Oleh: Shafayasmin Salsabila
Indonesia memang sudah merdeka secara fisik. Lewat jasa para pahlawan, penjajah Belanda, Potugis, Jepang, enyah dari bumi Pertiwi. Kumandang jihad efektif menyatukan seluruh santri, tak takut meski hanya berbekal bambu runcing. Hingga 3,5 abad penjajahan kompeni di negeri ini dapat disudahi. Alhamdulillah, patut untuk kita syukuri.
Tapi setelah penjajah pergi, negeri kita ternyata belum dapat tegak berdiri. 73 tahun sudah kata merdeka digaungkan. Namun kubangan kemiskinan dan kebodohan tak jua terselesaikan. Justru kini, rakyat kecil selalu jadi korban ketamakan para pemangku jabatan.
Di tengah alam yang subur, faktanya masih banyak bayi busung lapar dan orang-orang pinggiran yang kelaparan. Aset-aset penting yang seharusnya bisa digunakan untuk mensejahterakan penduduk negeri, justru dicengkram oleh asing dan aseng yang tak bernurani.
Sumber daya alam dieksploitasi lewat pemberlakuan undang-undang yang sarat pesanan. Pada saat bersamaan, lilitan hutang kini lebih dari empat ribu triliyun. Wajar jika kini pajak semakin menggila meneror rakyat. Demi adanya pemasukan guna membayar hutang luar negeri. Lagi-lagi, rakyat yang harus menanggung derita ini.
Tiap hari yang berganti adalah perjuangan bagi para single parent, bagi anak yang sudah tak memiliki orang tua, bahkan bagi para lansia sekalipun.
Sedang para lelaki mematut hampa, PHK dan persaingan dengan Tenaga Kerja Asing membuat luka. Bagai anak tiri di negeri sendiri.
Perkara perebutan kekuasaan. Tarik ulur kepentingan. Drama pencitraan. Menjadi tontonan para korban gempa. Mereka merasakan kepiluan, saat sebagian besar orang merayakan kemerdekaan. Mereka di sana menangis sedang kita di sini terbahak-bahak melihat anak yang terjatuh dari balap karungnya. Melihat tetangga yang melorot jatuh saat panjat pinang. Melihat mulut-mulut lucu yang menggapai-gapai kerupuk. Hai, kemanakah nurani?
Butuh waktu berapa lama lagi untuk kita sadar. Dari kemerdekaan semu ini? Ya, semu.
Karena kita memang belum benar-benar merdeka.
Saat para ibu tenang jiwa-raga membiarkan anak-anaknya bermain tanpa takut diculik, dibully, atau jadi incaran para pedofil barulah terasa merdeka.
Saat anak bebas bersekolah tanpa dibatasi zonasi. Tanpa SPP. Tanpa pungutan sumbangan, iuran buku. Bebas menimba ilmu dengan fasilitas terbaik, dengan para guru berakhlak mulia, sarana dan prasarana yang modern. Tanpa risaukan biaya sekolah. Barulah merdeka terasa.
Saat ulama bebas berkhutbah tanpa perlu sertifikat. Tanpa dibatasi materi kajiannya. Bebas dari tuduhan radikal. Itulah merdeka.
Saat para lelaki terlindung dari kepornoan. Terjaga dari melihat penampakan aurat wanita. Jauh dari paparan pelakor. Itulah merdeka.
Saat sembako terjangkau. Swasembada beras. Telor, ayam, daging, ikan berkualitas tersedia dan terbeli. Itulah merdeka.
Saat hukum-hukum buatan manusia diganti dengan hukum-hukum buatan Allah. Maka itulah merdeka. Ya, kemerdekaan yang sejati.
Jangan mau dikelabui. Mari berjuang agar kemerdekaan sejati dapat terwujud. Selain akan memberikan ketenangan dan kebahagiaan, juga semata tuntutan kewajiban. Bukankah hak Allah adalah untuk diibadahi, artinya diikuti hukum-hukum-Nya? Kepada siapa kita akan kembali? Kepada siapa kita skan menghadap dan mempertanggung jawabkan amal? Jadi hukum siapakah yang harus kita gunakan dan perjuangkan?
Ayat di bawah ini patut untuk kita renungkan bersama:
﴿وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ﴾
“Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka sungguh bagi dia kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta” (TQS Thaha [20]: 124).
Mari bertakwa, mari merdeka!
Wallahu a’lam bish-shawab
[Mnh]