
Oleh. Sherly Agustina, M.Ag
Muslimahtimes.com–Negeri ini terus dirundung masalah, masalah ekonomi, utang negara yang terus menumpuk, pajak yang kian mencekik, harga-harga yang naik. Masalah perpolitikan yang ramai dengan korupsi. Masalah pendidikan yang belum merata, fasilitas kurang, SDM kurang, mirisnya gaji honorer, MBG dengan segala kontroversinya serta lainnya. Negeri ini juga mengalami masalah pergaulan yang luar biasa parah, free sex, aborsi, kumpul kebo (kohabitasi) menjadi hal biasa.
Terbaru, viral kohabitasi yang dilakukan oleh sepasang kekasih di Surabaya. Namun sayang, kohabitasi tersebut berujung mutilasi kekasihnya. Kini, berita tersebut viral di sosial media. Karena kesal dan kewalahan dengan tuntutan dan gaya hidup kekasihnya, Alvi Maulana (24) tega menghabisi nyawa kekasihnya TAS (25) lalu memutilasi tubuh korban hingga ratusan potong. Potongan tubuh korban, sebagian dibuang di Mojokerto, dan sebagiannya disimpan di balik laci lemari di kamar kosnya, serta dikubur di depan kosnya di Surabaya, Jawa Timur.
Pelaku menusuk leher kanan pacarnya dengan pisau dapur dengan satu kali tusukan fatal hingga mengakibatkan korban tewas kehabisan darah. Peristiwa pembunuhan sadis ini terjadi pada Minggu (31/8) sekitar pukul 02.00 WIB di kos pelaku dan korban. Alvi dan TAS telah menjalin asmara selama 5 tahun dan tinggal bersama di sebuah rumah kos di Jalan Raya Lidah Wetan, Kelurahan Lidah Wetan, Lakarsantri, Surabaya. (detikNews.com, 8-9-2025
Fenomena Kohabitasi
Menelisik fenomena kohabitasi di negeri ini, dalam sebuah studi berjudul The Untold Story of Cohabitation (2021) menjelaskan bahwa di Indonesia kohabitasi lebih sering ditemukan di kawasan Timur yang mayoritas penduduknya nonmuslim. Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yulinda Nurul Aini, mengulas secara mendalam fenomena ini melalui risetnya di Manado, Sulawesi Utara.
Yulinda menjelaskan, ada tiga alasan utama pasangan di Manado memilih untuk tinggal bersama tanpa menikah, di antaranya beban finansial, rumitnya proses perceraian, dan penerimaan sosial di lingkungan sekitar. Hasil analisisnya terhadap data dari Pendataan Keluarga 2021 (PK21) milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 0,6 persen penduduk kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan kohabitasi. Menurutnya, dari kelompok tersebut, 1,9% di antaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3% berusia di bawah 30 tahun, 83,7% berpendidikan maksimal SMA, 11,6% tidak bekerja, dan 53,5% lainnya bekerja di sektor informal. (Cnbcindonesia.com, 3-7-2025)
Namun ternyata, kohabitasi juga terjadi pada muslim di daerah selain kawasan timur yaitu Surabaya. Kehidupan generasi saat ini sangat rusak, pola pikir yang rendah tidak berfikir panjang, pemahaman agama yang kurang hingga terjerat bahkan terbawa arus liberalisme membuat mereka menganggap biasa kemaksiatan. Kebebasan (liberalisme) berperilaku dalam pergaulan membuat kohabitasi sebagai sesuatu yang dianggap lumrah. Dengan dalih belum siap menikah, rumitnya menikah dan perceraian, serta alasan lainnya membolehkan mereka melakukan ‘kumpul kebo’ (kohabitasi). Betapa hancur dan rusaknya generasi, karena ide kebebasan yang merajalela dijamin oleh negara.
Selain menganut dan menjamin kebebasan, negara ini menerapkan sistem sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan umum dan negara. Dampaknya, banyak muslim yang mengabaikan agama dalam perilakunya, sehingga tidak mempertimbangkan halal dan haram melainkan memberi kebebasan pada syahwat dan hawa nafsu. Sesat fikir ini yang melanda generasi muslim, seolah apabila syahwat dan nafsu tidak segera dipenuhi akan mengakibatkan pada kesengsaraan. Padahal, kenyataannya ketika mereka terjebak pada ide kebebasan (liberalisme) membuat mereka sengsara.
Fakta yang terjadi pada Tiara di atas menjadi bukti bahwa ketika manusia tidak menjadikan agama sebagai pondasi dalam kehidupan semakin membuat sengsara. Manusia mana yang ingin dibunuh kekasihnya? Manusia mana yang ingin jasadnya dimutilasi hingga ratusan potong? Bahkan Tiara dipotong hingga 554 potong (detikNews.com). Orang tua mana yang rela anak perempuannya diperlakukan demikian tidak manusiawi? Hal tersebut tentu bisa dicegah jika generasi muslim berpegang teguh pada agamanya yang menjaga jiwa, raga, dan harga dirinya.
Beginilah konsekwensi hidup dalam sistem serba bebas, sekularimse-liberalisme. Nyawa manusia seakan tak ada harganya, bahkan manusia seolah tak memiliki harga diri. Laki-laki dan perempuan tak mendapatkan kehormatan yang semestinya. Sama-sama tidak dimuliakan, laki-laki dianggap pemuas gaya hidup perempuan. Perempuan dianggap pemuas seksual laki-laki an sich. Sebatas itu saja, tanpa ada ikatan halal yang sah yang seharusnya mereka lakukan sehingga aktivitas yang ada di antara keduanya menjadi ibadah menuju sakinah.
Pandangan Islam
Islam telah memuliakan laki-laki dan perempuan dengan syariat menjaga pandangan dan pernikahan. Bagi yang belum siap menikah bisa mengalihkannya dengan berpuasa. Karena naluri jinsiyah (seksual) jika tidak dipenuhi dengan segera tidak mengantarkan pada kematian, hanya kegelisahan. Kegelisahan ini bisa dialihkan pada naluri tadayun (beragama), sehingga fokusnya pada taqarub ila Allah. Syariat ada untuk memuliakan manusia dan menjaga agar nafsu syahwat tidak mudah tergelincir pada kemaksiatan yang berakibat pada kerusakan dan kehancuran.
Terkait pergaulan, Allah sudah tegas mengatakan dalam Al-Qur’an di dalam surah Al Isra ayat 32, “Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk”.
Larangan mendekati zina sebuah pencegahan agar manusia tidak mudah tergelincir pada kemaksiatan. Syariat ini untuk menjaga kemuliaan dan kehormatan laki-laki dan perempuan. Apabila syariat ini dilanggar, maka kemaksiatan merajalela yang akhirnya kerusakan akan terjadi seperti saat ini. Selain itu, dalam Islam ada sistem sanksi yang membuat efek jera bagi pelaku. Sanksi bagi pelaku zina yang sudah menikah (muhsan), akan dirajam yaitu dilempari batu sampai benar-benar mati. Adapun sanksi bagi pelaku yang belum menikah (ghoiru muhsan), jumhur ulama menjelaskan hukumannya adalah dicambuk 100 kali seperti yang disebutkan dalam surah An-Nuur ayat 2 ditambah lagi dengan diasingkan dari negerinya selama setahun.
Apabila syariat Allah diterapkan oleh negara, siapa pun tidak mau ambil risiko diberikan sanksi seperti yang telah disebutkan. Pelaku akan berfikir ulang untuk melakukannya, ditambah suasana yang ada dalam Islam yaitu suasana islami yang terus mengingat (ketaatan) dan mendekatkan diri kepada Allah. Celah-celah yang bisa mengantarkan manusia pada kemaksiatan diupayakan ditutup oleh negara, sehingga hati dan fikiran, serta jiwa dan raganya terjaga dengan baik. Kebutuhan primer dan kolektif terpenuhi, celah kemaksiatan ditutup, syariat pergaulan dan sanksi diterapkan, media diatur hanya untuk sarana ibadah dan dakwah sehingga tidak ada peluang pornografi merasuki umat Islam.
Selain itu dalam Islam, negara berperan aktif membentuk rakyatnya agar berkepribadian Islam melalui sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Dalam Islam memiliki 3 pilar utama yaitu ketakwaan individu sebagai benteng awal bagi seseorang agar berperilaku sesuai tujuan penciptaan yaitu menghamba hanya pada-Nya dan patuh pada syariat-Nya. Maka, seseorang akan menjauhi hal-hal yang diharamkan oleh Islam seperti pacaran dan membunuh.
Berbeda dengan sistem saat ini, nafsu syahwat diumbar dengan bebas, pacaran yang mengantarkan pada zina dianggap kebebasan dan HAM, media menjadi sarana masuknya konten negatif termasuk pornografi yang merusak akal dan jiwa umat Islam. Ide kebebasan yang diagungkan nyatanya hanya membuat kerusakan dan kehancuran, sudah seharusnya dibuang jauh-jauh dan umat Islam segera kembali pada syariat Allah yang menjaga kehormatan dan memuliakan manusia. Karena hanya Allah sebagai Pencipta dan Pengatur yang lebih tahu apa yang terbaik untuk ciptaan-Nya.
Islam mengatur juga sanksi pidana untuk pelaku pembunuhan, misalnya pembunuhan sengaja adalah salah satu dari 3 (tiga) jenis sanksi pidana syariah, bergantung pada pilihan yang diambil oleh keluarga korban (waliyyul maqtûl), yaitu pertama, hukuman mati (qishâsh); atau kedua, membayar diyat (tebusan/uang darah); atau ketiga, memaafkan (al’afwu). (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhâm Al-‘Uqûbât, hlm. 91 & 109). (MuslimahNews.com). Sanksi-sanksi tersebut didasarkan pada firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 178.
Lalu, ada kontrol masyarakat terhadap pergaulan bebas, aktif mengingatkan dan mencegah kemungkaran (aktivitas amar makruf nahi mungkar). Negara memiliki peran strategis menerapkan syariat secara kafah, baik itu sistem pendidikan, sistem pergaulan, dan sistem sanksi. Kesempurnaan aturan ini hanya ada pada Islam, tidak ada pada yang lain. Islam jelas sangat memanusiakan manusia, menjaga kehormatan manusia. Melihat kesempurnaan ini, masihkah kita ragu mewujudkan kembali Islam diterapkan di muka bumi? Allahua’lam Bishawab