Oleh : Ifa Mufida
(Praktisi Kesehatan dan Pemerhati masalah Keumatan)
#MsulimahTimes –– Indonesia adalah negeri kaya dengan faktor pertanian menjadi salah satu penyokong ekonomi rakyat. Negeri ini adalah negeri yang subur, bahkan ada syair yeng berlirik “Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”.
Namun kita melihat bahwa para petani lokal Indonesia belum terlihat secara nyata kesejahteraannya, terlebih untuk petani yang lahannya masih menyewa. Belum lagi kebijakan di negeri ini setelah dianalisa memang tidak memihak kepada petani. Maka petani memerlukan solusi agar kehidupan mereka pun terjamin. Karena, hasil pertanian adalah salah satu pemasok utama sumber pangan untuk umat manusia.
Masih tersimpan secara jelas di dalam benak rakyat, Bapak Capres 2014 Joko Widodo mengatakan bahwa selama pemerintahannya akan memuliakan petani.Pak Jokowi saat itu mengaku akan menghentikan kebijakan impor pangan jika ia terpilih menjadi presiden 2014 bersama wakilnya, M Jusuf Kalla. Menurut Jokowi, Indonesia yang memiliki kekayaan alam berlimpah dengan tanah yang subur ini seharusnya jadi negara pengekspor. “Kita harus berani stop impor pangan, stop impor beras, stop impor daging, stop impor kedelai, stop impor sayur, stop impor buah, stop impor ikan. Kita ini semuanya punya kok”. Demikian janji manis Pak Presiden sekarang di masa kampanye.
Namun nyatanya, selama hampir 5 tahun di bawah pemerintahannya, apa yang dikatakannya tak kunjung terwujud. Seolah hal tersebut hanya janji dan pemanis bibir saat kampanye saja. Contoh saja swasembada kedelai yang telah dicanangkan sejak 2014, tetapi sampai sekarang ini masih jauh panggang dari api. Setiap tahun, Indonesia lebih banyak mengimpor kedelai dari yang bisa diproduksi. Ini ironi lain di negara produsen tempe. Tahun 2016, misalnya, impor kedelai mencapai 2,3 juta ton. Sampai akhir tahun 2017, angka impor kedelai diperkirakan naik menjadi 2,53 juta ton.
Impor jagung pun menimbulkan polemik.
Kementerian Perdagangan memastikan Indonesia akan kedatangan 60 ribu ton jagung impor hingga Maret 2019. Jumlah ini diperoleh setelah pemerintah memutuskan menambah impor jagung untuk kebutuhan pakan ternak sebanyak 30 ribu ton, Februari mendatang (tirto.id, 9/1/2019).
Impor ini dilakukan karena dianggap produksi jagung dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan pengusaha ternak. Namun, Ketua Asosiasi Hortikultura Nasional Anton Muslim Arbi menampik bila Indonesia tengah membutuhkan impor jagung. Menurut dia, produksi jagung lokal masih dapat mencukupi kebutuhan di daerah-daerah. Bahkan, kata Anton, jumlahnya sedang surplus.
Apa yang dikatakan Anton bisa jadi benar. Sebab rilis Kementerian Pertanian pada 2018 menunjukkan adanya trend kenaikan, baik produksi maupun konsumsi jagung hingga 2021 mendatang. Surplus jagung pun dipastikan tetap terjadi hingga tahun 2021. “Kalau jagung bisa disuplai dari dalam negeri, kenapa harus impor?” kata Anton mempertanyakan keputusan pemerintah. Anton mengkhawatirkan bila pemerintah tetap melanjutkan rencana itu, maka langkah tersebut akan memukul petani lokal. Kehadiran jagung impor akan semakin menyulitkan petani menjual hasil panennya. Kondisi ini menunjukkan pemerintah tidak serius soal urusan pangan. Lagi –lagi petani lokal harus gigit jari.
Dan yang paling menyedihkan adalah beras, yang dijanjikan oleh rezim sekarang pada masa pemerintahannya akan swasembada, pada faktanya hanya pepesan kosong. Bahkan secara data ternyata di masa Jokowi, impor beras lebih tinggi dibanding sebelum pemerintahannya. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat selama semester I-2016 sudah ada impor 1,073 juta ton beras, angka ini sudah naik 5 kali lipat atau 400 persen dari periode yang sama tahun lalu yang hanya 194,42 ribu ton. Pemerintah mengatakan bahwa dibukanya impor beras sebanyak 500.000 ton tahun ini terjadi lantaran produksi masih kurang. Tak pelak, harga beras pun naik. Kondisi itu berbanding terbalik dengan klaim dari Kementerian Pertanian (Kemtan) yang mengatakan produksi beras mengalami surplus.
Jika kita cermati, di lembaga-lembaga di bawah presiden tidak ada koordinasi yang harmonis sebut saja dari kementrian pertanian dan kementrian perdagangan, pun juga bulog. Seolah mereka berjalan sendiri tidak ada landasan kebijakan yang satu visi dan misi. Sebenarnya, masalah ketahanan pangan di Indonesia memiliki dua dimensi kepentingan, yakni bagaimana agar masyarakat dapat mengakses pangan dengan harga terjangkau dan disisi lain bagaimana kesejahteraan petani dapat terlindungi.
Dalam Islam, kebijakan perdagangan internasional, dilarang keras apabila kebijakan tersebut merugikan rakyat dan menyebabkan rakyat makin sengsara. khususnya para petani. Kepala negara memiliki tanggung jawab besar dalam mengurusi rakyat, tidak boleh ada pengabaian hak rakyat hingga memberlakukan kebijakan dholim yang tidak pro terhadap kepentingan rakyat.
Sebagaimana dalam riwayat hadist Rasulullah Saw, bahwa fungsi pemerintah adalah laksana penggembala, beliau bersabda: “Imam (kepala negara) laksana penggembala dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari).
Hadist ini mengisyaratkan bahwa penguasa memiliki tanggung jawab besar dalam implementasinya mengurusi rakyat termasuk persoalan kebijakan impor, yang harus sesuai koridor syara’ dan tetap menguntungkan rakyat.
Syariah Islam juga sangat menaruh perhatian pada upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan.
Dalam Islam, tanah-tanah mati yaitu tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu diproduktifkan, bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya dengan maksud agar tanah tersebut menjadi produktif. Rasul bersabada: “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya”. (HR.Tirmidzi, Abu Dawud).
Syariah Islam juga menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, kanzul mal (QS. At Tawbah [9]:34), riba, monopoli, dan penipuan. Negara juga harus meyediakan informasi ekonomi dan pasar serta membuka akses informasi itu untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar.
Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah memberikan harta dari Baitul Maal (kas Negara) kepada para petani di Irak, yang dapat membantu mereka untuk menggarap tanah pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka, tanpa meminta imbalan dari mereka. Di samping itu, Negara harus melindungi air sebagai kepemilikan umum, dan sebagai input produksi pertanian. Karenanya, air beserta sarana irigasinya tidak boleh diswastanisasi. Khilafah akan memberikan subsidi dalam pengadaan pupuk, bibit, alat-alat pertanian, obat-obatan, pemasaran dan lain sebagainya.
Berbeda dengan Pemerintah Neoliberal memang tidak punya visi kedaulatan pangan karena masih terus menggantungkan pangan pada impor. Untuk menghentikan ketergantungan pada pangan impor dibutuhkan negara yang punya visi jelas, pemerintah yang berperan sebagai pelayan bukan pebisnis serta sistem ekonomi yang adil bukan ekonomi yang pro kapitalis.
Dalam Islam, negara berkewajiban melindungi kepentingan warga negara dan mencegah ketergantungan kepada asing. Sistem yang memiliki hal ini hanyalah Islam yang menjalankan syariah Islam dan dibawah naungan negara Islam.
Allahu A’lam bi showab