Oleh. Sherly Agustina, M.Ag.
(Penulis dan Pemerhati Kebijakan Publik)
Muslimahtimes.com–Ramai ribuan peserta aksi dari kalangan mahasiswa dan elemen lain pada 22 Agustus 2024 menerobos gedung DPR setelah ramai #peringatandarurat di malam harinya. Aksi berlangsung di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Makasar. Dalam aksinya, para mahasiswa mengawal putusan MK yaitu Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang menegaskan bahwa syarat batas usia calon kepala daerah harus terpenuhi pada saat penetapan pasangan calon peserta pilkada oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, mengapa di negara yang katanya demokratis perlakuan aparat terhadap demonstran begitu refresif? Apakah demokrasi antikritik?
Ketika terjadi aksi mahasiswa kawal putusan MK di berbagai daerah beberapa hari yang lalu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat beberapa kasus tindakan represif aparat keamanan. Ketua YLBHI, Muhammad Isnur mengatakan, ada puluhan tindakan represif, intimidasi, hingga kekerasan terhadap massa aksi. Kasus represif pihak kepolisian terhadap demonstran terjadi di Semarang, Makassar, Bandung, dan Jakarta.
Menurut Isnur, hingga Kamis malam, 22 Agustus 2024, lembaganya menerima laporan sebelas massa aksi terkonfirmasi ditangkap kepolisian. Sementara satu orang lainnya mendapatkan doxing. Isnur pun mengatakan, hingga pukul 21.30, 22 Agustus 2024, ada 26 laporan yang masuk ke Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD). Puluhan laporan itu berupa tindakan kekerasan, doxing, hingga penangkapan oleh pihak kepolisian. Diketahui, ratusan massa aksi ditangkap saat menuju lokasi aksi. (nasional.tempo.co., 25-08-2024)
Jaminan Kebebasan Berpendapat
Di negara Indonesia, konstitusi menjamin kebebasan berpendapat sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Penafsiran pasal ini diakomodir oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (UU KMP). Dalam UU KMP menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab, baik secara lisan maupun tulisan, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, kebebasan berpendapat juga dijamin oleh undang-undang lain, seperti: UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memberikan jaminan dan perlindungan kebebasan berpendapat. Dari rahim demokrasi lah lahir liberalisme (kebebasan) yang dijamin di negeri konstitusi ini, di antara kebebasan yang dijamin yaitu kebebasan beragama, tingkah laku, berbicara, dan berkepemilikan.
Demokrasi Antikritik?
Namun, dari fakta dan data yang ada mengapa aparat yang mewakili pemerintah ketika menghadapi para demonstran untuk mengungkapkan pendapatnya bersikap refresif? Ketua YLBHI, Muhammad Isnur mengatakan, tindakan represif yang dilakukan aparat merupakan pelanggaran hukum, tindak pidana, dan melanggar peraturan internal Kapolri. Dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, dijelaskan bahwa kepolisian tidak boleh terpancing, tidak arogan, dan tidak melakukan kekerasan ketika situasi kerumunan massa aksi tidak terkendali.
Selain itu, Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Koentjoro mengingatkan bahwa tugas polisi mengayomi masyarakat sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Ia juga menegaskan, polisi perlu menjalankan tugas sesuai aturan hukum yang berlaku, baik kepada masyarakat sipil maupun pejabat publik. Jargon demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dipertanyakan rakyat yang mana? Karena kebijakan pemerintah yang lahir dari demokrasi tak mewakili suara rakyat seutuhnya.
Rakyat yang diwakili kaum intelektual para mahasiswa tak akan melakukan aksi jika pemerintah tidak melanggar konstitusi. Sikap pemerintah yang sewenang-wenang atas nama demokrasi nyatanya menimbulkan tirani yang represif. Rakyat murka dengan dinasti keluarga yang dipertontonkan tanpa rasa malu di atas penderitaan rakyat yang semakin sulit. Melihat fakta ini, seharusnya pemerintah menerima kritik dari rakyat, membuka dialog untuk menyelesaikan masalah dan memahami keinginan rakyat. Bukan menutup pintu diskusi, tidak melayani kritik rakyat dan bertindak refresif. Beginilah wajah buruk demokrasi di negeri ini.
Islam Memberi Ruang Kritik
Demokrasi yang menjamin kebebasan nyatanya anti kritik dengan sikap refresif aparat setiap kali menghadapi demonstran. Berbeda dengan Islam, yang memberi ruang pada rakyat untuk melakukan aktivitas muhasabah lil hukam (mengoreksi penguasa) agar tetap berada di rel syariat. Karena aktivitas amar makruf nahi mungkar diperintahkan oleh Allah, baik itu kepada individu, kelompok, atau masyarakat (QS. Ali Imran: 104)
Islam memberikan teladan seorang pemimpin yang tidak anti terhadap kritik, di antaranya Khalifah Umar bin Khathab. Ada satu kisah, bahwa Khalifah Umar ketika sedang berpidato tentang mahar pernah dikritik oleh seorang perempuan di depan umum. Saat itu, sikap umar tidak marah dan tidak menolak kritik tersebut. Bahkan, Umar justru menerima argumentasi kuat yang didengarnya dan mengakui kesalahannya. Berbeda dengan kondisi saat ini, rakyat boleh berpendapat dan mengkritik pemerintah tapi setelah berpendapat ditangkap, jika lewat medsos terkena UU ITE.
Selain itu, dalam Islam ada lembaga khusus yang mengoreksi dan memberi masukan kepada penguasa yaitu majelis umat dan qadhi mazalim. Penguasa pun memahami betul tujuan adanya muhasabah (koreksi) yaitu agar aturan syariat tetap tegak di muka bumi demi terwujudnya baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Melihat fakta penerapan demokrasi di negeri ini membukakan mata bahwa tidak bisa berharap kebaikan dan perubahan pada demokrasi. Satu-satunya yang bisa diharapkan hanya Islam tidak ada yang lain. Allahua’lam bishawab.