
Oleh. Kholda Najiyah
Muslimahtimes.com–Warti tak kuasa membendung air mata saat penutupan pabrik tempatnya mencari nafkah. Hampir separuh umurnya, dihabiskan di PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Jumat, 28 Februari 2025 menjadi hari perpisahan mereka yang penuh haru. “Di sini sudah 25 tahun. Hati saya sakit,” kata dia, dikutip Tribunnews (28/2/25).
Keluarganya di rumah, juga turut merasakan kepedihan. Betapa tidak, kini salah satu pintu rezeki keluarga tertutup. Ibarat memelihara angsa emas, bukan saja angsa itu tak lagi dapat bertelur, tetapi disembelih dan mati. Dia mengaku harus mencari pekerjaan lain, karena masih punya tanggungan. “Anak-anak mau nerusin sekolah juga gimana,” kata Warti, getir.
Ia hanyalah satu dari total 8.475 buruh yang terdampak PHK. Belum lagi karyawan grup Sritex lainnya, sehingga total mencapai 10.669. Sebagian besar adalah kalangan wanita. Raksasa garmen yang sudah beroperasi sejak 16 Agustus 1966 itu tumbang karena pailit. Per 1 Maret 2025, nama Sritex akan menjadi sejarah, setelah 58 tahun berkibar.
Di hari perpisahan, Direktur Utama PT Sritex, Iwan Kurniawan Laminto, berbaur dengan ribuan karyawannya, yang sudah mengabdi belasan hingga puluhan tahun. Setiap hari berinteraksi, mereka sudah menjadi keluarga besar. Lagu Kenangan Terindah menandapi detik-detik perpisahan yang diirisi isak tangis.
Mengenakan topi kuning dan kaos putih, mereka saling mencorat-coret seragamnya. Membubuhkan tanda tangan dan nama untuk kenang-kenangan. Berpelukan hangat saling menguatkan, sambil sesenggukan. Lalu keluar gerbang pabrik satu persatu dengan meneriakkan kata ‘lulus.’
Tak lupa, mereka menyempatkan diri berpamitan kepada para pedagang UMKM di luar pabrik. Kembali air mata pecah. Seperti orang tua dan anak, mereka saling berpelukan untuk terakhir kalinya.
Pedagang merasa kehilangan, karena mengandalkan penghasilan dari para buruh Sritex. “Setiap hari mereka beli di warung saya, ada yang sarapan, makan siang, atau sekadar beli kopi. Sekarang mereka harus pergi, saya sedih sekali,” ujar Suparmi, salah satu pemilik warung makan, seperti dikutip oleh TribunSolo, Jumat (28/2/2025).
Pengorbanan Ibu untuk Ekonomi Keluarga
Warti hanyalah satu dari jutaan buruh wanita yang menjadi tumpuan ekonomi keluarga. Menurut data BPS, jumlah pekerja perempuan mencapai 21.983.670 atau 33,52% pada tahun 2024. Tentu saja, di antara mereka adalah para ibu rumah tangga yang terpaksa bekerja untuk membantu menopang ekonomi keluarga.
Lantaran, dalam kondisi ekonomi sulit di sistem kapitalis ini, tak cukup satu kepala keluarga yang mencari nafkah. Suami dan istri sama-sama bekerja saja, kesejahteraan masih jauh dari harapan. Apalagi jika hanya satu pihak yang mencari uang.
Itulah sebabnya, sejak puluhan tahun lalu, para wanita menahan air mata mereka, ketika harus meninggalkan rumah ke tempat kerja. Mereka menyembunyikan perasaan nelangsa sebagai ibu rumah tangga yang harusnya cukup di rumah dan dipenuhi kebutuhan nafkahnya.
Para ibu yang ikut berjuang menopang ekonomi keluarga, demi memenuhi uang jajan anak-anak, yang ia tak tega mendengar rengekannya. Berjibaku dengan waktu untuk menambal biaya pendidikan buah hati tercinta, agar kelak mereka memiliki masa depan lebih cerah dari dirinya.
Meskipun untuk itu, ia terpaksa meninggalkan anak-anak sejak bayi masih menyusui dalam buaiannya. Menorehkan luka batin berupa perasaan bersalah, karena tak bisa mendampingi tumbuh kembangnya. Memendam batin tersiksa oleh perasaan bahwa ia bukan ibu yang baik, yang selalu hadir di sisi buah hatinya.
Seorang ibu yang terlihat tangguh di luar sana. Selalu rapi dengan senyuman tersungging di bibir, tetapi sejatinya hati menangis. Jiwanya lelah dan butuh pertolongan, namun jeritannya lirih tak tersuarakan. Sungguh, para ibu tangguh yang merindukan hidup mulia dan sejahtera, yang telah terpendam dalam di hati nuraninya.
Kini, sekali lagi mereka harus memutar otak untuk menyelamatkan nasib keluarganya. Mencari lagi pintu rezeki untuk menyelamatkan nasib anak-anaknya. Tak ada kata menyerah, meski hati rindu untuk istirahat di rumah.
Momen Menyeimbangkan Peran
Gelombang PHK massal di berbagai perusahaan, hendaknya menjadi momentum evaluasi total. Alih-alih mendorong para wanita untuk lebih besar lagi dalam berkontribusi mencari materi, justru manfaatkan ini untuk mengembalikan kaum wanita kepada kodratnya.
Biarkan dia kembali kepada fitrahnya, sebagai ibu rumah tangga. Fokus mengurus rumah dan mendidik anak-anaknya. Hentikan membebani perempuan sebagai pencari uang. Kalaulah mereka bekerja, sekadar mengaplikasikan ilmu untuk kemaslahatan umat, bukan sebagai beban utama ekonomi rumah tangga.
Sebaliknya, perkuat peran suami sebagai pencari nafkah. Sudah lama keluarga tidak seimbang, karena para suami dan istri dua-duanya bekerja. Atau, ketika istri bekerja, malah suami menganggur. Ada yang nganggurnya karena tidak ada lowongan —tersebab sudah dipenuhi pekerja wanita. Ada yang nganggur karena malas, terlanjur bergantung pada istri sebagai pencari nafkah.
Kembalinya para buruh wanita ke rumah, niscaya akan menciptakan keseimbangan peran dalam keluarga. Asalkan, kesejahteraan mereka tetap diperhatikan. Bukan melalui jalur tangan dan kaki mereka sendiri, tetapi jalur pernafkahan dari suami. Itulah kedudukan mulia para wanita. Kesejahteraan yang dirindukan adalah tatkala suami mampu mencukupi kebutuhan nafkahnya, tanpa harus banting tulang sendiri menjadi buruh wanita.
Sejahterakan Pria=Sejahterakan Wanita
Jika pemerintah benar-benar serius memikirkan kesejahteraan rakyatnya, maka sudah saatnya menata dunia ketenaga-kerjaan. Gelombang PHK harus segera diatasi dan diantisipasi dengan serius, karena ini menyangkut kebutuhan dasar manusia berupa makan dan minum.
Pertama, buka lapangan kerja seluas-luasnya dan dorong masyarakat untuk membuka usaha. Permudah birokrasinya dan jangan dipersulit. Jadi, daripada membuat kebijakan memberi makan gratis pada anak sekolah, lebih baik dananya untuk membuka lapangan kerja bagi bapak-bapak mereka.
Kedua, pastikan tidak ada kepala keluarga yang menganggur. Semua punya sumber mata pencaharian. Adapun pekerja wanita, tidak menjadi prioritas utama. Ini bukan bentuk diskriminasi, tapi untuk memastikan bahwa para pencari nafkah utama telah memiliki pekerjaan yang layak.
Ketiga, ciptakan iklim dunia kerja yang manusiawi. Menerima pekerja dengan memperhatikan skill, bukan mensyaratkan fisik seperti usia, tinggi badan dan penampilan menarik. Sudah bukan zamannya lagi ada diskriminasi tentang syarat yang tidak ada hubungannya dengan kompetensi pekerjaannya.
Keempat, terapkan upah yang manusiawi dan maksimal kepada para pekerja laki-laki. Pastikan, para kepala keluarga tersebut dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Gaji suami yang cukup, istri akan senang dan tenang karena tak perlu ikut bekerja. Inilah yang ditunggu-tunggu para ibu rumah tangga. Mereka merindu dimuliakan dan disejahterakan, tanpa harus menjadi pejuang ekonomi keluarga. Cukup sang suami yang ambil peran mencari nafkah, sehingga perjuangannya fokus mendidik putra-putrinya menjadi generasi unggul.
Kelima, agar gaji para kepala keluarga cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh keluarganya, maka gratiskan fasilitas pendidikan dan kesehatan. Hapus segala jenis beban pajak yang mencekik. Murahkan harga BBM dan sembako. Murahkan harga barang dan jasa. Murahkan harga properti. Dengan demikian, daya beli masyarakat menjadi tinggi. Mereka pun akan belanja dan dapat memutar roda perekonomian nasional.
Keenam, berikan perlindungan pada produk-produk dalam negeri. Kendalikan produk impor yang bisa merusak industri dalam negeri. Tingkatkan kualitas produk lokal agar memiliki kualifikasi standar internasional, sehingga masyarakat bisa memenuhi kebutuhannya akan barang berkualitas dengan harga terjangkau.
Tidak seperti saat ini, produk impor banjir di pasaran. Konsumen tidak bisa disalahkan, karena prinsip mereka adalah belanja yang murah dan bagus sesuai kemampuan keuangan. Tanpa ada intervensi negara dalam menata perdagangan dan industri dalam negeri, tidak aneh jika perusahaan-perusahaan besar pun bisa bertumbangan.
Demikianlah antara lain solusi yang diharapkan rakyat, khususnya kaum wanita untuk mewujudkan kesejahteraan. Namun, perlu dukungan sistem yang baik untuk menyeka air mata duka para buruh wanita. Dan, itu tidak mungkin mengharapkan dari sistem sekuler kapitalis yang telah gagal memulakan dan menyejahterakan wanita.(*)