Oleh : Tri Silvia
(Pengamat Ekonomi)
#MuslimahTimes —Sebuah peribahasa terkenal mengatakan ‘Ada udang di balik batu’. Kiranya peribahasa itu yang cocok untuk kunjungan Menlu AS, Mike Pompe0 kali ini. Dianggap cocok sebab seperti kunjungan-kunjungan sebelumnya, banyak hal dan kesepakatan yang dibawa oleh bapak Menlu ke negeri tercinta ini. Katanya untuk kebaikan kedua belah pihak, namun nyatanya justru tak seindah itu.
Kunjungan ini bukan yang pertama. Ibarat suster yang mondar-mandir mengontrol kondisi kesehatan pasien, begitulah yang dilakukan Menteri-Menteri Negeri Paman Sam. Dan tak hanya Menteri, bahkan bapak Presiden dan tak ketinggalan, Wakilnya pun pernah singgah di negeri tercinta ini. Mereka harus berlelah-lelah ria, terbang jauh ke Indonesia, seakan-akan ada sesuatu yang harus dikontrol.
Amerika Serikat yang dulu terkenal sebagai negara superpower, memiliki banyak sekali kepentingan yang harus dijaga di Indonesia. Munculnya istilah ‘kontrol loyalitas’ tentu tak aneh, sebab penjagaan berbagai kepentingan tidak akan terjadi tanpa adanya loyalitas.
Sebagaimana yang disebutkan dalam berbagai portal berita. Ahad (5/8), Presiden Joko Widodo menerima kedatangan Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo di Istana Kepresidenan. Setelah sebelumnya, Mike mendatangi ibu Retno Marsudi selaku Menteri Luar Negeri Indonesia di Kantor Kemenlu untuk melakukan pertemuan empat mata.
Berdasarkan penelusuran, setidaknya ada tiga hal yang dibahas oleh Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo di Indonesia. Pertama, terkait dengan kerja sama ekonomi kedua negara. Kedua, stabilitas kawasan Semenanjung Korea. Ketiga, kemerdekaan Palestina (Tempo.co).
Dalam hal pertama, setidaknya ada dua poin yang sangat mungkin dibicarakan oleh kedua belah pihak. Yakni masalah kebijakan divestasi PTFI (PT. Freeport Indonesia) dan keberlangsungannya di Indonesia, juga masalah ancaman penarikan GSP (generalized system of preferences) oleh Pemerintahan Donald Trump atas beberapa produk Indonesia.
Terkait PT. Freeport Indonesia (PTFI). Bulan lalu (12/7), Pemerintah telah menandatangani Head of Agreement mengenai divestasi saham 51% atas Pemerintah Indonesia, pun telah disetujui perpanjangan operasi dua kali 10 tahun hingga 2041, pembangunan smelter, dan dukungan atas stabilitas finansial. PTFI telah memulai usahanya di Indonesia dari tahun 1967, terus eksis hingga saat ini dengan berbagai keistimewaan. Lebih dari setengah abad, wilayah yang dulunya pegunungan tinggi, kini menjadi lembah yang sangat curam. Seakan tak cukup, pemerintah AS terus saja berusaha memperpanjang kontrak melalui berbagai kunjungan yang dilakukan.
Kembali pada kunjungan pak Menlu. Penyandingan masalah ekonomi dengan masalah keamanan kawasan dan politik, menimbulkan dugaan di benak para pengamat. Terutama mengenai pentingnya posisi Indonesia dalam rancangan strategis penguatan hegemoni ekonomi, politik dan keamanan AS.
Untuk menjaga hegemoninya, AS harus selalu mengontrol kondisi dan loyalitas para penguasa dan jajaran di bawahnya. Hal tersebut dilakukan agar mereka selalu ada dalam genggaman kekuasaan. Maka dirancanglah sebuah strategi penjagaan lewat penguatan sistem kapitalis sekuler di Indonesia. Yang mana salah satu strateginya adalah melalui usaha penanaman dan pengkristalan ide Islam moderat di tengah masyarakat muslim Indonesia. Strategi itu terbukti melalui ungkapan verbal mereka saat berkunjung. Sanjungan atas Indonesia, negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia, yang telah berhasil dalam mengembangkan Islam moderat berulang diungkapkan oleh para Menteri, Presiden dan Wakilnya yang pernah berkunjung ke Indonesia.
Alhasil, Indonesia menjadi negara yang katanya ‘merdeka’, namun ‘terjajah’ pada nyatanya. Pemerintah seakan tak punya kuasa untuk memilih apa yang harus atau tidak harus dilakukan. Pemerintah tak mampu menyejahterakan masyarakat secara umum tanpa bantuan AS atau negara-negara maju lainnya. Sungguh jauh dari kata kemandirian.
Oleh karena itu, urgensitas penegakkan kepemimpinan dan sistem yang mandiri menjadi hal yang mendesak. Kepemimpinan dan sistem yang mampu membebaskan negeri dan umat dari cengkeraman penjajahan AS atau negara-negara maju lainnya. Kepemimpinan dan sistem yang mampu menyejahterakan umat dan membawanya pada kelezatan iman.
Tak ada yang mampu dan sanggup melakukannya kecuali dengan kepemimpinan dan sistem Islam, yang tidak akan terwujud tanpa adanya sebuah institusi yang bernama Daulah Khilafah Islamiyah.
“… Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah (Al Kitab) dan Rasul (sunahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. An Nisa’: 59)
Wallahu a’lam bis shawab
=====================================
Sumber Foto : Kumparan