Oleh: Fitria Arpani
(Mahasiswa FKIP Pendidikan Matematika Universitas Batanghari &Anggota Komunitas Mahasiswa Jambi Menulis)
#MuslimahTimes — Bak drama di abad 21, putus cinta sudah menjadi bagian dari episode kehidupan remaja saat ini. Tapi malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Putus cinta seolah menjadi masalah tanpa solusi kecuali bunuh diri. Kurang lebih 1 Minggu lalu sebagaimana di lansir dari jambione.com, warga RT 14, Karyamaju, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi dihebohkan dengan penemuan mayat yang diduga Mahasiswi Universitas Batanghari (Unbari) berinisial Mumut.
Mahasiswi cantik Universitas Batanghari (Unbari) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Bahasa Indonesia ini tega mengakhiri hidupnya Rabu (26/9/2018), diduga hanya gara-gara putus cinta. Korban ditemukan tewas mengenaskan dengan cara gantung diri menggunakan tali jemuran tipis yang diikatkan di ventilasi pintu kamar kostnya (kaskus.co.id).
Seolah tak ada kehidupan setelah kematian. Bunuh diri menjadi pelarian. Padahal bunuh diri bukanlah mengakhiri kehidupan, tapi justru kehidupan akhiratlah masa keabadian. Miris sekali nasib mu wahai remaja masa kini, kehilangan identitas diri, gagal memaknai kehidupan dan tujuan setelahnya. Hal ini wajar terjadi ketika Allah tak lagi menjadi alasan dalam melakukan suatu perbuatan, dan islam tak pernah dijadikan aturan dalam menjalani kehidupan. Sebab sebuah perbuatan tentu saja dipengaruhi oleh pemahaman, termasuk melakukan bunuh diri karena putus cinta di jalan pacaran.
Masih dari kaskus.co.id berdasarkan informasi yang didapat dari seorang rekannya, Nur Azlin (20), Selasa 25 September 2018 sekira pukul 19.30 WIB korban pernah mengatakan keinginannya untuk bunuh diri via Whats App. Sebab dia baru putus cinta dari pacarnya, padahal korban sedang berbadan dua (baca: hamil).
Nau’dzubillahi mindzaliik, di tengah budaya pacaran yang telah mendarah daging di dunia remaja. Pergaulan bebas sudah menjadi hal yang lumrah di dalam system sekuler liberal yang diterapkan saat ini. Dimana remaja hidup bebas semaunya dan jauh terpisah dari tuntunan agama, tahu akan segala hal yang dilarang dalam agama (Islam) salah satunya pacaran dan perzinahan tapi tak pernah menjadi pedoman, sehingga tetap saja melakukan, dan mirisnya bahkan tak sedikit remaja yang tak tahu dengan ajaran agamanya. Sehingga mereka (baca: remaja) pun bebas melakukan apa saja yang mereka anggap gaul dalam pandangan mereka walaupun itu tidak sesuai dengan ajaran agama dan bahkan bisa merusak masa depan mereka.
Berduaan, bermesraan di depan umum sudah bukan hal tabu. Bahkan gaya pacaran layaknya suami istri, sudah menjadi tontonan sehari-hari. Pacaran yang berujung (baca :benar) pada pelaminan tapi karena telah hamil duluan lalu terjadi perceraian dan penelantaran anak yang dilahirkan. Adapun pacaran yang tak berujung kepelaminan, tapi telah berujung pada kehamilan, hilangnya kehormatan dari sebab pemerkosaan, atau atas nama cinta yang rela menyerahkan segala-galanya. Hingga berakhir stragis sampai pada pembunuhan, kekerasan/ penganiayaan, pelecehan, aborsi dan bahkan kematian. Benar tidak semua permasalahan terjadi karena pacaran, akan tetapi hampir semua permasalahan khususnya yang menimpa remaja berawal dari pacaran.
Orangtua yang malas mendidik anak dan bahkan tak mengerti bagaimana mendidik anak, sehingga membiarkan serta menganggap wajar atas apa yang dilakukan oleh sang anak remaja meskipun salah dalam pandangan agama, hanya karena sudah menjadi hal biasa. Sikap masa bodoh dari masyarakat serta hilangnya peran Negara dalam menjaga aqidahumat, melindungi, dan mengawasi aktivitas social dan kehormatan manusia terlebih khususnya kalangan remaja. Ketiadaan sanksi tegas atas perzihanan juga semakin memperparah keadaan. Ini merupakan factor sistemik yang menyebabkan rusaknya generasi. Ditambah lagi derasnya arus liberalisme (pemahaman hidup bebas/serba boleh) yang menyebabkan remaja semakin jauh dari pemahaman Islam.
Sebagaimana kita ketahui bahwa masa remaja adalah masa pencarian jati diri. Maka sudah pasti setiap remaja yang tumbuh akan melakukan apa saja yang ia inginkan yang bisa membuat mereka merasakan bahwa itu adalah dirinya. Atau dalam bahasa mereka (baca :remaja) “itu gak gue banget, ini baru gue banget” dan lain-lain. Nah dari sini jelas bahwa mereka sejatinya memilih akan menjadi seperti apa mereka.
Maka penentuan jati diri ini sangat menentukan akan bagaimana nasib generasi. Jika penentuan dalam pencarian jati diri remaja ini di lakukan dengan benar maka akan baiklah diri generasi. Namun sebaliknya jika dalam pencarian jati diri remaja ini justru dilakukan dengan cara yang salah maka akan rusak lah generasi. Akan tetapi didalam penerapan system sekuler liberal yang memisahkan agama dari kehidupan dan bebas khususnya remaja justru akan membuat rusak dan semakin merusak generasi.
Islam mendidik generasi sejak dini, Nabi SAW mengajarkan, “Muruauladakum bi as-shalatiwa hum abna’ sab’in.” {Ajarkanlah kepada anak-anakmu shalat, ketika mereka berusia tujuh tahun}. Hadits ini sebenarnya tidak hanya menitahkan shalat, tetapi juga hukum syara’ yang lain. Mereka dibiasakan oleh orang tua-orang tua mereka untuk mengerjakan shalat, berpuasa, berzakat, infaq hingga berjihad. Sejak dini mereka telah disibukan dengan ketaatan sehingga mereka pun jauh dari kemaksiatan dan perbuatan-perbuatan yang melalaikan. Dengan bekal ilmu dan pembentukan mental yang sehat dan kuat, ditopang dengan pembentukan sikap dan nafsiyah yang mantap, kehidupan pemuda di era khilafah jauh dari hura-hura, dugem dan kehidupan hedonistik lainnya. Mereka tidak mengonsumsi miras, atau narkoba, baik sebagai dopping, pelarian atau sejenisnya. Karena ketika mereka mempunyai masalah, keyakinan mereka kepada Allah, qadha’ dan qadar, rizki, ajal, termasuk tawakal begitu luar biasa. Masalah apapun yang mereka hadapi bisa mereka pecahkan. Mereka pun jauh dari stres, apalagi menjamah miras dan narkoba atau bahkan sampai bunuh diriu ntuk melarikan diri dari masalah.
Kehidupan pria dan wanita pun dipisah. Tidak ada ikhtilath, khalwat, menarik perhatian lawan jenis [tabarruj], apalagi pacaran hingga perzinahan. Selain berbagai pintu kesana ditutup rapat, sanksi hukumnya pun tegas dan keras, sehingga membuat siapapun yang hendak melanggar akan berpikir ulang. Pendek kata, kehidupan sosial yang terjadi di tengah masyarakat benar-benar bersih. Kehormatan [izzah] pria dan wanita, serta kesucian hati [iffah] mereka pun terjaga. Semuanya itu, selain karena modal ilmu, ketakwaan, sikap dan nafsiyah mereka, juga sistem yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat oleh khilafah. Kehidupan masyarakat yang bersih juga bagian dari tatsqif jama’i yang membentuk karakter dan kepribadian generasi muda di zaman itu. Peran negara, masyarakat dan keluarga begitu luar biasa dalam membentuk karakter dan kepribadian mereka. Selain kesadaran individunya sendiri.
Semuanya ini memang membutuhkan Negara dengan sistemnya yang luar biasa. Sejarah keemasan seperti ini pun hanya pernah terjadi dalam sistem khilafah, bukan yang lain.
Wallahu’alambishowab.
=============================
Sumber Foto : Merdeka