Oleh. Mitra Rahayu, S.Pd.
(Alumni Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi UNM angkatan 2013)
#MuslimahTimes –– Di tengah suka cita menyambut tahun 2019, jagat maya tiba-tiba saja digemparkan oleh kabar miring dari aktris multi-talent yang telah lama berpengalaman di berbagai bidang yang digelutinya. Aktris ‘menjemput rezeki’? ini terciduk oleh pihak kepolisian terkait kasus prostitusi online pada Sabtu, 5 Januari 2019 di salah satu hotel Kota Surabaya (www.grid.id).
Kabar ini sontak berhasil mengegerkan jagat maya Indonesia. Respon dari warganet terkait bisnis haram ini pun berbeda-beda. Ada yang menghujat, namun tak sedikit pula yang membela perilaku buruk sang public figur. Namun yang menjadi fokus penulis adalah tanggapan sejumlah kaum hawa yang menganut paham rusak feminisme. Dari kalangan ini tentu saja melakukan pembelaan habis-habisan terhadap idola mereka.
Tak mau ketinggalan, remaja yang sempat viral karena tulisan sesat ‘agama warisan’ hasil plagiatnya turut mengomentari kasus ini. Pada poin pertama, ia menganalogikan kasus VA ini layaknya hukum pasar pada bidang ekonomi.
“Tanggapan saya mengenai kasus prostitusi artis VA yang viral: Ada permintaan, ada penawaran. Hukum pasar dalam bidang ekonomi pasti seperti itu. Dan VA berhasil melampaui hukum pasar tersebut, dia menciptakan pasarnya sendiri. Dia yang memegang kontrol dan otoritas atas harga, bukan konsumennya. Saya justru penasaran bagaimana VA membangun value/nilai dirinya, sehingga orang-orang mau membayar tinggi di atas harga pasar reguler. Seperti produk Apple Inc. atau tas Hermes– kita bisa belajar dari sana. Padahal, seorang istri saja diberi uang bulanan 10 juta sudah merangkap jadi koki, tukang bersih-bersih, babysitter, dll. Lalu, yang sebenarnya murahan itu siapa?
Masyarakat kita mempunyai mentalitas “holier-than-thou” atau merasa diri lebih suci, lebih superior daripada manusia lain yang kebetulan terbuka aibnya. Selanjutnya “flawed society” ini akan bergosip, menghujat di akun medsos artis yang bersangkutan, dan membully karena secara tidak sadar itu memberi kepuasan psikologis berupa perasaan “aku lebih baik, lebih bermartabat” (solo.tribunnews.com)
// Zina, Tak Ada yang Berani Menghakimi //
Sebenarnya isu prostitusi di sistem liberalisme bukanlah hal yang baru. Hanya saja kali ini pelakunya kebetulan berasal dari kalangan publik figur yang cukup tenar karena membintangi sederet FTV, hingga akhirnya berhasil menggemparkan jagat maya nusantara.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa beberapa lokalisasi masih beroperasi hingga saat ini. Belum lagi prostitusi online yang semakin memudahkan para pria hidung belang menemukan wanita-wanita panggilan sesuai keinginannya. Aksesnya begitu tersembunyi dan amat rapi.
Jadi, dengan apa para pelaku zina dapat dihukum? Apakah mereka akan terhukum hanya dengan hujatan tanpa solusi dari masyarakat? Padahal tak sedikit jua yang melakukan pembelaan terhadap tersangka. Begitulah yang ingin coba disampaikan oleh Afi Nihaya dengan paham liberalisme individualisme. Pada poin ke dua Afi Nihaya menuliskan bahwa warganet yang beramai-ramai menghujat tersangka memiliki perasaaan ‘aku lebih suci. Lalu apakah prostitusi hanya didiamkan saja hingga perzinaan meraja lela di seluruh penjuru nusantara?
Di sini harus dipahami bahwa perzinaan tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa adanya hukuman kepada si pelaku. Karena lambat laun jika hanya dibiarkan kemaksiatan tersebut akan menjadi terkesan lumrah di tengah masyarakat. Apalagi saat serangan pemikiran dari Neoliberalisme barat terus menjangkiti masyarakat yang memang dari dulu tercekoki pemikiran dangkal akut (menghukumi fakta sebagai hukum). Ini akan menimbulkan konflik sosial yang sangat serius. Mewabah dan menghancurkan masyarakat secara perlahan.
Namun atas nama HAM yang kerap kali pelaku jadikan tameng atas penyimpangan mereka, mereka tak akan pernah jera. Para penjaja seks bahkan dilabeli sebagai ‘pekerja dan penyedia jasa.’ Tak ada UU KUHP yang dapat menjerat mereka.
Mengenai kasus prostutusi artis tanah air pun bukan menjadi hal yang baru. Sebelumnya telah ada lima nama artis yang berhasil digrebek saat sedang melayani ‘pelanggannya’ di kamar hotel. Di antaranya adalah Nikita Mirzani, Amel Alvi, Hesty Klepek-Klepek, Anggita Sari, dan Puty Revita Si Mantan Miss Indonesia 2014 ).
Setelah melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap kasus VA dan AS, akhirnya terseret 45 nama artis dan 100 model yang kesemuanya terlibat dalam kasus prostitusi online. Angka yang sangat fantastis (ini yang sudah terciduk). Namun polisi hingga saat ini belum mengumumkan identitas dari 45 artis dan 100 model yang terlibat dalam kasus prostitusi online. (Tribunnews.com)
Hukum di Indonesia seolah tak pernah tegas memberi hukuman kepada seluruh pihak yang terlibat kasus perzinaan. Tak pernah serius mengusut tuntas woman-traficking, lemah tindakan terhadap wanita-wanita yang memang tercekoki pemikiran nakal, serta tak maksimal memfasilitasi wanita-wanita yang ingin keluar dari lembah hitam prostitusi. Kita tak bisa menampik ada juga wanita yang terpaksa menyusuri lembah hitam ini karena tuntutan ekonomi dan taraf pendidikan yang rendah. Problematika ini akan saling tumpang tindih dari lini kehidupan yang satu ke lini kehidupan yang lainnya. Jadi apabila ada kerusakan dari salah satu lini hidup, berarti memang terdapat kerusakan dari asas sistem aturan yang diberlakukan di negeri ‘tanah surga’? tercinta ini.
Maka wajarlah jika dalam sistem sekuler liberal hari ini, prostitusi kian menjamur. Betapa tidak, tempat-tempat lokalisasi seolah dilegalkan. Sungguh, sangat banyak tempat-tempat lokalisasi prostitusi terkenal dan cukup besar di seluruh penjuru Indonesia.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya di antara tanda-tanda kiamat yaitu diangkatnya ilmu dan kebodohan nampak jelas, dan banyak yang minum khamar dan banyak orang berzina secara terang-terangan” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam pandangan Islam, zina merupakan perbuatan yang diharamkan. Bahkan pelakunya harus dikenai sanksi tegas yakni dengan hukuman dera (cambuk) 100 kali bagi yang belum pernah menikah. Dan hukum rajam, jika sudah pernah menikah.
// Gagal Paham Feminisme //
Feminisme sebenarnya berawal dari sejarah gelap Eropa. Persisnya, saat itu bangsa Romawi aktif mengadakan seminar-seminar untuk membahas tabiat dan karakter wanita. Apakah ia tergolong makhluk hidup yang memiliki watak dan sifat yang manusiawi? Seminar-seminar gereja pada abad pertengahan juga membahas tentang nyawa wanita, apakah nyawa wanita sama seperti pria ataukah ia hanya memiliki nyawa seperti binatang-binatang, anjing dan musang? Dan pada akhirnya seminar itu berkesimpulan bahwa wanita itu tidak memiliki nyawa sama sekali.
Sekitar abad 16 Masehi, pasca Perang Dunia I dan II Eropa mengeluh kekurangan pria dewasa dan pemuda produktif yang sangat dibutuhkan dalam proses industrialisasi. Nah, saat itulah dengan alasan mendorong roda pembangunan para wanita berperan secara besar-besaran, para wanita keluar rumah untuk bekerja di pabrik, kantor, dan instansi pemerintahan. Berperan sebagai wanita karir. (Alga Biru & Luky B. Rouf, Muslimah Semesta).
Feminisme menilai bahwa seorang wanita hanyalah akan dihargai saat mereka dapat berkarir di ranah publik untuk mendapatkan penghasilan sendiri. Pemikiran materialisme mereka kemudian dimanfaatkan oleh kaum kapitalis untuk mengeksploitasinya. Mengatur pakaian yang mereka kenakan dan diwajibkan berpenampilan menarik untuk menarik perhatian klien.
Tanpa sadar bahwa perlawanan yang mereka lakukan justru membawa kepada kemerosotan harga diri yang rendah serendah-rendahnya. Ujung-ujungnya yang diuntungkan tidak lain dan tidak bukan adalah kaum kapitalis sendiri. Sedangkan mereka, hanya mendapatkan materi hasil dari menjual harga dirinya.
Para aktris dan model, mereka adalah ratunya. Hukum rimba akan terus berlaku di berbagai lini kehidupan. Saat sudah minim tawaran syuting dan pemotretan karena pergantian generasi, mereka pun harus memutar otak untuk bisa tetap bertahan dan tak tersisihkan di dunia hiburan. Di dunia hiburan, yang menjadi modal utama adalah kecantikan dan penampilan yang classy. Tentu harus menggunakan biaya yang tidak sedikit. Prostitusi akhirnya menjadi pilihan karena miskin inovasi dan telah terbiasa mendapatkan honor sekali kerja dalam jumlah fantastis.
Harkat dan martabat kaum feminis ini sungguh tak ada harganya lagi di tengah sistem liberal saat ini. Kesucian mereka begitu mudah dibeli selayaknya hukum permintaan dan penawaran dalam ilmu ekonomi. Sementara perannya sebagai ibu pendidik generasi emas dan pengatur rumah tangga dianggap lebih rendah dari pelacuran.
Seperti ini kah yang dimaksud konsep kesetaraan dalam ide feminisme? Jika demikian, maka selamat! Anda telah memasuki era kehancuran rumah tangga yang berimbas pada rusaknya moral generasi bangsa.
Allah SWT telah menciptakan pria dan wanita setara. Yang membedakan hanyalah iman dan takwa kita sebagai makhluk-Nya. Hanya manajemen tugas saja yang berbeda. Yang satunya diciptakan untuk mencari nafkah dan yang satunya diciptakan untuk menjadi manajer rumah tangga serta pendidik junior-junior tangguh mereka.
Namun bukan berarti Islam mengekang wanita untuk berkiprah di sektor publik. Wanita bekerja dalam Islam dimubahkan asalkan tak mengganggu kewajibannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.
Seorang suami wajib menafkahi keluarganya sebagaimana sebuah hadist “Aku bertanya kepada Rasulullah SAW: Ya Rasulullah, apakah hak istri terhadap suaminya? Rasul SAW menjawab: Berilah ia makan tatkala engkau makan, berilah ia pakaian, jika engkau pun berpakaian, janganlah engkau memukul wajahnya, janganlah berbuat buruk kepadanya… “(HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan Hakim).
Sungguh, hanya dengan penerapan syariat Islam secara kaffah, segala perkara dapat didudukkan secara adil. Halal-haram menjadi jelas. Baik-buruk menjadi tak lagi relatif berdasarkan kepentingan manusia. Sebab dalam naungan sistem Islam, semua perkara hanya disandarkan pada aturan Allah saja.
Wallahu a’lam