Oleh: Intan Alawiyah
(Member Revowriter Tangerang)
#MuslimahTimes — Debat capres putaran kedua sudah berlangsung beberapa hari yang lalu. Ada hal yang mencengangkan yang disuguhkan kubu petahana. Jokowidodo menyebutkan bahwa dalam tiga tahun terakhir di masa kepemimpinannya ia berhasil mengatasi masalah kebakaran hutan dan juga lahan. Bahkan lebih lanjut ia mengatakan penyebab tidak ada kebakaran hutan dan lahan karena penegakan hukum yang tegas. Dia juga menyebut ada 11 perusahaan yang telah diberi sanksi.
“Sebelas perusahaan yang diberikan sanksi denda sebesar Rp 18,3 triliun takut urusan dengan yang namanya kebakaran hutan,” ujar Jokowi. (detiknews.com, 17/2/2018)
Data tersebut sangat berbeda dengan yang disampaikan BNPB. Badan Nasional Penanggulangan Bencana merekapitulasi bencana alam termasuk kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Di tahun 2019 ini tercatat sudah terjadi beberapa kali karhutla.
Inilah data karhutla di Indonesia menurut BNPB:
– Tahun 2019 (hingga Februari): 5 kali kejadian karhutla, 1 orang hilang / meninggal dunia.
– Tahun 2018: 370 kali kejadian karhutla, 4 orang hilang / meninggal dunia.
– Tahun 2017: 96 kali kejadian karhutla, tidak ada korban jiwa / hilang.
– Tahun 2016: 178 kali kejadian karhutla, 2 orang hilang / meninggal dunia. (detiknews.com, 17/2/2018)
Nyata sekali perbedaan atas apa yang disampaikan capres -01 dengan data yang dijabarkan oleh BNPB. Belum lagi mengenai penerapan sanksi terhadap 11 perusahaan yang melakukan karhutla. Ini sangat bersebrangan dengan apa yang disampaikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Green Peace Indonesia dalam akun twiternya.
@Greenpeace ID menyebut belum ada sebelas perusahaan itu yang membayar ganti rugi ke negara, “Jokowi sebut telah memenangkan gugatan perdata terhadap 11 perusahaan yang harus membayar ganti rugi akibat kerusakan lingkungan dan kebakaran lebih 17 triliun. Namun belum ada yang membayar ganti rugi pada negara sepeserpun,” tulis Green peace Indonesia dalam akun resminya. (Gelora.co.id, 18/2/2019)
Pernyataan inilah yang menimbulkan tanda tanya besar dibenak rakyat. Bagaimana bisa seorang pemimpin yang sudah memimpin beberapa tahun lamanya tidak mengetahui akan data-data tersebut. Bahkan ia berbicara tidak berdasarkan fakta?
//Konsekuensi Kepemimpinan Dalam Sistem Sekulerisme//
Di dalam sistem sekulerisme yang menafikkan peran agama dalam kehidupan, adalah hal yang lumrah berbicara di depan umum tidak sesuai fakta demi meraih kursi kekuasaan. Sistem sekulerisme yang awalnya muncul di Barat kemudian di ekspor ke negara-negara dunia yang kemudian dijadikan worldview (pandangan hidup) yang diamini oleh penguasa negeri mengharuskan politik dilepaskan dari agama. Agama biarlah letaknya di dalam masjid bukan di dalam istana negara, ruang rapat kementrian, ruang rapat anggota dewan, dan forum-forum lainnya.
Alhasil, seorang penguasa yang haus akan jabatan dan juga tahta akan menghalalkan segala cara untuk mewujudkan keinginannya. Walau harus berkata dusta di hadapan publik. Ia tidak memiliki rasa khawatir sedikitpun atas apa yang telah diperbuatnya. Sehingga tidak ada lagi pertimbangan di benaknya, apakah ini mendatangkan ridaNya atau malah sebaliknya mengundang kemurkaaNya?
Rasulullah pernah bersabda, “Mendekati hari kiamat akan muncul para pendusta. Maka berhati-hatilah terhadap mereka.” (HR. Muslim)
Seorang muslim harus mensifati dirinya dengan akhlak yang baik hanya atas pertimbangan bahwa akhlak tersebut merupakan bagian dari perintah dan larangan Allah. Dengan demikian, ia akan berbuat jujur karena Allah memerintahkan kejujuran. Semua itu dilaksanakan bukan untuk kemanfaatan belaka dan dalam rangka mewujudkan hasrat yang ingin dicapainya.
//Ciri-ciri Kepemimpinan Ideal Menurut Islam//
Kriteria yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah menepati janji, dan memiliki kejujuran. Sebagaimana sifat yang dimiliki oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan bin al-Hakam (68 H). Hal ini dikemukakan oleh Ibnu Qutaibah dalam kitab Al- Imamah wa as-Siyasah, ketika memulai penjelasannya pada permulaan kepemimpinannya terhadap umat Islam seraya mengatakan, “Sesungguhnya Abdul Malik bin Marwan telah menjanjikan kebaikan kepada seluruh warganya dan menyerukan kepada mereka untuk melestarikan kitabullah dan sunnah Rasulullah, menegakkan keadilan dan menjunjung tinggi kebenaran. Abdul Malik bin Marwan merupakan seorang pemimpin yang terkenal dengan kejujurannya, populer dengan keutamaannya dan keilmuannya, dan diakui komitmennya terhadap ajaran agama dan kewara’annya. Sehingga mereka mudah menerimanya sebagai seorang pemimpin. Tidak ada satupun dari masyarakat Quraisy maupun Syam yang menentang kepemimpinannya.” (Al-Imamah wa As-Siyasah, Ibnu Qutaibah, 3/193)
Dikarenakan sifat-sifat mulia yang dimiliki Khalifah Abdul Malik bin Marwan, maka umat pun bersedia membaiatnya sebagai seorang Khalifah. Karakter-karakter yang dikemukakan Ibnu Qutaibah menjadi syarat bagi seseorang yang akan menjabat sebagai seorang pemimpin umat.
Suatu hari, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menulis kepada stafnya, “Janganlah kamu meminta tolong kepada pendusta. Sebab, apabila engkau menaati perintah para pendusta, maka engkau akan celaka.”
Oleh karena itu, memilih pemimpin yang banyak mengumbar janji dan senang berkata dusta hanya akan mendatangkan bencana demi bencana kepada rakyat yang dipimpinnya.
Sungguh ironis kepemimpinan dalam sistem Demokrasi saat ini terasa kering dan kehilangan makna. Hampir di setiap sendi kehidupan, kita tidak lagi menemukan sosok pemimpin yang pantas diteladani dan dikagumi.
Hanya kepemimpinan di dalam sistem Islam yang memahami, mengakui, dan juga menjalankan dengan sepenuh hati kepemimpinannya sebagai amanah dari Allah yang akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Pemimpin yang ideal bukan sekadar bertanggungjawab terhadap rakyatnya dengan melaksanakan program yang mensejahterkan mereka, bukan pula sekadar mempertanggungjawabkan masa kepemimpinannya kepada dewan yang telah melantiknya dengan berusaha mengikuti peraturan yang telah ditentukan. Namun, pertanggungjawaban tertinggi seorang pemimpin adalah kepada Allah SWT yang telah menitipkan kepemimpinan kepadanya, sebagai tugas ilahiyah. Maka seorang pemimpin akan merasa selalu diawasi oleh Allah, sehingga tidak akan pernah sengaja melakukan kebohongan demi melanggengkan hasratnya.
“Dan sesungguhnya jabatan (kekuasaan) adalah amanah, dan pada hari kiamat jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan. Kecuali bagi orang yang mengambil amanah itu dengan benar dan menunaikan kewajiban yang ada di dalamnya.” (HR. Muslim). Wallahu’alam.[]