Breaking News

Wakil Rakyat Ramai-ramai Gadaikan SK, Bukti Bobroknya Sistem Demokrasi

Spread the love

Oleh. Raodah Fitriah, S.P

Muslimahtimes.com–Viral! Tengah terjadi fenomena penggadaian Surat Keputusan (SK) oleh sejumlah anggota DPRD di Jawa Timur. Hal ini menjadi bukti nyata mahalnya biaya politik di Indonesia (detikJatim.com, 07/09/2024).

Hal serupa juga terjadi di Subang. Puluhan anggota DPRD yang baru dilantik pada periode 2023/2024 menggadaikan SK pengangkatan ke bank sebagai jaminan untuk meminjam uang. Dengan jumlah pinjaman mulai dari 500 juta hingga sampai 1 miliar rupiah. (Republika.co.id, 06/09/2024)

Wajah Politik Indonesia 

Masuk ke dalam kontestasi politik menjadi hal yang menggiurkan. Banyak dari para calon yang berlomba-lomba untuk mendapatkan gaji, kehormatan, mengangkat martabat atau meningkatkan status sosial dan kekuasaan dengan masuk menjadi anggota legislatif. Ini menjadi daya tarik tersendiri bagi rakyat Indonesia. Dengan persyaratan yang sangat mudah, siapa pun bisa mencalonkan diri.

Fenomena “menyekolahkan” SK ini sebenarnya sudah sering terjadi. Biasanya dilakukan oleh pejabat politik atau pejabat publik Indonesia. Tidak hanya anggota DPRD saja, semua lembaga politik yang ada dalam negara pun rata-rata melakukan hal yang sama.

Menurut Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Pakar Kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, mengatakan bahwa lembaga politik dipengaruhi oleh banyaknya modal yang dimiliki. Sebab ongkos politik atau biaya pemilu yang mahal, maka wajar ketika mereka menjabat SK digadaikan sebagai sumber uang tunai yang bisa didapatkan para anggota dewan baru terpilih. Apalagi, kata Titi, kebanyakan mereka kehabisan dana akibat biaya kampanye yang dikeluarkan habis-habisan (Tirto.id, 09/09/2024).

Prajna Research Indonesia juga pernah melakukan penelitian soal modal menjadi caleg. Rinciannya adalah calon anggota DPR RI sekitar 1 hingga 2 miliar, calon anggota DPRD provinsi sekitar 500 juta hingga 1 miliar, dan calon anggota DPRD kabupaten/kota sekitar 250 hingga 300 juta rupiah.

Modal tersebut digunakan sebagai akomodasi untuk mengunjungi daerah, menyiapkan atribut (kaos, umbul-umbul, iklan, baliho), logistik, untuk tim sukses, bantuan sosial, biaya pengumpulan massa hingga biaya saksi. Belum lagi jika terjadi politik uang, tentu membutuhkan biaya yang tak sedikit.

Sistem Rusak Lahir dari Sekularisme Kapitalisme

Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang (Unpam), Efriza, mengatakan bahwa obsesi menjadi anggota dewan sangat besar demi pendapatan tanpa mewakili dan menyerap aspirasi rakyat melalui kebijakan. Dampak biaya politik mahal akan berpengaruh pada tatanan sosial masyarakat. Sebab anggota dewan yang terpilih tidak lagi memperjuangkan hak rakyat, namun hanya memikirkan kepentingan pribadinya untuk melunasi utang. (Republikmerdeka, 07/09/2024)

Hal ini menjadi potret buruk sistem politik di Indonesia. Cikal bakal korupsi muncul dari sini dengan memanfaatkan kedudukan dan kewenangan yang ada. Hal ini wajar terjadi dalam sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Segala hal yang terjadi tidak dinilai sebagai keburukan.

Sistem demokrasi yang lahir dari kapitalisme melahirkan cara pandang yang berbeda, yakni kekuasaan atau jabatan dijadikan jalan untuk meraup kekayaaan, dengan integritas dan etos kerja yang dianggap buruk oleh rakyat. Sebab mereka diangkat bukan karena memiliki kapabilitas kepemimpinan, tetapi siapa yang memiliki banyak modal.

Hal ini menjadi tabiat buruk demokrasi. Dalam sistem demokrasi kapitalisme, utang dipandang sebagai pendapatan negara. Dapat dilihat dengan mudahnya negara menyediakan jasa pinjaman dan memberikan pinjaman, baik dengan menggadaikan SK maupun barang berharga lainnya.

Islam Menjamin Wakil Rakyat yang Amanah dan Berkepribadian Islam

Islam memandang politik sebagai suatu keharusan, karena Islam bukan hanya agama ritual. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, baik urusan individu, masyarakat dan negara.

Pejabat yang berperan sebagai raa’in (pengurus) bagi seluruh umat dan junnah (pelindung) bagi seluruh rakyatnya hanya lahir dari sistem pemerintahan Islam (khilafah) yang berlandaskan pada akidah Islam.

Di dalam khilafah ada majelis umat yang merupakan lembaga aspirasi, terdiri dari orang-orang yang dipilih oleh umat untuk mewakili mereka agar bisa menyampaikan pendapat kepada Khalifah dalam berbagai urusan.

Mekanisme pemilihannya langsung dipilih oleh umat tanpa politik uang dan mengumbar janji manis. Kewenangannya bukan sebagai pembuat Undang-Undang yang memberikan keuntungan secara materi, namun sebagai majelis syura’ (musyawarah). Anggotanya tidak hanya dari kalangan muslim, namun juga dari kalangan non muslim. Walaupun hak dan kewenangannya berbeda.

Majelis umat memiliki tugas dan wewenang yang jelas. Pertama, syura’ ialah memberikan masukan, baik diminta maupun tidak kepada Khalifah pada berbagai aktivitas perkara praktis yang berhubungan dengan urusan umat, yang tidak perlu pengkajian dan analisis mendalam. Misal akses fasiltas pendidikan, kesehatan dan perbaikan jalan. Kedua, tidak memiliki hak legislasi karena sumber hukum berasal dari Al Qur’an dan sunah. Majelis umat hanya bertindak sebagai pengontrol penguasa, bukan pembuat Undang-Undang seperti di sistem hari ini. Ketiga, muhasabah Khalifah. Memiliki hak mengoreksi Khalifah dalam seluruh aktivitas yang telah dilakukan, baik urusan luar negeri maupun dalam negeri. Keempat, memiliki hak menampakkan ketidakrelaan atas para Mu’awin, Wali dan Amil. Dalam hal ini pendapat majelis umat mengikat bagi Khalifah.

Sistem Islam tidak memerlukan biaya politik yang mahal. Sehingga dalam sistem Islam tidak akan ditemukan pegawai atau pejabat yang menggadaikan SK seperti dalam sistem demokrasi hari ini. Anggota legislatif yang terpilih motivasinya bukan untuk mendapatkan keuntungan, namun ingin menjadi wakil rakyat yang mampu membawa perubahan (dalam hal ketakwaan) di tengah-tengah masyarakat. Hanya dalam Islam pemimpin menerima kritikan dan masukan tanpa dikenakan sanksi dan hukuman. Dan hanya dalam Islam akan ditemukan pejabat yang mampu menjalankan amanah dengan baik.

Wallahu a’lam bi ash-shawab.