Oleh: Hana Rahmawati
(Member Revowriter Tangerang)
Â
#MuslimahTimes — Carut-marut keamanan di negeri maritim, nampaknya masih belum usai. Sebut saja Papua, wilayah yang kini di duduki oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) masih menunjukkan kehidupan yang mencekam di bumi Cendrawasih ini. Seperti kasus penembakan 31 pekerja PT Istaka Karya proyek pembangunan jembatan Habema-Mugi oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Kabupaten Nduga, Papua.
Bahkan baru-baru ini, TPNPB-OPM mengeluarkan ultimatum yang salahsatu isinya meminta agar warga sipil non-Papua segera meninggalkan kabupaten Nduga pertanggal 23 Februari 2019, serta menuntut pemerintah Indonesia agar mengakui kemerdekaan Papua. Bahkan mereka mengancam akan menembak mati warga berambut lurus dan berkulit putih yang masih berada di wilayah Nduga. Ultimatum ini disampaikan oleh pentolan TPNPB-OPM, Egianus Kogoya melalui media sosial facebook TPNPB pada sabtu 23 Februari 2019. Mereka beranggapan bahwa warga sipil non-Papua adalah TNI/Polri yang menyamar. (tribunnews.com,24/2/2019).
Gerakan papua merdeka ini sebenarnya sudah terlihat pergerakannya sejak tahun 1961. Awalnya gerakan ini berupa gerakan spiritual bawah tanah yang di ketuai oleh Aser Demotekay, yang merupakan mantan kepala Distrik Demta, Kabupaten Jayapura. Gerakan ini menuntut kemerdekaan rakyat papua, terlebih setelah mereka mendengar janji Belanda bahwa papua akan merdeka.
Nama OPM sendiri semakin dikenal tahun 1965 lewat pemberontakan bersenjata kelompok Permenas Ferry Awom di Manokwari. Lama kelamaan, pihak pemberontak juga menerima nama OPM yang sering dipakai pihak Indonesia itu karena nama itu lebih tepat, singkat dan mudah diingat ketimbang nama panjang organisasi yang mereka bentuk semula, ‘Organisasi dan Perjuangan Menuju Kemerdekaan Papua Barat’.
Menurut Natalius Pigai, mantan anggota Komnas HAM, gerakan kriminal papua merdeka yang sekarang dikenal dengan nama KKB-OPM terlihat sejak tahun 1962. Dimana saat itu awal dimulainya integrasi politik ke dalam Republik Indonesia dengan cara penentuan pendapat rakyat (pepera).
“Dalam proses penentuan pendapat rakyat itu, banyak yang tidak menerima. Hanya sebagian tokoh yang menerima, yaitu tokoh-tokoh terdidik yang pada saat itu sudah dipegang oleh pemerintah Indonesia.” jelas Pigai saat menjadi narasumber sebuah acara di salahsatu stasiun televisi swasta pada sabtu 8/12/2018.
“Mereka yang menolak proses itu kemudian menjadi bagian dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) karena mereka ingin membentuk sebuah negara-bangsa sendiri di Papua. Karena indikator negara-bangsa itu ditunjukkan dengan adanya bendera, lagu kebangsaan, lambang, wilayah dan penduduk, maka pihak yang menolak berintegrasi ini berjuang dengan senjata yang disebut Tentara Nasional Pembebasan Papua-Barat, yang sekarang disebut KKB.” sambung Pigai. (posbelitung.co.id,9/12/2018)
Jelas terlihat apa yang dilakukan kelompok kriminal bersenjata TPNPB-OPM sangatlah mengancam stabilitas keamanan dalam negeri. Hal ini harus segera ditangani oleh pemerintah pusat agar keamanan kembali kondusif khususnya di wilayah Papua. Karena jika tidak ada tindakan serius dari pemerintah, dikhawatirkan akan semakin banyak korban jiwa akibat kekerasan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata ini.
Siapa Sebenarnya yang Mengancam?
Sampai saat ini belum terlihat adanya tindakan nyata pemerintah terhadap gerakan tersebut. Hal itu dapat dibuktikan dengan masih kokohnya OPM dalam mencengkeram tanah Papua. Tindakan persuasif yang ditempuh pihak berwenang sama sekali belum membuahkan hasil. Bahkan keberadaan organisasi dengan lambang bendera bintang kejora tersebut masih tetap ada dan eksis.
Tindakan persuasif dari pemerintah terhadap kelompok separatisme di Papua justru berbanding terbalik dengan apa yang telah dilakukan terhadap pergerakan Islam di Ibukota. Para aktivis Muslim yang menggaungkan keindahan Islam berikut sistem aturannya malah dikriminalisasi. Organisasi-organisasi pergerakan Islam dihambat bahkan dicabut izin badan hukum perkumpulannya. Tokoh-tokoh kritis yang menyuarakan kebenaran dipersekusi bahkan dipenjara dengan berbagai tuduhan yang tidak pernah terbukti. Yang lebih parah lagi, pengaitan pergerakan Islam dengan tindak kejahatan teroris.
Sebagai contoh tindakan represif rezim, salahsatunya terlihat dari kebijakan penguasa melalui perppu ormas 2017 yang disahkan 24 Oktober 2017 menjadi UU ormas no. 2/2017, telah menjadikan Badan Hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) resmi dicabut pada 19 Juli 2017. Padahal statement “kegentingan yang memaksa” untuk dilaksanakannya pencabutan BHP HTI ini sama sekali tidak terbukti. Bahkan ormas yang selalu menyerukan pergerakan Islam Kaffah tersebut tidak pernah sekalipun membahayakan pemerintah dengan aksi-aksi kekerasan bahkan pembantaian seperti yang dilakukan KKB di Papua sana.
Bukan hanya HTI, pada 15 Agustus 2017, hal yang sama juga dirasakan oleh Ikatan Alumni UI (ILUNI). Sebagaimana HTI, badan hukum perkumpulan (BHP) ILUNI dicabut tanpa ada konfirmasi dan pemanggilan bukti kesalahan. Dua organisasi (baca: HTI dan ILUNI) tersebut dikenal sebagai organisasi yang sangat kritis terhadap kebijakan zalim penguasa. Bahkan penguasa melihat hal ini lebih berbahaya daripada tindakan kriminal KKB yang telah merenggut puluhan nyawa manusia. (voaIslam, 24/1/2018).
Pada akhirnya, rakyat akan bertanya-tanya manakah yang lebih berbahaya? Tindakan ormas dan para aktivisnya yang mengkritik kezaliman penguasa serta menghendaki Islam diterapkan sebagai aturan yang menjamin ketentraman, ataukah tindakan kelompok-kelompok yang mempertahankan eksistensinya, meminta kemerdekaan dan lepas dari negara namun dengan menghabisi nyawa-nyawa tak bersalah seraya mengancam stabilitas keamanan negeri ini?
Agaknya pekerjaan rumah penguasa hari ini semakin berat. Yakni menemukan manakah pergerakan yang melakukan kegentingan dan membahayakan agar segera ditindak dengan tegas. Dan manakah pergerakan yang bisa di jadikan kawan dalam menjalani roda pemerintahan untuk menciptakan rasa nyaman bagi setiap lapisan masyarakat.
Di Backing Asing, Pemerintah Tidak Berdaya
Ketidakberdayaan pemerintah hari ini dalam menangani kasus separatisme di Papua diduga akibat adanya intervensi asing. Pasalnya, organisasi Papua Merdeka yang telah berganti nama menjadi United Liberation Movement West Papua (ULMWP)tidak berkedudukan di dalam negeri, melainkan diluar negeri salahsatunya di Vanhatu. Selain di Vanhatu, ULMWP juga berkedudukan di New York, Belanda dan Inggris. Ini artinya ada campur tangan pihak asing dalam keinginan rakyat Papua untuk merdeka dan melepas diri dari NKRI.
Hal inilah yang membuat pemerintah sulit mengambil sikap tegas dalam menindak gerakan separatis OPM yang di backingi oleh asing tersebut. Pemerintah khawatir jika ketegasan dilakukan, akan mengacaukan hubungan diplomatik dengan negara-negara asing yang menjadi ‘pelindung’ gerakan separatisme di Papua.
Hubungan diplomatik yang dibangun Indonesia dengan luar negeri meliputi bidang bisnis, perdagangan, perbankan sampai pendidikan. Dalam kacamata sekuler, bentuk kerjasama ini dipandang menguntungkan meski membuat negara asing seolah berkuasa di negeri seribu pulau ini. Sebab asas kehidupan sekuler adalah kemanfaatan, namun keuntungan ini hanya dirasakan oleh segelintir orang yaitu kaum kapitalis, merekalah para pemilik modal di negeri ini.
Hanya Aturan Islam yang Menguntungkan
Berbeda halnya dengan Islam, kerjasama antarnegara diperbolehkan dalam batasan yang wajar. Bukan untuk mengeruk sumber daya alam disuatu negara dan juga tidak mengintervensi kebijakan-kebijakan dalam negeri negara lain.
Islam jelas mengatur bagaimana seharusnya kerjasama terjalin dengan baik tanpa saling menghembuskan narasi permusuhan dan pemberontakan seperti yang terjadi di Papua. Dimana pihak OPM sendiri menyatakan bahwa aksi penembakan para pekerja saat itu didanai oleh pihak asing.
Aturan Islam sangat sempurna. Bukan hanya mengatur masalah ibadah, namun Islam juga memberikan rambu-rambunya pada urusan pemerintahan. Daulah Islam tegas menolak kerjasama internasional yang mensyaratkan negara tersebut berada dibawah kendali asing. Bahkan ini sudah di jelaskan di dalam Alquran,
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Mumtahanah [60]: 8).
Jelas dalam sistem demokrasi seperti sekarang, dimana hanya kemanfaatan yang menjadi dasar kehidupan sekular-kapitalis, negara tidak dapat berbuat banyak untuk menghapus campur tangan asing dalam pemberontakan yang terjadi. Seandainya sistem Islam yang ditegakkan, keadilan dan kedamaian akan tercipta dalam kehidupan bernegara. Rakyat pun merasa tenteram berada dibawah kendali penguasa yang taat pada aturan pencipta. Pemberontakan dapat teratasi. Intervensi pihak asing dapat dipastikan tidak akan ada lagi.
Maka yang dibutuhkan umat saat ini adalah kepemimpinan yang tunduk pada aturan Allah yang terwujud dalam Daulah Islamiyah. Agar kesejahteraan tidak hanya milik segelintir orang yang menjadi pemicu pemberontakan rakyat karena merasa tidak puas pada aturan pemerintahnya. Namun menjadi milik seluruh umat tanpa terkecuali di dalam Daulah Islamiyah. []
Wallahu A’lam