Oleh. Sri Rahayu
Muslimahtimes.com–Bak air tenang menghanyutkan. Selama ini korban bullying identik dengan pihak yang lemah dan tak berdaya. Namun tidak demikian dengan salah seorang siswa SMAN 72 Jakarta yang diduga jadi korban bullying. Pada Jumat 7 November 2025 pelaku meledakkan bom rakitan usai khutbah sholat jumat di masjid sekolahnya (cnnindonesia.com, 8/11/2025). Dari penyelidikan, pelaku merakit sendiri bom yang dipelajari dari internet. Sepekan sebelumnya, seorang santri sengaja membakar asrama putra Pesantren Baabul Maghfirah di Aceh Besar. Pasalnya, santri tersebut mengalami tekanan mental, sakit hati lantaran sering dibully teman-temannya. (mkumparan.com, 7/11/2025)
Melansir goodstats.id, beberapa tahun terakhir angka kasus bullying di sekolah mengalami lonjakan tajam. Seperti di tahun 2023 ada 285 kasus, melonjak lebih dari 100% dan menjadi angka tertinggi di 2024 dengan 573 kasus. Masih dari laman yang sama, selama 2024, KPAI menerima 2.057 pengaduan masalah perlindungan anak termasuk bullying dan hanya 954 yang telah ditindaklanjuti. Sebaran wilayah kejadian pun meluas. Di tahun 2023 saja, tercatat 12 provinsi termasuk 24 kota/kabupaten didapati kejadian bullying. (detik.com, 31/12/2023). Lonjakan dan sebaran wilayah kejadian menunjukkan bahwa bullying telah menjadi masalah sistemik dalam dunia pendidikan saat ini.
Masalah ini diperparah oleh media sosial. Derasnya arus informasi tanpa filter menjadikan media sosial dipenuhi dengan berbagai tayangan. Baik itu yang positif atau negatif, edukatif, semata hiburan, bahkan nirmutu, begitu mudahnya diakses oleh siapapun, dimanapun. Termasuk beragam aksi bullying yang meramaikan jagat media sosial. Tak jarang para pelaku sendiri yang memosting aksi jahat mereka. Memungkinkan pelaku lainnya meniru dan melakukan aksi yang sama. Saat itu, benarlah jika tontonan menjadi tuntunan. Bullying menjadi hal mudah untuk dilakukan. Tanpa melihat apakah bullying adalah sebuah kejahatan yang berimplikasi hukum bagi pelakunya. Tidak juga memikirkan dampak buruk bagi korbannya. Hal ini menjadi bukti bagaimana kondisi generasi yang makin jauh dari adab. Juga terlihat bagaimana fungsi pendidikan yang diantaranya untuk membentuk karakter pelajar yang berakhalak mulia dan bertanggung jawab terhadap dirinya dan masyarakat, perlahan mulai lenyap.
Dampak buruk bagi korban bullying, selain fisik, juga psikologis. Dampak psikologis yang dialami oleh korban bullying jika tidak segera ditangani, akan berpotensi menimbulkan bahaya lanjutan. Salah satunya adalah menjadikan korban sebagai pelaku bullying. Selain itu, korban bisa saja melakukan perbuatan berbahaya, yang merusak dan mengancam nyawa orang lain. Hal ini sebagai bentuk mekanisme pertahanan diri agar tidak dibully lagi, juga sebagai pelampiasan rasa dendam dan amarah. Sekali lagi, media sosial punya peranan sebagai rujukan bagi korban bullying dalam pelampiasan ini.
Tidaklah mengherankan kondisi tersebut terjadi. Karena semuanya berkelindan dengan negara yang menerapkan sistem hidup kapitalisme yang melahirkan sistem pendidikan bercorak sekuler kapitalistik. Negara menjadikan pendidikan fokus pada materi. Pendidikan dipandang sebagai pencetak tenaga berkompeten dan siap pakai untuk memenuhi kebutuhan pasar dan meningkatkan perekonomian negara. Mengabaikan fungsinya sebagai pembentuk karakter mulia. Alih-alih terbentuk kepribadian Islam yang kuat, yang ada adalah generasi lemah, yang tidak memahami hakikat diri dan kehidupannya, sehingga mudah terjerumus dalam kesalahan.
Berbeda dengan Islam. Sistem pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam. Dimana pola pikir dan pola sikap akan dibentuk berdasarkan aqidah Islam. Ketika pola pikir dan pola sikap yang Islami ada pada diri generasi, maka akan muncul generasi bertakwa, cerdas, yang menyandarkan semua perbuatannya pada syariat Allah Swt.. termasuk bagaimana adab terhadap orang lain.
Hal ini adalah niscaya, karena kurikulum pendidikan yang diterapkan oleh negara, menitikberatkan pada adab yang bersumber pada akidah Islam. Negara juga akan memastikan bahwa konsep pendidikan ini juga diterapkan dalam keluarga dan masyarakat. Negara juga menjadi garda terdepan dalam melindungi warganya, termasuk generasi, dari tontonan dan tayangan media yang menjauhkan mereka dari ketaatan pada Allah Swt.. Karenanya, bullying dan efek lanjutannya, akan dapat diminimalisasi, bahkan dihilangkan. Yang ada adalah suasana pendidikan dan yang mendukung lahirnya generasi salih dan bertakwa, yang saling peduli dan menyayangi. Generasi yang memahami dirinya adalah generasi penerus, generasi harapan dalam mewujudkan peradaban Islam.
Wallahu a’lam
