Oleh. Khaira Ummu Hanif, Cimalaka – Sumedang
#MuslimahTimes –– Ditangkapnya ketua umum PPP, Romahurmuziy, oleh KPK menambah panjang deretan pejabat negeri ini yang terjerat kasus korupsi. Penggeledahan pun dilakukan KPK di kantor Kemenag dan berhasil mengamankan uang sejumlah ratusan juta rupiah sebagai barang bukti.
KPK dituntut untuk bekerja lebih keras. Namun kerja kerasnya seakan tak membuahkan hasil yang berarti. Ratusan koruptor telah dipidanakan, namun koruptor-koruptor baru terus saja bermunculan. Ini menandakan lemahnya tindak hukum di negeri ini atas para penjahat berdasi pemakan uang rakyat itu, sehingga tak sedikitpun menimbulkan efek jera.
Tokoh-tokoh agama yang duduk di kementerian agama yang semestinya menjadi panutan, malah turut meramaikan aksi korupsi ini. Nyatanya, departemen agama seakan menjadi sarang tindakan korupsi. Ya, maraknya kejahatan bukan karena tiadanya orang baik, melainkan karena terbuka luasnya peluang untuk berlaku jahat.
Demokrasi yang menjamin kebebasan berperilaku, kebebasan berargumen, kebebasan berkepemilikan, juga kebebasan beraqidah telah membuka peluang selebar-lebarnya bagi seseorang untuk melakukan tindakan kriminal. Sementara hukum yang bersumber dari manusia yang sarat akan kepentingan dan cenderung mengikuti hawa nafsu, tak mampu menindak tegas pelaku kriminalitas tersebut. Sehingga aksi-aksi kejahatan sebagaimana halnya korupsi semakin tumbuh subur di lahan demokrasi ini.
Adapun biaya demokrasi yang teramat mahal melatarbelakangi para pejabat untuk akhirnya menyalahgunakan amanahnya. Dari penyelenggaraan kampanye hingga akhirnya terpilih dan menduduki kursi jabatan tentunya sangat menguras biaya. Maka tak heran jika di awal-awal tahun masa jabatannya, yang dilakukan adalah bagaimana mengembalikan modal yang dikeluarkannya demi meraih jabatan tersebut. Di tahun-tahun berikutnya, kemudian disibukkan dengan berbagai cara untuk kembali bisa menjabat. Di sinilah peluang untuk berlaku korup terbuka lebar.
Demikianlah demokrasi telah melahirkan orang-orang yang haus akan kekuasaan dan jabatan sehingga menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkannya. ‘Harga’ sebuah jabatan yang teramat mahal di negeri bersistemkan demokrasi ini akhirnya dijadikan alat untuk meraup keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat nyatanya hanya sebatas slogan. Faktanya, amanah mengurusi urusan rakyat selama menjabat acapkali terabaikan.
Dalam pandangan Islam, jabatan dan kekuasaan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Menyalahgunakannya adalah dosa besar. Penguasa dalam sistem Islam adalah mereka yang memiliki kapabilitas mengurusi urusan ummat dengan menegakkan aturan yang berasal dari Allah sebagai satu-satunya penetap hukum. Pengangkatannya cukuplah dengan adanya baiat dari kaum muslimin. Tak perlu adanya penyelenggaraan pemilu dengan dilakukannya berbagai kampanye yang menelan banyak dana sebagaimana dalam sistem demokrasi.
Di samping ketakwaan individu yang senantiasa dipupuk, dalam sistem Islam pun akan dilakukan pengontrolan terhadap para pemegang jabatan. Harta sebelum dan setelah menjabat akan dihitung sebagai upaya penjagaan dari sikap khianat. Meski bukan abdi negara yang berhak mendapatkan upah dari menunaikan amanahnya, para pemegang jabatan tetap mendapat santunan yang mampu mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya. Kondisi inilah yang akan menutup rapat peluang untuk berlaku tak jujur, di samping kuatnya ketakwaan individu yang melindunginya dari sifat khianat.
Tercatat dalam sejarah peradaban Islam, seorang pemimpin yang begitu amanah sehingga enggan menggunakan fasilitas yang diberikan negara untuk kepentingan pribadinya. Seorang wali yang memadamkan lentera rumahnya yang merupakan fasilitas negara ketika membicarakan persoalan pribadi bersama keluarganya. Sungguh sosok pemimpin yang mustahil kita temui di sistem demokrasi. Kalaupun ada, takkan berpengaruh pada berhentinya laju korupsi di negeri ini.
Melakukan pemberantasan terhadap tindakan korupnya saja tidaklah cukup tanpa menutup rapat peluang dari munculnya tindakan tersebut. Maka tiada cara lain selain mencampakkan sistem demokrasi yang menjadi pangkal dari setiap tindakan korupsi dan biang keladi dari setiap permasalahan negeri. Hanya dengan penerapan Islam kaaffah dalam bingkai Khilafah-lah yang akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang jujur dan amanah.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.