Oleh: Utha Mariska, S.Pd.
(Pemerhati Sosial, tinggal di Tangerang)
Manusia normal mana yang tak mendamba sebuah pernikahan berbalut keromantisan. Setiap insan bernaluri pasti memiliki keinginan dan harapan akan pernikahan yang penuh kebahagiaan. Karena memang sejatinya, bahagia adalah salah satu yang ingin dicapai dari mahligai perkawinan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” [QS. Ar. Ruum (30):21].
Namun bagaimana, jika ternyata, pernikahan yang didamba justru menjadi awal “petaka”? Kenyataan jauh dari impian. Entah itu berupa visi-misi yang tak sesuai atau sekadar hobi dan kebiasaan yang menjengkelkan. Sang pasangan berubah menjadi pribadi paling menyebalkan. Sehingga tak jarang, perselisihan kerap menghampiri. Menambah daftar sisi negatif pasangan yang sulit untuk dinafikan.
Maka duhai insan beriman, ingatlah kembali akan janji suci di hadapan Ilahi Rabbi. Ketika ijab kabul diucap, seketika itu pulalah sejatinya kita telah mengukir mitsaqon ghaliza yang mampu mengguncang arsy-Nya.
Di sinilah peran aqidah diuji karena terkait dengan ketetapan-Nya bahwa pernikahan adalah ibadah seumur hidup yang proses belajarnya takkan pernah selesai hingga Allah menempatkan kita kelak di jannah, insyaaAllah.
Ada beberapa poin di bawah yang bisa dijadikan acuan referensi sebagai bahan kontemplasi:
1. Pernikahan bukan sekedar legalitas atas gharizah nau semata, tetapi komitmen seumur hidup. Jadikanlah selalu syukur dalam setiap fase kehidupan karena setiap manusia pasti punya ujiannya masing-masing. Allah Maha Tau kadar kesanggupan kita dan Allah selalu memberi yang terbaik bagi hamba meski itu mungkin tidak disukai.
” Padahal boleh jadi kalian membenci sesuatu, sementara ia amat baik bagi kalian; boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui. (QS al-Baqarah [02]: 216).
2. Pernikahan merupakan salah satu wasilah ketaatan dan sarana pembelajaran. Banyak hal berubah ketika seseorang memutuskan untuk menikah, pun banyak sekali pahala yang bisa diraih sekaligus life skill yang didapatkan. Karena sungguh, menikah adalah menyempurnakan separuh agama sekaligus ajang pembelajaran bagi kedua pasangan.
Diriwayatkan oleh Baihaqi dari Anas bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila seorang hamba menikah maka sungguh orang itu telah menyempurnakan setengah agama maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam setengah yang lainnya.” (Hadits ini dishahihkan oleh Al Banni didalam Shahihut Targhib wat Tarhib).
3. Bervisi akhirat. Menjadikan kampung akhirat sebagai pelabuhan terakhir mengharuskan kita untuk terus berusaha membaikkan/ mensholihkan diri dan pasangan. Agar samawa dapat kita rasakan di dunia dan akhirat dipasangkan kembali oleh Allah untuk menempati indahnya surga. Jika akhirat yang dituju, maka segala keletihan dan rasa susah perasaan disertai kesabaran akan dibalas pahala oleh Allah, yang hal itu adalah jembatan menuju jannah.
Wallahua’lam bis showab. []