Oleh : Salis Fathu Rohmah (Mahasiswa Universitas Airlangga)
Kasus penganiayaan anak oleh babysitter kembali ramai diperbincangkan ketika viralnya video babysitter di Garut memperlakukan anak majikannya dengan kasar. Aksi itu dilakukan di depan rumah majikannya saat menyuapi anak dengan paksa, bahkan terlihat pula ia memukul si bayi kemudian memperlakukan dengan sangat kasar (Tribun Jabar, 28/01). Ada lagi, seorang babysitter mengigit rahang bayi majikan lantaran kesal bayi tidak mau diam (detik.com 31/01). Kok ya ada-ada saja perlakuan para babysitter ini hingga membuat mereka terjerat hukuman penjara akibat tindakannya.
Tidak hanya satu atau dua kasus, namun begitu banyaknya kasus penganiayaan terhadap anak yang dilakukan oleh pengasuh anak seperti fenomena gunung es. Hingga terbesit dalam pikiranku, mungkinkah masa depanku nanti juga akan seperti itu? Naudzubillahi min dzalik. Namun bagaimana tidak? Bukankah sudah menjadi keumuman jika mahasiswi punya cita-cita besar untuk menjadi wanita karir. Lulus menjadi sarjana dari perguruan ternama menambah peluang untuk mencapai karir dengan jabatan yang tinggi. Berlomba-lomba mengejar karir yang cemerlang demi gaji yang tinggi atau bahkan hanya karena gengsi. Hingga suatu saatnya nanti menikah dan memiliki anak. Namun bisa jadi wanita karir masih tersibukkan dengan dunia kerjanya dan tidak memiliki waktu untuk mendidik anaknya. Maka tidak heran jika banyak wanita karir memilih untuk menitipkan sang buah hati tanpa kontrol penuh darinya.
Terlepas dari kesalahan si pengasuh anak, orangtua juga menyumbang faktor penyebab terjadinya penganiayaan terhadap anak. Kesibukan orangtua membuat anak-anaknya terpaksa diserahkan kepada pengasuh. Komisoner KPAI Retno Listyarti mengatakan, “Memang orangtua yang dua-duanya bekerja harus menyerahkan pengasuhan anak kepada pengasuhan orang lain. Inilah yang kemudian menjadi peristiwa penganiayaan terhadap anak yang diasuhnya” (Detik.com). Orangtua terutama ibu bertanggung jawab besar pada anaknya. Seharusnya ibulah yang mengontrol penuh perkembangan dan pendidikan anaknya. Namun kemana sang ibu ketika anak dianiaya meski itu di dalam rumahnya sendiri? Sibuk mencari pundi-pundi uang untuk orang yang dia gaji sebagai pengasuh anaknya?
Di zaman yang mengagungkan emansipasi perempuan, kini banyak wanita yang mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Bertahun-tahun mengenyam pendidikan di sekolah yang dianggap apik tidak lain untuk memudahkan diri mendapatkan perkerjaan yang apik pula. Begitulah orientasi kebanyakan mahasiswa. Pihak perguruan tinggi pun berbondong-bondong untuk memotivasi mahasiswanya agar mendapat pekerjaan yang bagus. Ya, hal tersebut akan bisa meningkatkan akreditasi. Padahal banyak variabel lain dalam kehidupan yang harus dijalani, namun kurikulum kampus hanya membekali mahasiswa dengan ilmu dalam teori dunia kerja. Sistem pendidikan ala kapitalisme mencetak lulusan yang siap akan dunia kerja, lagi-lagi orientasinya untuk mencari harta duniawi. Dan pengarusan ini demikian derasnya didukung oleh pihak negara secara sistemik. Ditambah kondisi ekonomi dan apa kata orang disekitarnya ketika mengetahui mahasiswi sekolah tinggi namun ujungnya tidak bekerja. Cukuplah alasan kenapa banyak wanita memilih karir ketimbang fokus dengan peran biologisnya sebagai ibu.
Sah-sah saja jika wanita bekerja. Namun fitrahnya sebagai wanita yang menuntut dia menjadi istri dan ibu tidak bisa dipandang sebelah mata. Justru peran tersebut yang harus dibangun dari jauh hari agar wanita dapat melaksanakan perannya sebagai istri dan ibu secara maksimal. Islam memandang bahwa hukum bekerja wanita adalah mubah, sedangkan hukumnya menjadi istri dan ibu yang baik adalah wajib. Maka seharusnya muslimah yang taat memahami hal tersebut. Tidak salah jika wanita bekerja, tapi perannya yang wajib harus senantiasa didahulukan. Muslimah yang cerdas akan memahami bahwa kedua peran tersebut adalah ladang pahala yang besar untuknya. Hal ini sulit dipahami muslimah keseluruhan ketika lingkungan sekular menjadi tempat ia beraktivitas.
Dalam islam juga mengenal kaidah ilmu sebelum amal. Begitupun juga jika wanita akan melaksanakan kedua peran pentingnya maka harus paham ilmunya dahulu. Sebagai agama yang sempurna Islam dengan rinci mengajarkan bagaimana menjadi istri dan ibu yang baik. Bagaimana mendidik anak-anaknya agar bisa menjadi pundi-pundi bekal untuknya di akhirat. Sehingga wanita yang melimpahkan peran pentingnya kepada orang lain seperti pengasuh anak, ini bisa menjadi kerugian untuk mendapatkan pahala yang besar. Apalagi jika salah didikan dan tidak membinanya dengan baik, anak juga bisa jadi bumerang bagi orangtua, masyarakat, bahkan negara.
Bagaimana tidak? Karena anak sebagai aset bangsa adalah wajah bangsa di masa depan. Maka negara yang peduli akan masa depannya seharusnya menyiapkan para wanita untuk bisa mencetak generasi emas. Seperti pendidikan wanita di era Khilafah, bahkan menyiapkan kelas khusus untuk menyiapkan wanita menjalani perannya sebagai istri dan ibu yang baik. Tidak hanya dibebaskan menimba ilmu sains dan teknologi, tapi wanita diberi pengajaran memaksimalkan perannya sebagai ibu pendidik generasi emas. Di tangan wanita cerdas masa depan bangsa akan lebih baik, dan negaralah yang bertanggungjawab untuk mendidik calon ibu generasi dengan baik. Wallahu’alam. [el]
Penulis
Nama : Salis Fathu Rohmah
Status : Mahasiswa Universitas Airlangga
Email : salisfathur@gmail.com