By Kanti Rahmillah, M.Si
MuslimahTimes—Alkisah disebuah negeri. Hiduplah sebuah Monster beringas yang selalu kelaparan. Mencari-cari mangsa. Caplok sana-caplok sini. Herannya, sang monster adalah jenis monster pemilih. Dia hanya melahap mangsa yang tak sewarna dengan pembuatnya. Atau jangan-jangan, monster tersebut memang sengaja dirancang untuk menghabisi lawan si-pembuat?
Kisah fiktif di atas, mungkin bisa menjadi mirroring kondisi pasal ujaran kebencian di Indonesia. Pasal karet ini, telah memakan korban yang begitu banyak. Kali ini yang menjadi korban adalah musisi terkenal Ahmad Dhani Prasetyo.Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, menjatuhkan vonis 1 tahun 6 bulan penjara, pada ayah Al, El, Dul ini.
Tweetnya yang berbunyi “Siapa saja yang dukung penista agama adalah bajingan yang perlu diludahi mukanya-ADP”. Inilah salah satu tweet yang menyeret Dhani menuju bui. Tempat para penjahat. Dan tempat para manusia yang tak sependapat dengan penguasa.
Sebelum divonis, Dhani berkoar-koar. Jika dirinya benar dipenjara. Berarti, tak ada lagi kebebasan berpendapat di negeri ini. Dan kini terbukti sudah. Masuknya Dhani ke dalam penjara adalah sebuah hipokrit demorasi yang mendewakan kebebasan.
//Politisasi Hukum//
Dhani tak sendiri. Para pendahulunya telah banyak yang terjerat kasus serupa. Sebut saja Ibu Asma Dewi dan Ustadz Alfian Tanjung. Habib Bahar pun kini sedang menunggu keputusan pengadilan. Anehnya, pasal ujaran kebencian ini tak menyentuh orang-orang yang merapat pada kubu petahana. Padahal ucapan mereka sungguh dengan jelas melakukan ujaran kebencian. Sebut saja Viktor Laiskodot, Guntur Ramli, Ade Armando, dan Abu janda. Bagai ghoib, mereka tak tersentuh hukum sedikit pun. Bahkan jabatan mereka semakin mendapat tempat.
Diskriminasi Ahmad Dhani dan juga kubu oposisi lainnya. Telah membuktikan pada kita bahwa rezim saat ini adalah rezim represif. Rezim otoriter. Menggunakan kekuasaanya untuk melawan kubu yang tidak sejalan.
Korban UU ITE yang tebang pilih pun, telah membeberkan pada kita bahwa hukum di negeri ini telah dipolitisasi. Hukum menjadi alat untuk mengkriminalisasi pihak oposisi. Padahal seharusnya fungsi hukum adalah untuk menciptakan keadilan. Namun faktanya hari ini, rezim telah menjadikan hukum sebagai alat politik kekuasaan. Alat gebuk pihak lawan.
//Blunder Politik//
Rezim kalang kabut. Atau meminjam istilah Pak Wiranto “Jangan Grasak Grusuk”. Masuk buinya penguasa laskar cinta, telah menjadi blunder bagi pemerintah. Kalangan musisi dan generasi milenial yang hanyut dalam kesedihan, lantaran pujaannya telah diperlakukan tidak adil adalah pukulan besar bagi suara kubu petahana. Padahal, suara pemilih milenial dalam Daftar Pemilih Tetap KPU proporsinya sekitar 34,2 persen dari totsl 152 juta pemilih. (News.okezone.com, 15/9/18)
Begitupun, suara-suara sumbang dalam tubuh kubu pun semakin tercium. Sebut saja tweet Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar. Walau tidak menyebut nama, namun tweet nya menyiratkan ketidaksetujuannya. “Saya tidak setuju memenjarakan ide, gagasan dan wacana…”. Karena memang yang dilontarkan Dhani adalah sebatas gagasan.
Kini, Rocky Gerung sang pemilik wacana “Revolusi Akal Sehat”, harus bersiap. Karena negeri ini, telah menjelma menjadi negeri otoriter, di mana sebuah gagasan pun akan dipenjarakan.
Namun, sejatinya pemerintahan yang semakin otoriter adalah tanda-tanda kekuasaan suatu rezim akan berakhir. Karena bagaimanapun juga, rakyat tidak akan diam. Mereka akan terus bergerak menuju muara keadilan. Jadi telah jelas, ketika rezim blusukan mengunjungi para ulama untuk meminta doa dan nasihat, sesungguhnya, itu semua adalah politik pencitraan semata. Demi mendulang suara di Bulan April.
//Hipokrit Demokrasi//
Begitulah sistem buatan manusia. Keberadaanya tak mungkin sempurna. Apalagi Demokrasi. Lahir dari rahim Sekulerisme. Sebuah ideologi yang bertentangan dengan Islam. Kecacatannya yang permanen, membuat hidupnya dipenuhi kerusakan. Bahkan menyebabkan kerusakan pada umat manusia.
Di satu sisi menjungjung kebebasan. Namun ketika kebebasan yang diberikan tersebut dipakai untuk memukul penguasa, maka saat itu juga, sisi lain dari wajah demokrasi tampak. Dia mampu membuat hukum, yang dapat memukul lawannya. Jadi wajar saja, dalam demokrasi hukum hanyalah sebuah alat bagi kekuasaan.
Oleh karena itu, satu-satunya sistem yang mampu menjadikan umat manusia terpenuhi hak-haknya, sistem yang mampu bersikap adil pada setiap warganya, sistem yang tak mengenal pencitraan, sistem yang menerapkan aturan Islam secara kaffah, sistem pemerintahan yang komprehensif, yang datang dari Allah sang penggenggam alam semesta, dialah sistem Khilafah Islamiyah.