Breaking News

Produk Cina Masif, Produk Dalam Negeri Semakin Pasif

Spread the love

Oleh. Azimah Ummu Zaidan

Muslimahtimes.com–Masifnya produk Cina di dalam negeri telah memberi sinyal kelemahan produktivitas dalam negeri. Tentu hal tersebut berdampak pada krisis perekonomian yang berkepanjangan, mengingat bahwa produk Cina memiliki daya saing sehingga produknya lebih murah.

Dilansir dari CNBC Indonesia-Ekonom Senior, Mari Elka Pangestu mengungkapkan dampak risiko pelambatan ekonomi Cina ke Indonesia, salah satunya over capacity produk manufaktur Tiongkok yang membuat AS, Eropa hingga Asia kebanjiran produk Cina.

Beliau menyebutkan banjirnya produk konsumen akhir Cina ke Indonesia seperti sepatu, pakaian hingga mainan anak harus diwaspadai pemerintah karena bisa menekan produsen dalam negeri.

Di sisi lain pemerintah Ri juga harus mendorong daya saing produk dalam negeri sekaligus meningkatkan konsumsi domestik dan mendorong implementasi slogan “Aku Cinta Produk Indonesia”. (Rabu, 14/08/2024).

Gempuran produk Cina ke Indonesia menyebabkan lemahnya perindustrian di Indonesia. Banyak perindustrian ditemukan gulung tikar terlihat semakin pasif apalagi PHK menjadi efek jeratan arus liberalisasi ini serta daya beli masyarakat semakin menurun. Di sisi lain pemerintah sendiri memungut pajak atas perindustrian dalam negeri yang masih menjadi beban bagi perindustrian selama ini sehingga daya saing melemah bahkan semakin pasif. Pemerintah hingga saat ini masih belum menemukan cara ampuh untuk menggenjot perindustrian produk lokal karena selama ini yang tampak secara masif adalah menggenjot peran UMKM untuk menyelamatkan krisis perekonomian di negeri kita.

Terlebih mengingatkan kita juga persoalan seputar nasib pedagang di Pasar Tanah Abang dan pelaku UMKM tahun lalu yakni terkait aplikasi TikTok Shop menjadi platform yang sangat diminati untuk berjualan bagi para pelaku bisnis. Platform digital e-commerce ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para pelaku bisnis demi meningkatkan penjualan online. Namun kenyataannya para pebisnis kecil merasa dirugikan adanya praktik predatory pricing dengan “bakar uang” yang sering dilakukan platform digital asing yang memiliki banyak modal. Selain itu, praktik masuknya barang impor yang sangat banyak dijadikan produk yang memilliki daya tarik bagi pembeli di dalam pasar digital tersebut akibatnya produk lokal kalah bersaing keberadaannya atas hal ini.

Menanggapi atas fakta tersebut, maka Kementerian Perdagangan membatasi platform media sosial seperti TikTok yang menawarkan layanan e-commerce dalam aplikasi yang sama. Tujuannya untuk melindungi UMKM dari gempuran barang impor. Namun, kenyataannya tidak efektif hingga akhirnya saat ini platform tersebut bekerjasama dengan marketplace ternama yaitu Tokopedia.

Pelaku bisnis sudah mulai beradaptasi dengan platform e-commerce TikTok di media sosial meskipun kendala di depan mata dirasakan sangat menguntungkan pihak yang bermodal besar dan sangat mempengaruhi pedagang kecil. Sebenarnya jika kita bisa menganalisa maka akan kita dapati bahwa akar persoalan utamanya adalah bagaimana fokus pemerintah dalam mengatur gempuran barang impor yang menjadi kendala bagi pelaku UMKM bukan TikTok Shop yang memberi kemudahan akses bagi penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi jual-beli.

Adapun terkait upaya pemerintah berencana menaikkan tarif dalam barang impor yakni 200% dengan harapan mampu mengatasi gempuran produk Cina di dalam negeri masih diragukan efektivitasnya. Karena produk impor yang masuk bukan hanya produk legal namun produk ilegal. Karena konsep perdagangan luar negeri adalah perdagangan bebas yang menghilangkan peran negara. Negara selama ini hanya sebagai regulator bagi oligarki yang memiliki modal besar yakni memberikan akses yang longgar bagi pemilik modal untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memikirkan jangka panjang akibat dari kebijakan tersebut, lagi-lagi rakyat kecil yang menjadi korban dari keserakahan kapitalisme.

Keserakahan kapitalisme selamanya akan membuat penderitaan ditengah-tengah umat karena asas yang dijadikan pijakan adalah asas manfaat yakni dengan mengabaikan prinsip kemaslahatan untuk umat. Lalu apakah merupakan langkah yang tepat jika menggenjot UMKM dijadikan sumber perekonomian?

Dalam meningkatkan perekonomian negara yang mampu meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat maka jalan keluarnya adalah berpegang pada apa yang dicontohkan Rasulullah dalam mengatur persoalan perekonomian negara yakni antara lain:

Pertama, Islam memandang bahwa sumber perekonomian negara bukan UMKM, bukan pajak, bukan pula utang. Meskipun demikian bukan berarti aktivitas UMKM tidak dibolehkan, aktivitas itu dibolehkan dengan menghadirkan kreativitas apa pun, namun bukan sumber perekonomian. Negara akan menjadikan perindustrian strategis sebagai fondasi kebijakan dalam bidang industri sebagai upaya menyerap tenaga kerja(SDM) dibandingkan UMKM. Adapun yag termasuk sumber perekonomian negara adalah Kekayaan SDA yang pengelolaannya dibawah kontrol negara dan hasilnya diberikan untuk kemaslahatan rakyat. Dalam hal ini negara akan melarang segala aktivitas privatisasi SDA yang dapat merugikan hak rakyat.

Kedua, mewujudkan tersedianya lapangan pekerjaan bagi masyarakat seperti menggalakkan kegiatan pedagangan dan mendorong kinerja perdagangan dengan bantuan modal usaha tanpa dikenakan bunga ribawi.

Ketiga, negara melarang kegiatan yang dapat mendistorsi pasar. Hal ini karena pasar yang terdistorsi akan menyebabkan mekanisme harga/pasar tidak berjalan dan akan menimbulkan penindasan dari pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah termasuk predatory pricing dengan bakar uang.

Keempat, negara tidak akan melakukan impor produk, terutama produk yang dihasilkan pengusaha dalam negeri. Kalaupun negara melakukan impor, maka impor yang dilakukan akan dibatasi sehingga tidak mematikan pengusaha dalam negeri. Adapun terkait komoditas ekspor impor yang membawa mudharat bagi rakyat maka komunitas ini dilarang

Kelima, ketentuan lain yang berhubungan dengan perdagangan luar negeri adalah ketentuan tarif (pajak) ekspor dan impor. Pedagang yang merupakan warga negara Islam tidak boleh dikenai pajak (tarif/bea cukai) ekspor maupun impor oleh negara. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah saw.:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ

“Tidak akan masuk surga orang yang memungut cukai.” (HR Abu Dawud, Ahmad dan ad-Darimi)

Adapun pengambilan beacukai atau tarif (pajak) ekspor dan impor dari pedagang-pedagang yang bukan dari warga negara Islam adalah boleh. Namun, negara dapat juga membebaskan mereka dari pajak atau biaya apa pun jika itu dipandang baik bagi kemaslahatan kaum Muslim. Sehingga regulasi yang ditetapkan dalam mengatur ekspor dan impor sesuai dengan aturan Islam.

Keenam, terkait kecanggihan teknologi seperti TikTok ketika menjadi platform digital e-commerce maka dianggap bentuk kreativitas yang didukung penuh untuk memberi kemudahan akses asalkan sesuai dengan aturan Islam dalam penggunaannya dan ini perlu peran negara dalam mengontrolnya.

Walhasil, peran negara dalam mengurusi urusan umat semakin terlihat dalam seluruh kebijakannya yang bersandar pada aturan Islam sehingga mampu menangani seluruh persoalan ekonomi yang dapat mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh umat.

Wallahu a’lam bis showab