
Oleh. Rizki Hidayah Hasibuan, S.Pd
Muslimahtimes.com–Kementrian Agrarian dan Tata Ruang (ATR)/ Badan Pertahanan Nasional (BPN) mencatat terdapat 1,4 juta hektar lahan dari 55,9 juta tanah bersertifikat dalam kondisi terlantar. Kepala Kantor Komunikasi Presiden (PCO) Hasan Nasbi, menyampaiakan sering munculnya konflik agraria diakibatkan oleh lahan menganggur dalan kurun waktu tertentu. Karena terdapat peluang diduduki oleh pihak lain walaupun tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan Dan Tanah Terlantar. Tanah yang tidak digunakan atau tanah terlantar selama dua tahun berpotensi di ambil alih negara.
Harison Mocodompis, Kepala Biro Humas dan Protokol Kementrian ATR/BPN menjelaskan jenis hak tanah yang berpotensi menjadi tanah terlantar meliputi Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengelolaan (HPL), dan Hak Pakai. Sebagai contoh, lahan berstatus HGU dan HGB, pemilik wajib melampirkan proposal usaha, rencana bisnis, hingga studi kelayakan saat pendaftaran. Biasanya, HGU digunakan untuk Perkebunan, sedangkan HBG diperuntukkan untuk Pembangunan rumah, ruko dan pusat pembelanjaan. Jika tidak ada perkembangan usaha dalam waktu dua tahun, pemerintah melalui kementrian ATR/BPN akan menginventarisasi dan mengidentifikasi lahan tersebut sebagai potensi lahan terlantar, jelas Harison.
Cara pandang pengaturan tanah ini identik dengan ideologi kapitalisme, yang menjadikan tanah sebagai barang komoditas. Saat tanah tidak menghasilkan keuntungan finansial, tanah tersebut dianggap tidak dimanfaatkan dengan baik. Padahal faktanya tanah dengan skema HGU dan HGB lebih banyak dikuasai oleh korporasi besar, sedangkan rakyat kecil kesulitan untuk memiliki tanah untuk tempat tinggal, bertani, atau berdagang. Penarikan tanah terlantar ini bisa menjadi celah pemanfaatan tanah untuk para korporasi. Lagi-lagi kebijakan ini menjadikan negara sebagai fasilitator kepentingan pemodal dan menghianati hak rakrat untuk mendapatkan tanah dengan mudah dan jaminan perlindugan mempertahankan tanahnya.
Rakyat diminta untuk membuat skema pemanfaatan tanah dengan sebaik-baiknya. Sementara negara tidak memiliki rencana atau tata kelola tanah terlantar yang jelas. Tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar tidak dimanfaatkan untuk kepentingan umum justru dibiarkan terbengkalai. Hal ini akan memicu penyalahgunaan atau pengelolaan yang tidak tepat sasaran. Dipastikan yang menjadi korban adalah rakyat, sementara pengusaha mendapatkan kemudahan untuk mengambil alih tanah terlantar.
Pengelolaan tanah yang diorientasikan untuk keuntungan finansial ini menjadikan tanah dikatakan bermanfaat jika mendapatkan keuntungan, terkhusus untuk negara. Cara pandang kapitalisme ini menjadikan semua hal termasuk pengelolaan tanah tunduk pada kepentingan bisnis dan investor. Padahal tanah adalah sumber kehidupan untuk kelangsungan hidup rakyat. Tanah yang digunakan untuk membangun rumah, bertani, atau berkebun merupakan hak rakyat. Walaupun negara tidak secara langsung mencapatkan keuntungan finansial, tapi ini adalah hak rakyat yang harus di tunaikan.
Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi hakikatnya adalah milik Allah Swt semata. Allah berfirman yang artinya “Dan kepunyaan Allah lah Kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah lah Kembali (semua makhluk). (TQS. An Nur:42)
Kemudian Allah SWT sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Tanah di bumi ini ialah milik Allah Swt.
Allah Swt mengatur kepemilikan menjadi tiga jenis, yaitu milik individu, umat dan negara. Tanah bisa dimiliki oleh individu dengan menghidupkan tanah mati. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu (menjadi) miliknya’ (HR. Bukhori)
Menghidupi tanah mati bisa dengan memberikan pagar, menanam atau membangun bagunan di atas tanah tersebut. Merampas tanah milik individu hukumnya haram. Rasulullah saw bersabda, “barangsiapa yang menambil hak orang lain walau hanya sejengkal tanah, maka akan dikalungkan ke lehernya (pada hari kiamat nanti) seberat tujuh lapis bumi” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tanah milik umat adalah tanah yang memiliki kandungan deposit melimpah. Segala hasil keuntungan diperuntukkan untuk kesejahteraan umat. Mengalihkan tanah milik umat kepada individu/swasta/asing hukumnya haram. Rasulullah saw bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, air, padang rumput dan api dan harganya haram” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Tanah yang dikelola negara harus memiliki rancangan strategis yang menyentuh kebutuhan umat, seperti tata Kelola tanah untuk pemukiman, pertanian, insfrastruktur umum dan lain sebagainya. Tujuannya adalah untuk mensejahterakan umat. Bukan untuk laba atau dijual ke asing dan dikuasai korporasi.
Saat peradaban khilafah berdiri, contohnya di wilayah Baghddad & Cordoba memiliki tata Kelola tanah/lahan yang tertata rapi, saluran sanitassi pembuangan najis di bawah tanah, jalan-jalan luas yang bersih, penerangan pada malam hari. Setiap bagian kota yang direncanakan untuk jumlah penduduk tertentu dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan Perempuan. Bahkan pemakanan umum dan tempat pengelolaan sampah juga tidak ketinggalam. Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja, karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar.
Inilah hasil saat islam mengatur pengelolaan lahan/tanah, yang diperuntukkan untuk kesejahteraan atau kepentingan umat bukan untuk mensejahterakan pemilik modal. Saatnya kita Kembali kepada aturan Allah dalam mengatur kehidupan kita.