Oleh Erwina Mei Astuti
(Komunitas revowriter Jombang)
Jombang kota santri. Dari sana lahirlah tokoh-tokoh negeri. Ada KH. Hasyim Asyhari, Cak Nun, Gus Dur, Gus Sholah dan tokoh-tokoh yang lain. Empat pondok pesantren besar ada di sini. Sayangnya kepala daerahnya terciduk KPK karena korupsi.
Nyono Suharli tak sendiri. Selain Bupati Jombang ini, beberapa kepala daerah juga tertangkap KPK, tiga diantaranya terjerat operasi tangkap tangan. Para kepala daerah itu adalah Bupati Nganjuk, Bupati Hulu Sungai Tengah, Gubernur Jambi, Bupati Ngada, dan Bupati Subang. Nominalnya mulai ratusan juta hingga miliaran. Tercatat 78 kepala daerah terlibat korupsi yaitu 12 gubernur dan 66 bupati/walikota. Terhitung sejak tahun 2004 atau sejak KPK berdiri. (republika 15/2/2018).
Ilusi Demokrasi
Banyaknya kepala daerah yang terjerat korupsi menunjukkan demokrasi jauh dari “bersih”. Sebaliknya pilkada dengan dalih demokrasi malah memicu meningkatnya angka korupsi. Bagaimana tidak, untuk dapat kursi yang dibidik, harus rela merogoh kantong cukup dalam. Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, calon bupati atau wali kota butuh dana Rp 20 hingga Rp 100 miliar untuk memenangi Pilkada. Contohnya, pada Pilkada DKI Jakarta 2012, pasangan Fauzi Bowo dan Nara mengeluarkan dana kampanye sebesar Rp 62,6 miliar. Sementara, pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Poernama mengeluarkan dana Rp 16,1 miliar. Angka itu naik siginifikan pada Pilkada DKI 2017. Pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menghabiskan dana kampanye sebesar Rp 85,4 miliar. Sedangkan pasangan Basuki Tjahaja Poernama dan Djarot Saiful Hidayat sebesar Rp 82,6 miliar.(kompas.com)
Karenanya pasti bukan orang kere yang duduk di kursi kepala daerah. Namun para pemilik modal. Bisa dengan mencalonkan diri langsung atau menyokong dana kontestan. Selanjutnya no free lunch. Para pemilik modal akan berusaha mengembalikan dana yang dikeluarkan saat pilkada plus dengan keuntungannya. Baik dengan merapat terus pada kepala daerah agar mendapat proyek yang menghasilkan atau membuat aturan/kebijakan yang menguntungkan pemilik modal.
Adapun kontestan yang disokong dan berhasil memenangkan pilkada akan berfikir keras untuk mengembalikan modal tersebut. Sulit jika hanya mengandalkan gaji yang didapat sekalipun dengan tunjangan. Disinilah terbuka celah terjadinya korupsi. Alih-alih membuat “bersih” dan demokratis, sebaliknya terkotori dengan korupsi. Inilah ilusi demokrasi. Bahkan walaupun di kota santri yang notabene kental sisi religi, tak luput dari tren korupsi. Hal ini menunjukkan kuatnya sekulerisme di tengah-tengah masyarakat sehingga dalam bermasyarakat dan pemilihan pemimpin daerah tak sedikitpun menoleh pada aturan agama.
Solusi Bebas Korupsi
Hadirnya KPK dianggap sebagai upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Sudah banyak yang ditangkap KPK, namun hukuman yang ada tak bikin jera. Bahkan tidak mengurangi pelaku korupsi. Justru tren korupsi naik. Pejabat terciduk juga bertambah. Sanksi diberlakukan tidak akan efektif bila celah dan kesempatan untuk melakukan korupsi masih terbuka lebar. Pilkada salah satunya. Inilah buah demokrasi. Maka selama masih menggunakan demokrasi dan sekuler maka korupsi akan tetap terjadi.
Berbeda bila sistem yang digunakan adalah sistem islam. Pemilihan kepala daerah tidak dengan pemilihan langsung yang menghabiskan biaya. Kepala daerah ditunjuk oleh khalifah. Tanpa kampanye. Tanpa usulan partai ataupun bayar mahar politik. Tentu tetap mengacu pada kriteria pemimpin yaitu laki-laki, Islam, baligh, berakal, merdeka, adil, dan mampu. Serta melaksanakan syariat Islam sesuai dengan yang dijalankan oleh negara secara keseluruhan. Diberikan santunan juga oleh negara. Bila tetap terjadi tindak korupsi maka hakimlah yang akan menjatuhkan hukuman yang setimpal.
Landasan keimanan yang kuat menjadikan yang terpilih sebagai pemimpin berhati-hati dalam menggunakan fasilitas negara. Demikianlah yang dicontohkan Umar bin Abdul Aziz saat menjadi khalifah. Dikisahkan suatu malam, Umar bin Abdul Aziz terlihat sibuk merampungkan sejumlah tugas di ruang kerja istananya. Tak dinyana, putranya masuk ruangan dan hendak membericarakan sesuatu.
”Untuk urusan apa putraku datang ke sini: urusan negarakah atau keluargakah?” tanya Umar.
”Urusan keluarga, ayahanda,” jawab si anak.
Tiba-tiba Umar mematikan lampu penerang di atas mejanya. Seketika suasana menjadi gelap. ”Kenapa ayah memadamkan lampu itu?” tanya putranya merasa heran.
”Putraku, lampu yang sedang ayah pakai bekerja ini milik negara. Minyak yang digunakan juga dibeli dengan uang negara. Sementara perkara yang akan kita bahas adalah urusan keluarga,” jelas Umar.
Umar kemudian meminta pembantunya mengambil lampu dari ruang dalam. “Nah, sekarang lampu yang kita nyalakan ini adalah milik keluarga kita. Minyaknya pun dibeli dengan uang kita sendiri. Silakan putraku, memulai pembicaraan dengan ayah.”
Demikianlah ratusan tahun silam telah dicontohkan oleh pemimpin kaum muslimin untuk tidak melakukan korupsi. Jadi, di kota santri atau bukan jika sistem Islam yang diterapkan, tak akan ada tindak korupsi. Saatnya kembali pada sistem Islam.
Wallahu’alam bisshowab.