Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Aktivis Dakwah dan Penulis Buku)
Muslimahtimes.com–Kualitas pemimpin dan pejabat suatu negara menentukan wajah negara yang dibangun. Maka, sudah selayaknya hanya orang-orang berkualitaslah yang layak menjadi pejabat dan pemimpin negara. Namun mirisnya, konsep demikian tidak berlaku dalam sistem demokrasi hari ini. Justru, demokrasi memberi peluang kepada para mantan napi korupsi untuk mencalonkan diri menjadi anggota legislatif.
Sebagaimana dilansir dalam laman kompas.com (26-08-2023), Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan setidaknya 15 mantan terpidana korupsi dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif (bacaleg) yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Agustus 2023. Bacaleg mantan terpidana kasus korupsi itu mencalonkan diri untuk pemilihan umum (pemilu) 2024 di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Mereka berasal dari berbagai partai politik.
Sebagaimana diketahui, kebolehan narapidana menjadi caleg tertuang dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terutama di Pasal 240 Ayat 1 huruf g. Atas hal tersebut netizen pun ramai-ramai mempertanyakan soal kegunaan SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) yang selama ini menjadi syarat bagi seseorang saat melamar pekerjaan. Inilah realita pahit sistem demokrasi. Ketika hak asasi digaungkan sedemikian rupa, tak peduli jika kemaslahatan rakyat menjadi taruhan.
Kekuatan Uang
Tak dimungkiri bahwa dapat naiknya seseorang ke kursi jabatan tak lepas dari kekuatan modal yang dimiliki. Maka, yang utama dan pertama harus dimiliki para Bacaleg tentu saja uang yang akan digunakan sebagai modal dalam mengikuti kontestasi pemilihan. Yang kurang modal, harus tak perlu banyak berharap.
Menurut LPM FE UI, modal menjadi caleg cukup variatif. Calon anggota DPR RI: Rp 1,15 miliar – Rp 4,6 miliar
Calon anggota DPRD Provinsi: Rp 250 juta – Rp 500 juta. Prajna Research Indonesia juga pernah melakukan penelitian soal modal menjadi caleg. Berikut rinciannya:Calon anggota DPR RI: Rp 1 miliar – Rp 2 miliar. Calon anggota DPRD Provinsi: Rp 500 juta – Rp 1 miliar. Calon anggota DPRD kabupaten/kota: Rp 250 juta – Rp 300 juta. (Cnbcindonesia.com/24-08-2023)
Sungguh fantastis! Karena memang sejatinya sudah menjadi rahasia umum bahwa politik demokrasi membutuhkan dana besar. Maka, tak heran jika pada praktiknya banyak keterlibatan pengusaha sebagai pihak yang turut mendanai. Sehingga nantinya ketika bacaleg tersebut berhasil terpilih, akan ada politik balas budi kepada pengusaha pemberi modal. Dan bukan tak mungkin akan lahir banyak produk hukum pesanan para pemilik modal. Lantas jika sudah begitu masihkah para wakil rakyat itu benar-benad mewakili suara rakyat kelak ketika menjabat?
Pejabat Bersih di Sistem Sahih
Diizinkannya mantan napi korupsi menjadi bacaleg menunjukkan bukti kerapuhan sistem demokrasi hari ini dalam menegakkan kebenaran. Padahal seorang yang katanya mewakili rakyat tersebut sudah seharusnya memiliki rekam jejak yang baik, tanpa kriminalitas apalagi kasus korupsi, yakni kejahatan pidana yang berkaitan dengan pengkhianatan terhadap rakyat. Maka, bukan tak mungkin jika kelak perilaku korupsi mereka akan terulang lagi. Sungguh ironis!
Dalam Islam, wakil rakyat dikenal dengan istilah majelis umat. Namun tugas dan fungsinya berbeda dengan wakil rakyat dalam bingkai sistem demokrasi hari ini. Dalam sistem saat ini, wakil rakyat berwenang membuat hukum (legislasi), sementara dalam sistem Islam majelis umat tidak berhak membuat produk hukum. Sebab hukum yang diterapkan harus bersumber dari Allah, bukan dibuat oleh manusia. Haram hukumnya manusia membuat hukum berdasarkan kemufakatan, karena sejatinya hak membuat hukum hanyalah di tangan Allah saja. Adapun manusia hanya sebagai pelaksana hukum saja.
Sebagaimana firman Allah Swt:
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (TQS.Al-Maidah:50)
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu…”(QS Al Maidah ayat 49)
Dari sini dapat terlihat bahwa kedudukan wakil rakyat dalam sistem demokrasi saja sudah bertentangan dengan ajaran Islam. Karena dalam Islam majelis umat akan mewakili rakyat dalam hal penyampaian aspirasi rakyat kepada penguasa. Mereka akan menjadi perpanjangan tangan rakyat dalam hal perwujudan kemaslahan mereka. Wakil rakyat dalam sistem Islam juga boleh dari kalangan nonmuslim, nantinya mereka akan mewakili suara pengaduan rakyat nonmuslim yang tinggal di wilayah daulah Khilafah atas kezaliman penguasa yang mungkin mereka rasakan.
Orang-orang yang menjadi anggota Majelis umat dalam sistem Islam disyaratkan merupakan individu yang bertakwa dan amanah. Bertakwa berarti takut kepada Allah, maka tak mungkin ia akan bersikap khianat dan menyalahi kewenangan, termasuk korupsi. Oleh karena itu, bertakwa menjadi syarat mutlak bagi para anggota Majelis umat tersebut, sehingga ketika mereka menjadi penyambung lidah rakyat mereka akan melaksanakan dengan penuh amanah tanpa ditunggangi oleh kepentingan tertentu. Sungguh hanya dalam naungan sistem Islam sajalah akan tercipta kehidupan yang tentram, karena segala sesuatu diputuskan dan ditimbang berdasarkan hukum syariat, bukan hawa nafsu manusia. Wallahu’alam bis shawab