terjadi pada Juli-Agustus (kompas.id, 10/8/2023). Rendahnya curah hujan di wilayah selatan Indonesia terjadi karena musim kemarau dan diperparah fenomena El Nino yang memicu panas ekstrem pada Agustus-Oktober 2023.
Secara astronomis, Indonesia terletak diantara garis khatulistiwa. Dan secara geografis, berdekatan dengan Samudra Pasifik. Karena berada di antara khatulistiwa, Indonesia memiliki iklim tropis dengan dua musim, hujan dan kemarau. Saat suhu permukaan laut di Samudra Pasifik bagian timur naik, maka tekanan atmosfer di Samudra Pasifik bagian barat meningkat dan menyebabkan terhambatnya pembentukan awan di wilayah lautan Indonesia bagian timur. Akibatnya, curah hujan di wilayah Indonesia menjadi rendah. Inilah mengapa, El Nino bisa memperparah kemarau dan menyebabkan kekeringan. Namun begitu, fenomena El Nino ini bisa diprediksi jauh-jauh hari. Dengan mitigasi bencana yang serius, dampak El Nino tentu akan lebih mudah diantisipasi.
Lumpuhnya Mitigasi Bencana
Kemarau dan El Nino telah membuka aib tidak seriusnya penyelenggara negara terhadap mitigasi sebelum bencana. Mitigasi sebelum bencana kekeringan bisa dilakukan dengan cara membuat dan memperbanyak resapan air, membuat waduk, memberikan perlindungan terhadap sumber air yang tersedia, dan memprioritaskan pemanfaatan sumber air tersebut.
Langkah-langkah mitigasi ini tentu tak bisa dilakukan sendirian oleh individu. Juga tak akan berjalan ideal jika hanya dilakukan sekumpulan masyarakat dengan swadaya. Mitigasi bencana hanya akan berjalan ideal jika negara turun tangan. Karena negaralah yang bisa menggerakkan seluruh komponen yang dibutuhkan, yakni eksplorasi dan proteksi sumber air, pendanaan, dan ekploitasi sumber air dengan jangkauan seluruh wilayah Indonesia.
Lumpuhnya mitigasi bencana kekeringan ini terjadi karena sistem ekonomi liberal yang diadopsi Indonesia. Sistem ekonomi liberal memperbolehkan swasta menguasai sumber daya apapun selama mereka mampu membelinya. Termasuk sumber air yang merupakan kepemilikan umum. Cara paling jitu untuk mengembalikan sumber air kepada rakyat, adalah dengan menerapkan kembali sistem ekonomi Islam yang ditopang dengan kekuatan sistem politik Islam. Jika sistem ekonomi liberal tak segera digantikan dengan Islam, maka kerugian yang diderita rakyat karena perselingkuhan oligarki-korporasi tak akan pernah terhenti. Allahu a’lam.