Oleh. Selvi Handayani
Muslimahtimes.com–Pernyataan mengejutkan datang dari Menteri Pertahanan sekaligus presiden terpilih, Prabowo Subianto, dalam pidato penyerahan aset Barang Rampasan Negara (BRN) dari enam smelter ilegal kepada PT Timah Tbk. Ia menyebutkan bahwa akibat aktivitas pertambangan ilegal, negara menanggung kerugian fantastis mencapai Rp300 triliun. Angka ini menggambarkan betapa parahnya tata kelola sektor pertambangan di Indonesia, sektor yang seharusnya menjadi sumber kesejahteraan rakyat justru berubah menjadi ladang kerugian dan kerusakan.
Fakta Tambang Bermasalah
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, jumlah tambang bermasalah dan ilegal mencapai ribuan titik di berbagai daerah. Tambang-tambang ini beroperasi tanpa izin resmi, tidak membayar pajak dan royalti, serta sering meninggalkan kerusakan lingkungan yang masif. Pemerintah memang berupaya melakukan penertiban, namun lemahnya pengawasan dan tumpang tindih regulasi membuat pelaku tambang ilegal terus bermunculan.
Di sisi lain, pemerintah melalui kebijakan terbaru justru membuka peluang pengelolaan tambang dan sumur minyak bagi koperasi dan UMKM. Dalihnya, untuk mendorong pemerataan ekonomi daerah dan menciptakan lapangan kerja. Namun, kebijakan ini menimbulkan tanda tanya besar: apakah entitas kecil seperti koperasi dan UMKM memiliki kapasitas teknis dan finansial untuk mengelola sumber daya alam sebesar itu?
Salah Kelola dan Akar Sistemis
1. Pembiaran yang Sistemis
Selama bertahun-tahun, tambang-tambang bermasalah dibiarkan beroperasi. Pengawasan lemah, aparat kerap terlibat, dan penegakan hukum tebang pilih. Alhasil, kejahatan lingkungan dan kerugian negara menumpuk. Kasus PT Timah hanyalah puncak gunung es dari sistem tambang yang rusak secara struktural.
2. Swastanisasi: Perampasan Kepemilikan Umum
Dalam perspektif Islam, tambang dan sumber daya alam yang strategis adalah milik umum (milkiyyah ‘ammah). Rasulullah ﷺ bersabda:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.”
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Tambang termasuk dalam kategori “api”, yaitu sumber energi dan kekayaan alam besar yang tidak boleh dimonopoli oleh individu maupun swasta. Ketika negara menyerahkan pengelolaan tambang kepada swasta atau kelompok tertentu, sesungguhnya terjadi perampasan hak publik. Kekayaan yang semestinya dikelola untuk kemaslahatan umat justru dikuasai segelintir pihak yang mencari keuntungan pribadi.
3. Koperasi dan UMKM: Potensi Masalah Baru
Meski terdengar prorakyat, kebijakan penyerahan tambang kepada koperasi dan UMKM justru membuka risiko baru. Mayoritas koperasi dan UMKM tidak memiliki teknologi, modal, dan sumber daya manusia untuk mengelola tambang dengan aman dan berkelanjutan. Akibatnya, mereka akan menggandeng pihak ketiga, tentu saja perusahaan besar yang memiliki modal. Ini berarti pengelolaan tambang tetap jatuh ke tangan swasta dengan baju baru.
Selain itu, standar keselamatan kerja, pengelolaan limbah, dan reklamasi pasca tambang sering diabaikan. Maka, kerusakan lingkungan berpotensi makin parah dan sementara penanggungjawabnya kabur.
4. Akar Masalah: Sistem Kapitalisme Sekuler
Salah kelola tambang sejatinya berakar pada sistem ekonomi kapitalisme sekuler, di mana negara hanya berperan sebagai regulator, bukan pengelola. Sumber daya alam diperlakukan sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan, bukan amanah untuk kesejahteraan rakyat. Dalam sistem ini, keuntungan menjadi ukuran utama, sementara kemaslahatan publik dan keberlanjutan lingkungan dikesampingkan.
Tambang dalam Pandangan Islam
1. Status Kepemilikan Tambang
Dalam Islam, tambang diklasifikasikan berdasarkan kapasitasnya:
Tambang besar seperti emas, minyak, gas, nikel, dan timah termasuk milik umum. Tidak boleh dimiliki pribadi, swasta, atau korporasi. Tambang kecil yang hasilnya terbatas boleh dimiliki individu, tetapi tetap dalam pengawasan negara. Negara bertanggung jawab mengelola tambang besar dan hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
2. Larangan Swastanisasi: Dalil dan Argumentasi
Dalil Rasulullah ﷺ tentang kepemilikan umum menegaskan bahwa sumber daya vital tidak boleh diswastakan. Imam Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwal menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dibutuhkan orang banyak dan tidak bisa dikuasai tanpa menzalimi orang lain termasuk milik umum. Maka, penyerahan pengelolaan tambang kepada swasta atau koperasi tanpa kemampuan dan pengawasan negara berarti melanggar ketentuan syariat.
Hakikat Pengelolaan Tambang: untuk Kesejahteraan Rakyat
Dalam sistem Islam, tambang bukan alat mencari keuntungan bagi kelompok tertentu, tetapi sarana mendistribusikan kesejahteraan secara adil. Pendapatan dari tambang masuk ke Baitulmal, bukan ke kas perusahaan. Dari sana, negara menyalurkan untuk kebutuhan publik: jaminan sosial, pendidikan gratis, layanan kesehatan, dan pembangunan wilayah. Dengan demikian, tambang menjadi motor kesejahteraan, bukan sumber korupsi atau konflik kepentingan.
Sistem Politik dan Ekonomi Islam: Jaminan Tata Kelola Sesuai Syariat
Sistem politik Islam menjadikan negara sebagai pengurus (rā‘in) dan penanggung jawab (mas’ūl) rakyatnya. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam kerangka ini, negara tidak boleh lepas tangan dalam urusan tambang. Negara wajib memastikan eksplorasi, produksi, dan distribusi sumber daya alam berjalan sesuai hukum syariat, serta menjamin kelestarian lingkungan.
Berbeda dengan sistem kapitalis, di mana negara hanya sebagai fasilitator bisnis, sistem Islam menempatkan negara sebagai pengelola langsung. Dengan ini, sumber daya alam menjadi alat pemerataan, bukan alat akumulasi kekayaan.
Negara Bertanggung Jawab Penuh
Islam menetapkan prinsip pengelolaan tanggung jawab negara atas sumber daya alam. Tambang besar harus dikelola oleh negara karena dampaknya luas dan membutuhkan teknologi tinggi. Tambang kecil boleh dikelola individu atau komunitas, namun tetap dalam pengawasan dan tanggung jawab negara.
Negara juga wajib memastikan bahwa aktivitas pertambangan tidak merusak lingkungan. Jika terjadi kerusakan, negara harus bertanggung jawab melakukan pemulihan dan mencegah pengulangan. Kerugian negara hingga Rp300 triliun akibat tambang ilegal adalah alarm keras atas kegagalan sistem pengelolaan tambang di bawah paradigma kapitalisme sekuler. Alih-alih membawa kesejahteraan, tambang menjadi sumber bencana ekonomi dan ekologis. Swastanisasi dan penyerahan tambang kepada pihak yang tidak kompeten hanya memperburuk keadaan.
Islam menawarkan solusi menyeluruh melalui sistem kepemilikan, tata kelola, dan tanggung jawab negara yang jelas. Tambang besar wajib dikelola negara untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan dikuasai korporasi atau kelompok tertentu. Dengan penerapan syariat Islam secara kaffah, kekayaan alam akan benar-benar menjadi berkah, bukan musibah.
