Oleh: Supiani
(Member Komunitas Muslimah Peduli Umat)
Â
#MuslimahTimes — Takkan ada derita.. Bila isi hatim.. Penuh dengan rasa cinta.. Cinta Kepada Allah..
Ialah sebait lirik bertajuk cinta kepada Allah yang dipopulerkan oleh Abu Alghazali alias Ahmad Dhani. Lirih hati menghayati lagu yang perlahan mencuat di linimasa Instagram. Lirik lagu tersebut seolah begitu mencerminkan ketegaran Ahmad Dhani dalam menghadapi hukum yang kini menjeratnya. Juga sebagai penguat bagi keluarganya untuk meyakini bahwa musibah adalah bagian dari keinginan Allah untuk menjadi semakin dekat dengan hambaNya. Pun masalah menjadi pengingat untuk senantiasa berserah terhadap apapun ketetapan-Nya.
Setelah divonis 18 bulan oleh pengadilan negeri Jakarta Selatan 28 Januari 2019 silam atas kasus ujaran kebencian yang dicuitkannya melalui media sosial twitter. Namun Ahmad Dhani tampak tegar menghadapi ujian refresifnya rezim yang sensitif. Beliau bahkan meminta istrinya, Mulan Jameela untuk tenang menghadapi proses hukum (ILC, 05/02/19).
Pasalnya, banyak yang menentang keputusan hakim atas kasus ujaran kebencian Ahmad Dhani ini. Pakar Hukum Pidana UI misalnya. Muzakir menilai kasus ujaran kebencian ini akan berbahaya jika menjadi yurisprudensi. Pasalnya pejabat-pejabat negara, politisi, aktivis dan warganet hampir setiap hari mengungkapkan kata seperti yang dilontarkan pentolan Dewa19 itu. Jadi secara tidak langsung mereka semua layak dipidana (Republika.co.id, 29/01/19).
Jika menilik pernyataan Pakar Hukum Pidana UI, Ahmad Dhani ibaratnya sedang sial. Sebab delik hukum yang sedang menimpanya bisa menimpa siapa saja sebenarnya. Namun sebab beliau publik figur yang pasti keberadaannya mencolok, menjadikan rezim begitu cepat membidik beliau. Apalagi geliat beliau yang mulai menunjukkan keberpihakannya kepada Islam, membuat rezim semakin over sensitif.
Rezim menolak dikatakan refresif namun malah menunjukkan tabiat tersebut melalui dipenjarakannya Ahmad Dhani. Haus akan kekuasaan dan ketakutan akan hilangnya tahta membuat rezim begitu sensitif terhadap kritik. Nyaris banyak oposisi yang dijebloskan penjara hanya karena mereka lugas menyampaikan kritik. Sementara banyak kawan sekubu yang masih melenggang bebas padahal jelas melanggar hukum. Kasus Viktor Laiskodat misalnya.
Sikap over sensitif penguasa atas kritik dan juga refresif menunjukkan bahwa politik dalam demokrasi sejatinya dijadikan tangga untuk meraih tampuk kekuasaan saja. Atau menjadi tameng bagi tetap bertahannya tampuk kekuasaan pada satu pemerintahan saja. Kecintaan akan duniawi menjadi kekuasaan yang dimiliki bak tiket emas untuk meraih kebahagiaan. Padahal hanyalah kebahagiaan semu. Mereka yang berpegang teguh kepada kapitalis sekuler dan juga liberalisme menafikan aspek Islam dalam berpolitik.
Politik sejatinya ialah tanggung jawab untuk mengurusi urusan umat. Bukan malah mengurusi kepentingan asing-aseng atau para kapital semata. Namun dengan tersanderanya rezim dalam cengkeraman para asing-aseng dan kapital, membuatnya harus menumpaskan segala hal yang mengancam kekuasaannya. Dan demokrasi melanggengkan aktifitas ini.
Sampai disini jelas, bahwa demokrasi tak akan mampu melayani dan mengurusi umat. Sebab demokrasi hanya akan pula mensejahterakan aktifitas refresif rezim. Padahal wajib hukumnya memuhasabah penguasa. Contohnya saja Abu Bakar Ash Shiddiq yang ditodongkan pedang oleh pengkritiknya. Namun beliau hanya diam sembari tersenyum, lalu berkata: “Aku diangkat mengepalai kalian. Dan aku bukanlah yang terbaik diantara kalian. Jika aku membuat kebaikan, maka dukunglah aku. Jika aku membuat kejelekan, maka luruskanlah aku.â€
Bahkan Khalifah Umar justru ketakutan ketika tidak ada yang mengkritiknya. “Aku sedang dihinggapi ketakutan, jika sekiranya aku melakukan kemungkaran, lalu tidak ada orang yang mengingatkan dan melarangnya, karena rasa segan dan hormatnya kepadaku.â€
Oleh karenanya sistem kufur demokrasi yang berasas kapitalis sekuler jelas tak akan mampu mewujudkan perpolitikan yang murni. Sebab politik hanya dijadikan alat untuk mengeksistensikan anti kritik dan refresif rezim tirani. Sistem politik dan kepemimpinan Islamlah yang mampu mewujudkan kepengurusan kepentingan umat tanpa harus ditunggangi kepentingan penghamba kekuasaan. Dengan diterapkannya Islam kaffah dalam bingkai khilafah membuka ruang pada umat untuk mengawal pelaksanaannya melalui mekanisme muhasabah/mengkritik penguasa sesuai dengan tuntunan hukum syara’.
Wallahu a’lam bish showab
====================
Sumber Foto : metro.tempo