Breaking News

Miris, Perampasan Lahan Rakyat demi Pembangunan

Spread the love

 

Oleh. Azka Algina 

(Mahasiswi Universitas Padjadjaran)

muslimahtimes.com – Perampasan lahan terjadi di mana-mana dengan modus pembangunan. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terdapat 73 konflik agraria yang timbul selama delapan tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo karena proyek-proyek strategis nasional (PSN). Proyek yang menyebabkan konflik lahan tersebut di antaranya, pembangunan sirkuit Mandalika Nusa Tenggara Barat (NTB), penambangan Wadas untuk Bendungan Bener, proyek lumbung pangan atau food estate di Sumatera Utara, dan yang baru-baru ini terjadi adalah konflik lahan dari pembangunan kawasan industri di Pulau Rempang. Hal ini menunjukkan bahwa proyek-proyek strategis nasional seringkali menimbulkan konflik dengan masyarakat.

Negara ini selalu berada di pihak para kapitalis. Berkaca dari kasus Pulau Rempang, bentrok antara masyarakat dan aparat terjadi dikarenakan adanya protes dari masyarakat terhadap penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah yang bekerja sama dengan PT. Makmur Elok Graha. Pemicunya adalah penggusuran masyarakat Rempang yang telah ratusan tahun tinggal di pulau tersebut dengan alasan proyek pembangungan Rempang Eco City. Miris sekali, bahkan kepastian ganti rugi pun tidak ada. Wajar jika masyarakat menolak. Jawaban pemerintah atas bentrok ini sangat lucu. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), Mahfud MD, menegaskan bahwa peristiwa ini bukanlah penggusuran. Ia mengatakan yang terjadi adalah pengosongan lahan oleh yang berhak. Apa bedanya pengosongan lahan dan penggusuran?

Apakah masyarakat Rempang yang sudah ratusan tahun mendiami Pulau tersebut tidak lebih berhak dari para kapitalis itu? Hal serupa sering terjadi di konflik lahan pada PSN, menunjukkan keberpihakan pemerintah bukan pada rakyat, tapi pada kapitalis yang menguntungkan kantong-kantong mereka. Sistem kapitalisme telah mengubah wajah pemerintah menjadi mitra erat para kapitalis untuk meraup keuntungan lewat modus-modus pembangunan.

Berbeda dengan pengaturan lahan di negeri ini, Islam melindungi harta masyarakat secara total dengan syariah, termasuk lahan. Islam memiliki pengaturan kepemilikan lahan yang adil. Masyarakat dapat memiliki lahan melalui pemberian seperti hadiah atau hibah dan warisan. Islam juga mengatur bahwa masyarakat dapa memiliki lahan dengan cara mengelola tanah mati, tanah yang tidak ada pemiliknya. Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ

Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain)”. (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad)

Hukum yang jelas mengenai kepemilikan lahan seperti di atas memberikan keadilan bagi para pemilik tanah. Pemilikan yang telah berlangsung puluhan tahun tidak dapat digugat atau dirampas oleh siapapun, termasuk oleh negara, hanya karena ketiadaan sertifikat. Ironisnya, ketika sertifikat menjadi satu-satunya bukti sah kepemilikan, ini justru menjadi pintu bagi perampasan lahan. Sebagian kecil orang memiliki kontrol atas pengurusan sertifikat lahan, sementara warga lainnya yang tidak memiliki akses tersebut terancam kehilangan status kepemilikan mereka. Ketiadaan sertifikat juga membuka celah bagi negara untuk sewenang-wenang mengambil alih tanah yang telah menjadi milik dan dihuni turun-temurun oleh warga.

Sayangnya, pengaturan kepemilikan lahan berdasarkan Islam hanya dapat diterapkan secara total dalam negara yang memiliki konsep sistem Islam (Khilafah). Peraturan Islam tidak dapat diterapkan secara total pada sistem demokrasi, di mana pengaturan berasal dari akal manusia. Oleh karena itu, jika ingin peraturan yang adil ini, maka penegakan negara dengan sistem Islam menjadi sebuah keniscayaan.

Wallahu a’lam.