Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
Muslimahtimes.com–Era digitalisasi menjadikan kehidupan manusia mengalami perubahan yang sangat cepat. Manusia dihadapkan pada berbagai bentuk kemajuan teknologi yang pada akhirnya menuntut untuk kita beradaptasi. Di satu sisi, digitalisasi yang kian massif ini memberi dampak positif karena menjadikan urusan kita menjadi lebih mudah dan cepat. Namun, di sisi lain era digital hari ini melahirkan distrupsi informasi yang bisa saja menyeret kita kepada kesalahan berpikir terkait sesuatu hal. Sebagaimana kita tahu bahwa digitalisasi membawa arus informasi dari segala arah nyaris tanpa filter. Akhirnya benar dan salah berbaur menjadi satu.
Kaum ibu dan generasi muda seringkali terbawa arus distruspi informasi tersebut. Apalagi gen Z yang hidup dan dibesarkan di tengah berkembangnya digitalisasi, mereka sangat rentan dengan informasi yang menyesatkan di media sosial. Ya, gen Z sangat lekat dengan kehidupan berbasis digital, media sosial pun akrab dengan keseharian mereka. Adapun di dalamnya berbagai informasi tersaji tanpa henti, bahkan tanpa sadar akan memengaruhi pemikiran mereka tentang sesuatu. Mirisnya, informasi yang mendominasi adalah informasi yang dikendalikan oleh algoritma, yakni sistem komputasi data berdasarkan interaksi dan perilaku pengguna di media sosial.
Sistem Sekuler Membentuk Perilaku Liberal
Kehidupan hari ini adalah kehidupan yang jauh dari aturan agama (baca:Islam). Sekularisme menjadi napas dalam setiap sendi-sendi kehidupan manusia. Agama dianggap sebagai sesuatu yang sakral, sehingga hanya layak diletakkan di ruang privat individu. Selebihnya dalam urusan bermasyarakat bahkan bernegara, agama dilarang ikut mengatur. Inilah karakteristik sekularisme yang sangat tampak dalam perilaku mayoritas msayarakat hari ini, termasuk generasi muda dan kaum ibu. Disadari atau tidak, akidah sekularisme telah menjadikan mereka mengadopsi pemikiran liberal ala Barat. Suka-suka saya, yang penting tidak mengganggu orang lain. Demikianlah konsep berperilaku ala masyarakat sekuler. Terlebih gen Z yang sangat lekat dengan pemikiran egaliter, tidak mau dikekang dan diatur. Pemikiran ini secara simultan dibentuk oleh sistem yang ada. Pada akhirnya, hal tersebut pun memengaruhi perilaku mereka di media sosial.
Berbagai konten diproduksi di media sosial tanpa memandang batasan halal haram menurut aturan agama. Yang penting ramai penonton dan menghasilkan cuan. Kampanye LGBT, seks bebas, islamofobia, dan lain-lain pun massif dilakukan lewat media sosial. Akhirnya algoritma bekerja, tanpa disadari pengguna media sosial yang tadinya awam dari pemikiran-pemikiran tersebut mulai terinfeksi perlahan-lahan. Bahayanya, mereka yang tadinya menjadi konsumen konten yang ada, beralih menjadi agen yang turut menyebarluaskan pemikiran-pemikiran menyesatkan tadi.
Padahal hakikatnya, pemikiran-pemikiran tersebut merupakan produk ideologi kapitalisme sekuler. Media sosial memang sengaja dijadikan penjaga bagi langgengnya ideologi kapitalisme global. Ini sungguh berbahaya!
Generasi Muda dan Kaum Ibu Objek Pelemahan Sistem
Generai muda dengan segala potensi yang melekat padanya sengaja dilemahkan oleh sistem yang ada dengan berbagai bentuk labeling yang disematkan, mulai dari label “generasi strawberry”, “generasi sandwich”, hingga “generasi labil”. Padahal justru mereka menjadi generasi seperti yang dilabelkan tersebut karena bentukan sistem kapitalisme sekuler, bukan karakter alamiah mereka. Narasi sesat dan menyesatkan seolah meng-amin-kan bahwa generasi muda memang seperti yang dilabelkan tersebut. Tak hanya itu, generasi muda menjadi objek bisnis para kapitalis. Demi cuan, mereka membentuk generasi muda berjiwa konsumtif demi melancarkan penjualan produk-produk mereka.
Begitu pun kaum ibu, dilemahkan oleh sistem kapitalisme dengan impitan ekonomi, sehingga menyeret mereka meninggalkan kewajiban utamanya sebagai ummun wa robbal al-bayt, yakni ibu dan manager di dalam rumahnya. Sebaliknya, para ibu diseret ke dunia kerja atas nama menyelamatkan perekonomian keluarga dan pemberdayaan perempuan. Akhirnya, mereka bergulat dengan kaum lelaki di ranah publik. Anak-anak kehilangan sosok ibu sebagai madrasatul ula atau sekolah pertama di rumahnya. Inilah sistem kapitalisme sekuler bekerja melemahkan sosok-sosok penting yang sejatinya mampu berperan untuk mengubah peradaban.
Jemaah Dakwah Menyelamatkan Ibu dan Generasi
Keberadaan jemaah dakwah merupakan sesuatu yang wajib, sebagaimana firman Allah Swt dalam surah Al-Imran: 104.
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ ١٠٤
“Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Jemaah dakwah ini pun berperan untuk membina umat, khususnya kaum ibu dan generasi muda agar mampu menjalankan perannya sebagai pelopor perubahan. Sebagaimana dahulu, Rasulullah saw membentuk kutlah (kelompok) dakwah yang melakukan pembinaan rutin kepada para sahabat dan shahabiyyah. Mereka dikuatkan akidahnya sehingga menjadi sosok muslim yang berpekribadian Islam. Kekokohan akidah mampu menjadikan mereka memiliki benteng yang kokoh dari gempuran sistem jahiliah pada saat ini. Pembinaan yang dilakukan Rasul pun mampu menjadikan mereka sosok yang tangguh dalam mengemban dakwah Islam ke tengah masyarakat.
Inilah urgensi adanya sebuah jemaah dakwah di tengah umat. Oleh karena itu, merupakan sebuah kewajiban bagi kita untuk bergabung di dalam jemaah tersebut demi lahirnya kaum ibu dan generasi yang kuat akidahnya dan tangguh menahan godaan sistem kufur neo-jahiliyah hari ini. Hanya dengan pembinaan intensif oleh jemaah dakwah ideologis, akan lahir generasi pelopor perubahan sebagaimana Muhammad Al-Fatih yang menakhlukkan Konstantinopel dan Shalahuddin Al-Ayyubi yang menakhlukkan Baitulmaqdis. Masih ada Kota Roma yang menunggu ditaklukkan? Mari kita wujudkan generasi penakhluk itu!
