Oleh. Nur Amalia
(Pegiat Media Maros)
muslimahtimes.com – Pesta demokrasi di negeri ini tak lama lagi akan digelar. Berbagai euforia kampanye pemilu dan pilpres 2024 sudah dimulai sejak 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024 nanti. Hal itu telah ditetapkan KPU, berikut jadwal pemungutan suara pada tanggal 14 Februari 2024. Penetapan itu dilakukan dengan penerbitan PKPU No. 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu 2024 yang mulai berlaku pada 14 Juli 2023. PKPU ini memuat bahwa kampanye dilakukan secara serentak oleh seluruh peserta pemilu. Sementara jadwal kampanye pemilu dalam PKPU ini dilakukan melalui beberapa tahapan. Hanya saja iklan kampanye di media belum bisa dilakukan bahkan ada jadwal khusus untuk penayangan di media, baik itu media massa, cetak elektronik dan internet. Maka jika ada yang mencuri start pelaku akan mendapat sanksi pidana.
Pada masa kampanye para kontestan bersaing merebut perhatian massa dengan segala macam cara. Wara wiri mempromosikan visi, misi, dan program kerja jika terpilih nanti. Sudah menjadi rahasia umum dalam rangka mendapat dukungan rakyat dan meraih kemenangan, cara-cara yang sarat dengan kecurangan pun ditempuh. Aneka janji politik akan ditebar, seperti kesejahteraan, lapangan kerja, subsidi, penurunan harga bahan pokok, bantuan sosial, pembangunan infrastruktur, dan lainnya. Tidak hanya pencitraan diri sendiri, kampanye sering kali berisi “serangan” terhadap kekurangan calon lain yang menjadi saingan. Bahkan bisa terjadi black campaign, yaitu fitnah terhadap kandidat yang lain.
Kondisi ini rawan terjadinya perselisihan dan konflik ditengah masyarakat. Konflik tersebut menguatkan bahwa sistem pemilu demokrasi penuh dengan intrik, tipu-tipu, dan lain-lain. Modus-modus kecurangan tidak lepas dari prinsip demokrasi itu sendiri.
Demokrasi menetapkan manusia memiliki hak dalam kedaulatan, dimana manusia menetapkan sendiri sistem dan undang-undang yang diterapkan. Juga menetapkan manusia memiliki hak didalam kekuasaan yaitu memilih sendiri penguasanya melalui pemilihan. Demokrasi menetapkan kekuasaan benar-benar ada di tangan rakyat. Artinya, rakyatlah yang punya kekuasaan penuh dalam sistem demokrasi. Namun faktanya tidak demikian, realitas menunjukkan bahwa pemilihan penguasa oleh rakyat merupakan pemilihan formalitas dan tidak hakiki.
Dalam sistem demokrasi pemilik modal, orang kaya, dan orang yang berpengaruhlah yang hakikatnya menentukan siapa yang menjadi orang yang memerintah. Berikut sistem dan prosedur pemilu yang rumit menjadikan hanya mereka yang bisa mempengaruhi opini publik yang nantinya akan mengarahkan siapa yang mereka inginkan. Selain itu, hanya mereka pula yang mampu membiayai kampanye pemilu yang mahal. Inilah fenomena yang sudah diketahui banyak orang namun rakyat tak kunjung sadar untuk memperbaiki malah terlena bertahan pada sistem demokrasi. Seolah mentok tak ada solusi.
Tak heran dengan kekuatan politik dan ekonomi yang mereka miliki kecurangan-kecurangan bisa mereka lakukan termaksud di masa kampanye. Inilah fakta bobroknya sistem demokrasi-kapitalisme yang lahir dari asas pemisahan aturan agama dari kehidupan atau yang disebut sekulerisme. Karena itu, Islam tidak diberi ruang untuk mengatur negara. Jelas Islam akan mempertimbangkan halal-haram dalam setiap perbuatan sedangkan demokrasi segala cara ditempuh tak peduli halal-haram untuk meraih kekuasaan dan demokrasi juga tidak peduli adanya risiko konflik di tengah masyarakat.
Islam memandang kepemimpinan dan jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Mekanisme Pemilihan Pemimpin dalam Islam
Islam memiliki mekanisme pemilihan pemimpin terbaik. Dengan asas akidah Islam, pelaksanaan akan tertib dan lancar serta penuh kebaikan termasuk dalam interaksi warga. Sebab landasan akidah Islam memastikan praktik pemilu memenuhi syarat yang ditetapkan Islam.
Kebolehan pemilu dalam Islam disebabkan karena Asy-Syari’ (Allah) telah meletakkan kekuasaan sebuah negara ada ditangan umat, namun Islam menetapkan bahwa kedaulatan bukan di tangan umat akan tetapi di tangan Allah Swt. Artinya, penguasa yang dipilih oleh rakyat hanya boleh menjalankan aturan dari Allah saja bukan aturan kesepakatan diantara para pejabat yang didukung oleh pemilik modal sebagaimana dalam sistem demokrasi.
Islam juga telah menjadikan politik sebagai jalan melayani kepentingan publik, sebab politik dalam Islam bermakna mengurusi urusan umat. Oleh karena itu siapapun yang menjadi calon penguasanya, maka ketika terpilih ia wajib melakukan ri’ayah (melayani kepentingan umat) bukan kepentingan segelintir orang. Ingatlah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengancam penguasa yang tidak bersungguh-sungguh mengurusi rakyat.
“Tidaklah seorang pemimpin mengurusi urusan kaum muslim kemudian tidak bersungguh-sungguh untuk mengurusi mereka dan tidak menasihati mereka, kecuali ia tidak akan masuk surga bersama mereka.” (HR Muslim)
Begitu besar perhatian sistem Islam yang menjadikan politik sebagai jalan melayani kepentingan publik. Kita tidak perlu ragu lagi. Telah terbukti selama 1.400 tahun, Islam memimpin dunia dengan berbagai prestasi dan pencapaian gemilang dalam seluruh aspek kehidupan. Sungguh hanya pemilihan dalam sistem Islam yang membawa kebaikan bagi umat.
Wallahualam bissawab.