Oleh: Intan Alawiyah
Tak terasa hanya tinggal beberapa hari lagi kita akan dihadapkan pada pergantian tahun dari tahun 2018 menuju tahun 2019 Masehi. Bukan rahasia umum lagi ketika pergantian tahun selalu ada perayaan meriah yang digelar. Sebagian orang di berbagai pelosok negeri berjaga di tengah malam untuk memuntahkan berbagai jenis kembang api ke langit dalam rangka menyambut tahun baru.
Mulai dari anak-anak, muda, tua, tidak mau ketinggalan memeriahkan pergantian tahun ini. Mereka menganggap bahwa pergantian tahun adalah moment yang wajib untuk dirayakan. Bahkan saking euforianya dalam menyambut pergantian tahun, mereka sudah mempersiapkan pelbagai agenda liburan dari jauh-jauh hari, agar dapat berkumpul bersama keluarga dalam merayakannya. Ada yang sudah booking villa dari jauh-jauh hari, sebagiannya mengisi dengan berkumpul bersama keluarga di kampung halaman, dan berbagai kegiatan lainnya yang mereka rancang untuk menyambutnya.
Tapi, sudahkah kita sebagai seorang muslim mengetahui sejarah pergantian tahun ini? Jangan sampai dikarenakan kemalasan kita dalam mencari tahu sejarah apa dibalik perayaan tahun baru, akibatnya kita malah terjerumus pada sikap tasyabbuh. Jadi, penting bagi kita menelusuri sejarah dari sebuah perayaan sebelum kita ikut memeriahkannya.
//Sejarah dibalik penetapan tahun Masehi//
Kalender Masehi terbentuk karena Dionisius Exogus mendapat tugas dari pemimpin Geraja untuk membuat perhitungan tahun dengan titik tolak tahun kelahiran Nabi Isa a.s (Yesus). Dan kemudian digunakan untuk menghitung tanggal paskah (computus) berdasarkan pada pendirian Roma.
Pada awalnya penghitungan hari orang Romawi terbagi dalam 10 bulan saja (kecuali Januari dan Februari). Dan penamaan nama-nama bulan Masehi diambil dari beberapa nama Dewa Romawi. Bulan Martius diambil dari nama Dewa Mars, bulan Maius mengambil nama Dewa Maia, bulan Junius mengambil nama Dewa Juno, dan nama-nama bulan Quintrilis, Sextrilis, September, Oktober, November dan Desember diambil berdasarkan angka urutan susunan bulan, Quintrilis berarti bulan kelima, Sextrilis bulan keenam, September bulan ketujuh, Oktober bulan kedelapan, November bulan kesembilan, dan Desember bulan kesepuluh. Sedangkan Aprilis diambil dari kata Aperiri, sebutan untuk cuaca yang nyaman di musim semi. Sehingga dengan melihat nama-nama tersebut dapat diketahui bahwa awal mulanya penanggalan Masehi jatuh pada bulan Maret (Martius).
Kemudian penanggalan yang terdiri atas 10 bulan tersebut berkembang menjadi 12 bulan. Sehingga ada tambahan 2 bulan, yakni Januarius dan Februarius. Januarius adalah nama Dewa Janus. Dewa ini memiliki dua wajah, satu menghadap ke muka dan satunya lagi menghadap ke belakang, hingga bisa dapat memandang masa lalu dan masa depan. Karenanya Januarius ditetapkan sebagai bulan pertama. Februarius diambil dari upacara “februa” yaitu upacara semacam bersih kampung atau ruwatan untuk menyambut kedatangan musim semi. Maka Februarius ditentukanlah sebagai bulan kedua, sebelum musim semi datang pada bulan Maret.
Dengan penambahan 2 bulan ini. Maka bulan-bulan terdahulu letaknya di dalam penanggalan baru menjadi digeser, dan susunannya menjadi: Januarius, Februarius, Martius, Aprilis, Maius, Junius, Quinttilis, Sextrilis, September, Oktober, November, dan Desember.
Hingga pada akhirnya bulan kelima yakni Quantrilis diubah namanya menjadi Juli. Hal ini terjadi ketika Julius Caesar berkuasa, ia menerima anjuran para ahli perbintangan Mesir untuk memperpanjang tahun 46 SM menjadi 445 hari dengan menambah 23 hari pada bulan Februari dan menambah 67 hari antara bulan November dan Desember.
Setelah kembali ke Roma. Julius Caesar mengeluarkan maklumat penting dan berpengaruh luas hingga kini yakni penggunaan sistem matahari dalam sistem penanggalan seperti yang dipelajarinya dari Mesir.
Keputusannya saat itu beralasan pada dua hal. Pertama, setahun berumur 365 hari karena berlandaskan bahwa bumi mengelilingi matahari selama 365,25 hari. Kedua, setiap 4 tahun sekali, umur tahun tidak 365 hari tapi 336 hari yang disebut tahun kabisat. Tahun kabisat ini sebagai penampungan kelebihan 6 jam setiap tahun yang dalam 4 tahun menjadi 4×6= 24jam atau 1 hari.
Untuk menghargai jasa Julius Caesar dalam melakukan penyempurnaan penanggalan itu, maka penanggalan tersebut disebut penanggalan Julian. Pada akhirnya, bulan kelima yang semulanya Quintrilis diubah menjadi Julio, yang kita kenal sebagai bulan Juli.
Inilah sejarah penetapan kalender Masehi yang mengacu pada perputaran matahari dan dimulai dari perhitungannya dari tahun kelahiran Nabi Isa a.s. selanjutnya nama-nama bulan diambil dari berbagai nama Dewa.
Lantas pertanyaan berikutnya adakah hubungan perayaan tahun baru dengan hari raya suatu kaum?
Dalam buku The World Book Encyclopedia- hal: 237. “Sejarah tahun baru merupakan pesta warisan dari masa lalu yang dahulu dirayakan oleh orang-orang Romawi. Orang Romawi mempersembahkan hari 1 Januari kepada Janus, dewa segala gerbang pintu-pintu dan permulaan (waktu). Bulan Januari diambil dari nama Janus sendiri, yaitu dewa yang memiliki dua wajah. Satu wajah menghadap ke (masa) depan dan satu wajahnya lagi menghadap ke (masa) lalu. Sehingga diartikan sebagai moment pergantian tahun.”
Jadi jelaslah bahwa perayaan tahun baru bukanlah berasal dari Islam. Tetapi, tahun baru (pergantian tahun) adalah hari raya orang Romawi dalam rangka mengagungkan Dewa mereka yang bernama Janus. Sebagai seorang Muslim, kita tidak diperbolehkan ikut merayakannya. Sebab, ketika kita ikut ambil andil dalam perayaan suatu kaum. Maka kita termasuk ke dalam golongan tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad)
Alhasil, ketika kita sudah mengetahui sejarah dari perayaan tahun baru adalah bentuk perayaan orang-orang kufar. Hendaklah kita sebagai seorang Muslim untuk tidak mengikuti merayakan hari pergantian tahun. Dan Allah melarang kita menghadiri dan ikut-ikutan merayakan hari raya orang musyrik. Allah SWT. berfirman, “Apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan menjaga kehormatan dirinya.” (TQS. Al-Furqan: 72)
Oleh sebab itu, tidak boleh seorang Muslim ikut merayakan pergantian tahun ini. Sebab, hari raya (pergantian tahun) merupakan bagian dari agama dan doktrin keyakinan, bukan semata perkara dunia dan hiburan. Meskipun hanya bermain-main tanpa mengikuti ritual keagamaannya, ini termasuk perbuatan yang dilarang. Karena turut mensukseskan acara mereka.
Hal ini pernah terjadi di zaman Rasulullah. Di mana suatu ketika Rasulullah sedang berkunjung ke Madinah, beliau mendapati penduduk Madinah sedang merayakan hari raya Nairuz dan Mihrajan, yakni hari raya orang-orang Majusi. Kemudian Rasulullah bersabda, di hadapan penduduk Madinah.
“Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian, yakni Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan an-Nasa’i)
Penduduk Madinah yang pada saat itu sedang merayakan hari raya Nairuz dan Mihrajan, mereka hanya bermain-main dan makan-makan. Sama sekali tidak ada unsur ritual keagamaan sebagaimana yang dilakukan orang-orang Majusi. Tapi Rasulullah sangat melarang perbuatan mereka ini, dan beliau mengingatkan bahwa hari raya kaum Muslimin adalah hari raya yang telah Allah tetapkan saja.
Oleh karena itu, sudah selayaknya kita sebagai seorang Muslim untuk taat pada apa saja yang telah Allah dan Rasul-Nya tetapkan. Ketaatan dan ketundukan kita pada Allah dengan tidak merayakan pergantian tahun adalah bentuk perlindungan diri agar tidak terjerumus pada sikap tasyabbuh bil kuffar. Wallahu’alam.[]